Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 kembali menjadi panggung teatrikal yang memamerkan paradoks demokrasi di Indonesia. Alih-alih menjadi ruang kontestasi ide dan gagasan, Pilkada kini seakan lebih sering bertransformasi menjadi parade dominasi politik yang melahirkan lawan absurd: kotak kosong. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius tentang kualitas demokrasi kita---apakah demokrasi ini benar-benar berjalan, atau hanya sebuah ilusi yang dikemas rapi dalam bungkus prosedural?
Pilkada 2024 memang berjalan dengan aman dan damai, tapi apakah itu mencerminkan kedewasaan atau keapatisan masyarakat, hal ini bisa dilihat dari data meningkatnya golput di Pilkada 2024. Di Jakarta angka golput mencapai 43 persen, berdasarkan wawancara terhadap masyarakat Jakarta diketahui mereka banyak yang Golput karena tidak ada pilihan yang dapat mereka percaya.
Kotak Kosong, Simbol Kegagalan Sistemik
Kotak kosong dalam Pilkada adalah ironi yang menggigit. Secara teori, kotak kosong adalah jalan keluar bagi daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon (paslon). Namun, di balik kehadirannya, terdapat indikasi kegagalan sistemik yang harus kita soroti: politik oligarki yang mencekik, minimnya regenerasi kepemimpinan, dan partai politik yang lebih sibuk bertransaksi daripada merekrut calon pemimpin berkualitas.
Bagi sebagian orang, kotak kosong dianggap mekanisme demokrasi yang sehat. Namun, apakah demokrasi bisa disebut sehat jika pilihan rakyat adalah antara mendukung satu calon yang disodorkan atau memilih kekosongan? Kotak kosong bukanlah solusi; ia adalah alarm keras bahwa demokrasi kita sedang sakit.
Menangnya kotak kosong di dua kabupaten Pangkalpinang dan Bangka adalah bentuk nyata protes masyarakat terhadap mereka yang dikatakan wakil rakyat. Rakyat muak dengan tingkah laku dewan yang jauh dari kata mewakili itu.Â
Realitas ini menggambarkan kekuatan absolut yang tidak sehat. Partai politik lebih sering bersekongkol daripada berkompetisi, menciptakan "calon tunggal" yang tak terbantahkan. Sistem politik kita telah dikuasai oleh mereka yang memiliki sumber daya besar---baik uang, jejaring, maupun pengaruh. Akibatnya, calon-calon alternatif yang mungkin lebih kompeten sering kali terkubur sebelum sempat tampil ke permukaan.
Bayangkan sebuah perlombaan di mana hanya ada satu pelari. Tentu saja pelari itu akan menang, tetapi apakah itu layak disebut kompetisi? Pilkada dengan calon tunggal adalah wujud nyata dari demokrasi tanpa kompetisi---sebuah paradoks yang menyedihkan.
Indonesia termasuk negara yang menerapkan multi partai, namun partai-partai tadi kebanyakan mandul menciptakan kader pemimpin. Akhirnya sebagian besar partai mengambil jalan pintas memboyong para pesohor sebagai vote getter. Bagi saya ini sangat menjijikkan.Â
Tentu saja evaluasi terhadap sistem demokrasi yang berjalan hampir 25 tahun ini adalah hal yang seharusnya dilakukan. Secara prinsip demokrasi saat ini sudah tidak mencerminkan Pancasila sebagai dasar negara. Nilai-nilai musyawarah mufakat dalam sila keempat sudah tidak diindahkan lagi dalam demokrasi yang terlalu prosedural.
Belum lagi praktik policy base on data, belum terlihat di pemimpin negeri ini. Kebanyakan kebijakan berdasarkan asumsi atau kemauan pimpinan. Jika saja sedikit pemimpin negeri ini mengerti dengan data, tidak perlu semua daerah melakukan Pilkada, hal ini akan menghemat anggaran triliunan.Â