dua cacing sedang berjoget memandangi mayat yang baru saja datang ke liang
teriring irama tangis dari atas memenuhi hati dan jiwa mereka
lalu dua tubuh gemulai melenggok asyikÂ
sementaraÂ
mayat hangat masih rapi terbungkus kain putih, tetap kesepian meski keramaian di atasnyaÂ
kemarin petang udara berhenti lalu lalang di paru-parunya
detik per detik berikutnya darah dan sel-sel mulai lelah tak terpompa
tiga jam kemudian segala otot kaku berhenti relaksasiÂ
berhenti mengisi amorfati nadi
enam jam berlaluÂ
segalanya dalam diri benar-benar diam
...makanan telah datang waktunya kita makan, sabar bertahun akan selesai waktunya buka puasa...
cacing satu berdendangÂ
wahai para cacing dan bakteri sudahi mimpi kalian.Â
Waktunya bangun dan menerimaÂ
kenyataan begitu lezat di depan mata
siapkan semua perkakas kalian
cacing dua tak mau kalah
esok hari perut kita akan membuncit kembaliÂ
lalala subidu bidu bam bam
terus berdendang sambil mabuk air kembang dan resapan hujan sepanjang malam
fajar tiba menyelinap sela gumpalan awanÂ
nisan kayu basah dihinggapi embun
dua cacing gendut ketiduran di kiri kanan jenazah
tiga puluh tiga bakteri datang pagi
disusul puluhan cacing-cacing malasÂ
yang selamat dari santapan ayam, sore lalu
hey gendut bangun. jangan hanya bicara
mari kita santapÂ
meski belum terlalu busuk. mata lapar para penghuni kuburan menatap tajam
setelah semua siap mereka membaca doa mau makan
malaikat pewarta mengintip
dan berkata
ternyata Tuhan sering memberi kematian untuk kehidupan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H