Mohon tunggu...
SALMAN FARIS
SALMAN FARIS Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Karena sudah telanjur ada, maka mestinya tidak sekadar ada.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Kecewe Isin Lompak

18 Januari 2025   11:33 Diperbarui: 18 Januari 2025   11:33 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iqbal dan Keluarga (Sumber: Jurnal Ekbis.Com) 

KECEWE ISIN LOMPAK

 

Oleh: Salman Faris

Belum genap tiga hari setelah ada tanda Iqbal menjadi pemenang dalam pilkada gubernur NTB, beberapa sahabat mengirim pesan ke saya. "Hasil sesuai harapan." Pesan yang sama banyak berdatangan sampai sekarang, terutama setelah KPU NTB secara resmi menetapkan kemenangan tersebut. Kemudian tidak berselang, DPRD NTB juga mengesahkan kemenangan Iqbal. Pesan yang sama kembali datang.

Sudah pasti saya sangat memahami kebahagiaan para sahabat. Impian dan harapan berjalan seiring. Meskipun jika ditelaah secara mendalam, impian tersebut sebenarnya datang dari mana? Mungkin tidak semua kita dapat memberikan jawaban pasti. Karena, sebenarnya bukan kali ini saja orang Sasak berada di pucuk tertinggi di NTB. Dari yang terbaru ialah TGB, kemudian ayahanda Lalu Serinata.

Sebenarnya orang Sasak tidak pupus dari jabatan tinggi di NTB. Lihat saja Pak Seri Gede, Pak Azhar, termasuk mereka yang di kedudukan birokrasi paling tinggi, seperti Pak Abdurrahim, Pak Nanang, Pak Rosiyadi, sampai sekarang ada Pak Gite. Apakah kedudukan itu secara signifikan memberikan dampak besar terhadap apa yang saya sebut membangun sistem kesasakan? Membangun sistem peradaban Sasak. Membangun sistem kolektivitas Sasak? Membangun sistem imajinasi yang sama tentang Sasak?

Kita mesti berani mengakui bahwa rentetan panjang kekuasaan Sasak pasca penjajahan itu, belum berada pada dulang yang tepat. Masih terserak di bilik masing-masing orang Sasak itu sendiri. Mesti kita berani jujur bahwa Sasak belum menemukan arah busur panah imajinasi kesasakan yang semestinya: Tentang Sasak yang benar dan menang. Karena sepanjang rentetan kekuasaan Sasak selepas kolonial itu, orang Sasak masih gagah mengimajinasikan Sasak itu di atas kaki yang nafsi-nafsi. Berdasarkan hubungan batin subjektif. Masih sangat jauh dari logika objektif dan tujuan kolektif.

Karena itulah, saya membalas pesan sahabat-sahabat itu dengan perkara yang sama. Pertama, kekuasaan politik itu sama saja. Tidak bisa diharapkan sepenuhnya berpihak kepada keseluruhan entitas bangsa. Kekuasaan secara genetik ialah milik yang berkuasa itu sendiri dan entiti barisan. Jadi kepada siapa pun yang berkuasa, jangan pernah menaruh harapan besar kepada mereka. Mungkin ada kemauan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada semua golongan, namun kekuasaan tetap bukan milik seorang penguasa saja. Kekuasaan mempunyai kewajiban menegosiasikan kepentingan bersama kelompok koalisi.

Kalau ditanya secara peribadi kepada orang Sasak yang saya sebut telah berkuasa di atas, pasti masing-masing mempunyai mimpi dan harapan besar untuk meletakkan Sasak di puncak dunia paling tinggi. Namun kenyataannya, secara umum mereka tidak berhasil. Karena kekuasaan di tangan mereka bukan hanya milik diri mereka sendiri. Dalam konteks ini, saya ingin menegaskan, meletakkan masa depan Sasak di lambung kekuasaan ialah bisa saja, namun itu hanya menjadi sebagian kecil pemantik. Bukan sepenuhnya. Karena sejarah mencatat, kekuasaan Sasak tidak pernah berhasil memerdekakan Sasak itu sendiri. Karena itu, berharap tinggi pada penguasa politik Sasak pasti berbuah kecewa. Lantas di mana seharusnya masa depan Sasak itu mesti diletakkan? Meski tulisan ini tidak untuk mendiskusikan hal tersebut, saya ingin secara sepintas menjawabnya: Sistem kolektif.

 

Dengan begitu, kekuasaan dalam konteks Sasak mestilah dipahami secara lebih komprehensif. Bukan hanya kekuasaan politik agar kita tidak terjebak kepada pandangan bahwa orang Sasak yang paling bertanggung jawab dan paling sukses serta paling tinggi itu ialah orang Sasak yang memegang kekuasaan politik. Menjadi gubernur atau atau bupati, misalnya. Kekuasaan itu di pos mana saja dan pada diri siapa saja. Maknanya setiap kekuasaan bisa digerakkan menjadi sumber kekuatan dan kemenangan. Tinggal bagaimana setiap kekuasaan itu digerakkan melalui sistem kolektif. Dan itulah masalah besar Sasak itu. Hebat dan kuat secara individu namun sangat lemah dan rapuh ketika sudah berhimpun.  

Dan yang kedua ialah jangan melihat pada subjek, pada aktor perjuangan. Saya tegaskan kepada sahabat-sahabat tersebut. Dalam Pilkada gubernur NTB yang lalu, siapa yang diperjuangkan? Apakah memperjungkan Iqbal? Atau apakah memperjuangkan Sasak? Kalau memperjuangkan Iqbal, saya sangat yakin pasti kecewa besar yang akan didapat. Karena meletakkan masa depan Sasak itu tidak boleh pada individu.

Setelah dilantik menjadi gubernur, Iqbal tidak lagi menjadi entitas murni Sasak. Dia adalah NTB itu sendiri. Dia adalah visi-misi itu sendiri. Banyak hal yang akan dijumpai nanti, tidak sepenuhnya berkaitan dengan Sasak. Mengikat Iqbal pada beban sejarah kesasakan ialah kesesatan besar orang Sasak. Tanggung jawabnya jauh lebih besar dari Sasak itu sendiri. Beban kekuasaanya jauh lebih rumit, lebih kompleks, bahkan jauh lebih absurd dari Sasak itu sendiri. Jadi kita mesti berpikir bahwa Iqbal hanya bagian dari sistem perjuangan kolektif agar seterusnya kita tidak lagi memperjuangkan orang Sasak menjadi gubernur yang bertugas hanya untuk menjayakan Sasak itu.  Itu adalah perjuangan yang keliru dan mengancam harapan diri sendiri.

Maka sebaik-baik perjuangan politik ialah untuk Sasak. Karena Sasak itu ialah bangsa. Ia tidak terletak pada individu melainkan pada kolektivitas orang Sasak. Setiap orang Sasak mempunyai tanggung jawab yang sama untuk bangsa mereka sendiri. Ini menjadi penting agar kita tidak lagi berpikir bahwa ada yang paling unggul, ada yang paling hebat, ada yang paling tinggi, ada yang paling berjasa, ada yang paling berhak atas sejarah di tengah orang Sasak.


Kesesatan pikiran orang Sasak selama ini ialah mereka selalu menjadikan kekuasaan politik sebagai ukuran paling sukses-paling tinggi atas orang Sasak. Akibatnya, mereka abai kepada kekuasaan kaum marhaen yang dalam masa sama juga dapat berkontribusi buat kebangsaan Sasak. Kita mesti berani berpikir bahwa Iqbal sang gubernur dan Inak Cilah sang penjual serabi, pada era yang sama, dapat menjadi kekuatan bagi bangsa Sasak. Dengan begitu, kita tidak lagi mendewakan yang satu kemudian menihilkan yang lainnya.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun