Mohon tunggu...
Salman
Salman Mohon Tunggu... Lainnya - Anak Kampung

Menulis untuk mengasah pikiran dan berdiskusi untuk memahami.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hemat Triliunan Rupiah, Hanya dengan Pelatihan yang Tepat

6 Juli 2023   18:10 Diperbarui: 6 Juli 2023   18:20 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelumnya saya ingin mengajak Anda untuk berpikir dulu melalui pertanyaan: Apa yang paling menentukan dari kualitas pribadi seseorang? jika opsi  jawabannya adalah  a) tingkat pendidikan dan b)karakteristik pribadi.

Kemungkinan besar Anda akan memilih karakteristik pribadi sebagai jawabannya,  karena saya pernah membuat survey semacam ini di grup sosial media, sebagian besar menjawabnya karakteristik, saya pun lebih setuju dengan jawaban tersebut. 

Tapi jika Anda memilih jawaban tingkat pendidikan, maka saya bisa memahami karena jawaban untuk menilai kepribadian seseorang bukanlah jawaban yang eksak. Pada bidang Ilmu sosial, psikologi atau yang berhubungan manusia biasanya tingkat akurasinya berkisar 70-90 persen  dan itu sudah baik.

Istilah "karakteristik" dalam dunia kerja memang  belum cukup untuk menggambarkan kualitas seorang pegawai. Dalam dunia HRD atau pengembangan SDM kualitas pegawai dilihat berdasarkan kompetensi yang dimilikinya.

Nah, Apa itu Kompetensi?

Saya coba merangkum pendapat tiga pakar untuk menjelaskan kompetensi. Menurut David McClelland, seorang psikolog sosial Amerika Serikat, kompetensi terdiri dari tiga faktor utama: 1) Kompetensi teknis, yaitu kemampuan untuk menyelesaikan tugas secara efektif dan efisien. 2) Kompetensi sosial, yaitu kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain dalam sebuah tim dan membangun hubungan yang baik. 3) Kompetensi konseptual, yaitu kemampuan untuk memahami masalah secara holistik dan mencari solusi yang kreatif dan inovatif.

Menurut Richard Boyatzis, seorang profesor di Case Western Reserve University, kompetensi terdiri dari tiga kategori: 1) Kompetensi teknis, yaitu kemampuan yang berkaitan dengan pekerjaan atau tugas yang harus dilakukan, seperti kemampuan dalam penggunaannya perangkat lunak atau mesin tertentu. 3) Kompetensi sosial, yaitu kemampuan untuk berinteraksi dan bekerja sama dengan orang lain, seperti kemampuan dalam berkomunikasi atau menjalin hubungan interpersonal. 4) Kompetensi pribadi, yaitu kemampuan untuk mengelola diri sendiri, seperti kemampuan dalam memotivasi diri sendiri atau mengelola stres.
 
Menurut Daryl D. Spencer dan Signe M. Spencer, seorang pakar di bidang evaluasi dan pengembangan sumber daya manusia, kompetensi juga terdiri dari tiga kategori: 1) Kompetensi pengetahuan, yaitu pengetahuan atau pemahaman seseorang mengenai topik atau area tertentu, seperti pengetahuan tentang hukum atau teknologi terbaru. 2) Kompetensi keterampilan, yaitu kemampuan yang berkaitan dengan tugas atau pekerjaan tertentu, seperti kemampuan dalam menggunakan perangkat lunak atau melakukan presentasi. 3) Kompetensi sikap, yaitu karakteristik pribadi yang menentukan cara seseorang menangani situasi tertentu, seperti kemampuan dalam mengambil inisiatif atau bekerja dengan tujuan yang jelas.

Dari ketiga rujukan di atas, Spencer dan Spencer adalah rujukan yang paling populer, setidaknya bagi ASN.  Tapi tidak ada yang menyiratkan langsung bahwa orang yang berpendidikan tinggi adalah orang yang memiliki kompetensi.

