Mohon tunggu...
Salman
Salman Mohon Tunggu... Lainnya - Anak Kampung

Menulis untuk mengasah pikiran dan berdiskusi untuk memahami.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Salah Obat Reformasi: Demokrasi Langsung

1 Juli 2024   06:51 Diperbarui: 1 Juli 2024   06:51 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu dari enam dari tuntutan reformasi yang hampir dikatakan gagal setelah 26 tahun reformasi yaitu menciptakan pemerintah yang bersih yang bebas dari KKN. Jika pada masa orde baru korupsi hanya terpusat pada kalangan presiden dan kroninya, pada saat ini korupsi meluas ke berbagai kalangan pejabat pemerintah. 

Apa penyebab korupsi di era reformasi saat ini? Menurut KPK penyebab utama maraknya korupsi saat ini adalah mahalnya biaya politik. Untuk menjadi walikota dan bupati menurut data KPK butuh biaya 20 s.d 30 miliar rupiah, sedangkan pendapat sah seorang wali kota dan bupati selama menjabat tidak akan pernah menutupi biaya politik tersebut. (Sumber )

Bagi saya pribadi tidak mengagetkan bahwa korupsi akan terus menjamur, karena apa yang dipraktikan oleh Indonesia saat ini bertentangan dengan ilmu pengetahuan dasar. Saya masih sangat ingat waktu SMA guru  PPKn saya menjelaskan bahwa Indonesia tidak bisa melaksanakan demokrasi langsung karena biayanya yang mahal. Jadinya sistem demokrasi di Indonesia saat ini adalah sistem untuk melahirkan koruptor. 

Yang saya sesalkan adalah di mana orang-orang yang berpendidikan tinggi baik yang lulusan luar negeri maupun dalam negeri yang tidak bisa menganalisa permasalahan yang amat sangat sederhana ini. Di mana orang BRIN, BAPPENAS, Kampus-kampus yang isinya orang berpendidikan tinggi itu? Yang ada cuma sebagai komentator. Apa mereka semua menghambat pada uang? Huh...

Bentuk demokrasi langsung yang diselenggarakan oleh Indonesia saat ini adalah bentuk demokrasi paling primitif. Demokrasi langsung pertama kali diselenggarakan di Yunani pada abad ke-5 SM. Bentuk demokrasi ini bisa berjalan baik dengan penduduk yang sedikit, tapi ketika penduduknya banyak demokrasi ini sudah tidak cocok. 

Bahkan Socrates, sekitar 400 SM sudah mengingatkan tentang "bencana dari kebodohan pemilih", hal yang sangat relevan yang terjadi pada Indonesia saat ini. Socrates mengkritik praktik demokrasi langsung, ia mengatakan bahwa pemilihan pemimpin tidak bisa dilakukan oleh orang-orang acak yang tidak memiliki pendidikan, tidak memiliki pengetahuan dalam filsafat dan politik. Memilih pemimpin hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan. 


Praktik demokrasi langsung saat ini juga tidak sejalan dengan Pancasila, yaitu di sila Kedua dan Keempat. Pada sila kedua, demokrasi langsung bertentangan dengan nilai keadilan dan peradaban, konsep one man one vote menghilangkan nilai itu. Bertentangan dengan sila keempat, karena semakin jauh dari praktik musyawarah-mufakat, semuanya langsung melalui sistem voting bahkan di tingkat desa sekali pun. 

Maka pemikiran Socrates 2400 tahun lalu di atas dapat menjelaskan bagaimana hasil pemilu dan hasil dari survei Litbang Kompas yang baru saja rilis itu bisa sejalan, yaitu hasil acak dari masyarakat yang tidak ter-literasi. 

Anda sudah pasti tahu bahwa literasi masyarakat Indonesia itu hampir rendah di hal apapun, karena minat bacanya yang sangat rendah. Jika masyarakat seperti ini diberikan kesempatan untuk memberikan suara dan pendapat, maka sulit untuk mendapatkan yang berkualitas. 

Silahkan saja disurvei tentang keamanan data pada publik, kemungkinan besar mereka bilang baik-baik saja. Hal ini yang luput dari Litbang Kompas.

Oleh karena itu praktik demokrasi langsung saat ini merupakan resep yang salah untuk mewujudkan cita-cita reformasi 1998. Masalah praktik demokrasi Indonesia bukan terletak pada bagaimana cara pemilihan pemimpin tapi pada praktik akuntabilitas para pejabat atau pemimpin. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun