Selama ini kita berteriak, bahkan sudah terlalu banyak teriakan mengenai partai yang ada di Indonesia banyak dikuasai oleh “tangan yang tidak bersarung tangan” yakni mereka yang tidak berada di dalam partai namun mempunyai kekuasaan mutlak melebihi pemimpin tertinggi partai. Mereka ialah para pemilik kekayaan yang hampir tak terbatas. Mereka boleh jadi tidak berpendidikan tinggi dan tidak berpikir rumit macam intelektual dan para politisi. Mereka hanya punya uang dan berhasil menjadikan uang sebagai mainstream bagi setiap yang bernyawa di muka bumi ini. Mereka amat berhasil mengubah paradigma politisi yakni uang ialah senjata utama kekuasaan yang berdampak besar kepada pengarusutamaan partai kepada penghambaan kepada uang demi tujuan kuasa yang ujung-ujungnya, kekuasaan tersebut untuk memahkotai sang pemilik uang.
Ya, kita memang selalu teriak soal ini. Namun teriakan itu menggelembung melalui bangunan citra imajinasi yang dibuat oleh ideologi palsu partai dan politisi tentang manisnya pembangunan di tangan mereka yang sedang berkuasa dan yang sedang memperebutkan kekuasaan. Kebenaran teriakan tersebut dikalahkan oleh realitas palsu janji penguasa yang sudah dikuasai oleh barisan neolib.
Neoliberalisme, seperti yang dikemukakan Robert W. McChesney dalam pengantar buku “Profit Over People: Neoliberalism and Global Order” yang ditulis oleh Noam Chomsky merupakan "the defining political economic paradigm of our time it refers to the policies and processes whereby a relative handful of private interests are permitted to control as much as possible of social life in order to maximize their personal profit." Satu situasi yang amat menyesakkan karena segala aktivitas dan kebijakan ekonomi pemerintah dalam suatu negara dikontrol oleh hanya sekelompok kecil orang. Namun kekuasaan kelompok kecil tersebut mampu mendikte sebagian besar kehidupan sosial dan ekonomi negara hingga dunia. Tujuan kelompok kecil ini tunggal yakni mendapatkan sebanyak-banyak keuntungan pribadi, baik dari penderitaan atau kemakmuran rakyat cengkraman dan jajahan mereka.
Pola kerja mereka dimulai dari pendistribusian keuangan kepada partai penguasa maupun oposisi. Jadi mereka samasekali tidak mendikotomikan partai pemenang maupun partai pembangkang. Di mata mereka semua partai ialah sama. Harus dikuasai dengan uang. Karena bagi mereka, wakil setiap partai dalam sistem suatu negara ialah sama saja. Maka tidak heran jika kita sering mendengar istilah: orang kaya selalu berdiri di dua kaki. Mereka cerdik, siapa yang mau mereka menangkan akan diguyuri uang lebih banyak sedangkan yang sudah diplot kalah diberikan rintik uang untuk menjalankan operasional pertarungan dalam sistem pemilu yang, seolah demokratis namun sebenarnya kepalsuan belaka.
Setelah itu, kelompok kecil ini pun terlibat dalam pesta kemenangan. Bagi mereka, tidak ada kekalahan atau tiada yang kalah. Sebab pada akhirnya semua partai akan terlibat dalam operasi penguasaan mereka. Jadi, pesta dijalankan secara dua kaki. Maka sesungguhnya, drama kemenangan dan kekalahan dalam setiap pemilu yang melacurkan demokrasi itu ialah ending dari seluruh kepalsuan demokrasi yang seterusnya dilanjutkan dengan pesta para politisi bersama kelompok pemasok uang.
Hal tersebut dapat dilihat pada pola berikutnya, di mana para neolib ini mulai meminta upeti kepada partai. Tentu saja bukan uang yang mereka minta, melainkan regulasi. Sebagai pembuat undang-undang para wakil rakyat, baik dari partai penguasa maupun oposisi sama-sama berada dalam cengkraman para neolib dalam kepentingan yang sama. Mengeruk sebanyak-banyak keuntungan, baik dari rakyat yang tertindas maupun dari mereka yang sejahtera.
Melalui undang-undang yang sudah dipesan kepada budak piaraan mereka di sistem negara, para neolib mendapatkan tiket sah untuk memporak-porandakan dunia. Memiskinkan suatu negara. Menghancurkan ekonomi dan sosial suatu negara. Menghuruharakan sosial budaya suatu negara. Menjadikan suatu negara sebagai musuh bersama. Mengkafirkan segelintir aktivis yang dipandang virus bagi rancangan mereka menguasai ekonomi bersama barisan partai yang sudah dilumat dengan gergaji uang tanpa batas.
Atau sebaliknya, menjadikan suatu negara sebagai anak emas. Dalam tahap ini, para neolib, menggunakan kuasa uang tanpa batas itu telah berhasil memetakonflikkan setiap negara untuk menjadi musuh atau kawan. Polarisasi sebagai negara komunias, sosialis, demokratis, kejam, terbuka, ortodok, liberal, ekstrimis, moderat ialah sistem dagang para neolib melalui tangan partai untuk mendapatkan tiket undang-undang yang membenarkan mereka menikam memusnahkan suatu negara.
Karena itu, masih dalam buku Chomsky, seorang pakar kajian kritis terhadap neoliberalisme, Milton Friedman dalam bukunya yang berjudul “Capitalism and Freedom” mengatakan, "because profit making is the essence of democracy, any government that pursues antimarket policies is being anti-democratic, no matter how much informed popular support they might enjoy."
Sungguh mengenaskan nasib suatu negara yang dinilai anti pasar oleh para neolib. Negara tersebut dicapjempol sebagai anti demokrasi. Dengan begitu, negara tersebut sah di bawah naungan undang-undang dunia untuk dimusnahkan. Dihancurkan kebudayaan hingga agama mereka. Kekuasaan yang sah secara demokratis, hanya karena dinilai anti pasar, sah juga untuk digulingkan.
Untuk kepentingan yang terus-menerus menguasai dunia, para neolib ini juga menguasai media untuk membangun opini sekaligus citra. Dari sinilah mereka juga memainkan peran penting dengan mensimulasikan figur partai yang sudah dinyatakan lulus berdasarkan standar sertifikasi mereka untuk dijadikan sebagai kambing congek alias kerbau bodoh yang dicocok hidung. Figur partai ini, meskipun sangat bodoh, tanpa pendidikan yang memadai, dari kelas sudra sekalipun, setelah berhasil digenjot popularitas melalui mesin uang, kemudian mereka memaksakan partai untuk mencalonkan figur tersebut. Elektabilitas tidak penting karena demokrasi ialah kepalsuan. Kemenangan sejati tidak pernah ada dalam demokrasi para neolib sebab segalanya sudah ditentukan melalui sistem yang disebut “penguasaan dunia secara terus-menerus”.