Mungkin hanya dari Spencer dan Spencer yang sedikit menyiratkan bahwa pendidikan formal bisa sebagai rujukan untuk meningkatkan kompetensi khususnya dalam hal kompetensi pengetahuan. Namun di era informasi tanpa batas saat ini, pengetahuan bukan lagi eksklusif milik para pelajar atau mahasiswa yang terdaftar secara formal di institusi pendidikan.

Sumber pengetahuan telah terdemokrasi secara luas,  tidak eksklusif hanya bagi mereka yang memiliki modal saja, sekarang  untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi hanya dibutuhkan sedikit usaha yaitu kata kunci (key word). Dengan kata kunci yang tepat, apalagi jika tidak terbatas pada bahasa maka apa yang kita cari dan butuhkan akan kita dapatkan.

Dan bila diukur seberapa efektifkah kampus menjawab kebutuhan kompetensi yang diperlukan oleh seorang pekerja atau pegawai. Kenyataannya kampus atau universitas tidak spesifik merancang kurikulum untuk menjawab permasalahan di tempat kerja pegawai. Hal inilah yang membuat para pekerja/pegawai yang bahkan sudah S2 atau S3 perlu mengikuti pelatihan kembali di tempat kerja bahkan kompetensinya perlu diuji lagi.

Kenyataan di lapangan saya temui ada pegawai yang sudah S3 tapi kinerjanya tidak lebih baik dibandingkan yang lulusan S2 bahkan S1.

Fenomena mereka yang berpendidikan lebih tinggi tidak menjamin kinerja ini, saya temukan baik di pemerintah pusat maupun di pemerintahan daerah. Terlebih lagi di daerah, seperti di Pemprov atau Pemda, di mana sifat pekerjaan lebih banyak untuk menjadi pelaksana, pendidikan terlalu tinggi tidak terlalu dibutuhkan di sana.  

Sebenarnya sudah menjadi rahasia umum, kebanyakan PNS yang melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, kebanyakan agar bisa mendapatkan kesempatan untuk ke jenjang pangkat yang lebih tinggi. Di mana diketahui untuk pangkat pembina atau golongan empat mensyaratkan pendidikan minimal S2.

Tentu dapat dipahami jika persyaratan pendidikan ini diberlakukan dengan ketat (strict) di abad ke-20, tapi jika diberlakukan secara sporadis di abad ke-21 di  era disrupsi informasi dan kebangkitan kecerdasan buatan saat ini tidaklah lagi tepat. Terlebih lagi bagi ASN yang salah satu fungsinya hanyalah pelaksana kebijakan publik, tentu beda jika fungsinya adalah pembuat kebijakan publik. 

Setidaknya syarat pendidikan untuk jabatan hingga S2 atau S3 kurang efektif diberlakukan bagi ASN di daerah, karena mereka lebih menjadi pelaksana kebijakan publik. Mungkin akan berbeda jika ASN tersebut ditugaskan untuk membuat kebijakan publik.

Maka jika pemerintah membuat alternatif penilaian kompetensi tidak hanya berdasarkan pendidikan akan banyak penghematan negara dan sumber daya, seperti yang diketahui pendidikan formal membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan waktu yang tidak singkat. Mungkin bisa triliunan rupiah yang bisa dihemat hanya untuk memenuhi persyaratan administrasi level pendidikan untuk syarat jabatan yang dituju.

Cara efektif untuk menilai kompetensi seseorang adalah dengan melihat kompetensi dan kinerjanya. Pegawai yang kinerjanya tinggi sudah pasti memiliki kompetensi, sedangkan pegawai yang kinerjanya biasa saja atau kurang perlu dilakukan uji kompetensi Jikapun diketahui pegawai tersebut tidak kompeten solusinya bisa dengan program pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan. Hal ini jauh lebih murah dan efektif jika dibandingkan harus menugaskan pegawai tersebut untuk menempuh pendidikan formal.

Salam  mikir

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun