Mohon tunggu...
salman imaduddin
salman imaduddin Mohon Tunggu... Sales - Komunitas Ranggon Sastra

Control by eros

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Asa

21 Oktober 2022   07:03 Diperbarui: 21 Oktober 2022   07:01 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

bu ketika aku mengingatmu jarak  

menjelma rindu yang melayang di udara  

menggerayangi atap kotaku  

meniup-niup mengikuti arahku 

menuntunku pada prasangka 

 

ketika melihat langit yang mendung   

aku membayangkan hujan deras yang dingin 

melihat ranting dihempas angin 

aku membayangkan badai menerpa tubuh lunglai di perjalanan 

 

dan terka-terka kelabu di hadapanku telah merebak 

mengusik pemulihan jiwa dari arsenik materil hari-hari kerja 

 

dari atas gedung bisu. di dalamnya dingin mendusta panas 

aku melihat banyak yang mati tak sempat menangis 

aku melihat banyak yang menangis ingin mati  

aku bergidik  

aku coba pergi meninggalkan bayanganmu Bu 

tapi kau malah memanggil manggil. menampar keterasinganku di tengah-tengah rasa lapar 

 

bu, dalam bayang-bayangmu yang kabur kau masih memaksa aku  

melihat segala penjuru 

 

lalu matahari muncul kembali kepalaku mulai terbakar lagi 

bising angkuh di kota-kota 

lalu bu, aku melihat di pinggir jalan pohon terbakar  

dan mati tanpa air mata  

sementara laju tawa merekah dari dada menuju mulut mereka 

  

berita di media memberi kabar  

ada hutan dibakar  

ada koala menghitam sambil memeluk pohon yang juga menghitam 

 

bu kekejaman macam apa ini?  

bahkan untuk menangis saja mereka susah bu 

dan kau paksa aku menangisinya 

hanya bisa menangisinya 

 

bu, kenapa kau tidak membiarkan aku terbang meninggalkan derita? 

melepaskan persoalan kemiskinan dan kelaparan 

kenapa kau ikat aku dalam janji setia 

kenapa keluh kesah, susah mereka menyumbat derita-derita milikku sendiri 

 

bu, zamanmu telah berlalu peta-peta kehidupan sudah dibuang ke selokan 

seperti sampah menyumbat, menjadi banjir 

lalu airnya menjelma bunyi  

yang menjadi genangan kata-kata suci pengantar mati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun