Mohon tunggu...
Salman Ali
Salman Ali Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Memahami Sejarah dan Ajaran Syiah Perspektif dan Kontroversi

29 Juli 2024   11:08 Diperbarui: 29 Juli 2024   11:08 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Memahami Sejarah Dan Ajaran Syiah Perspektif Dan Kontroversi

Syiah menurut Bahasa adalah mengikuti dalam konteks keagamaan dan loyalitas kepada Ali bun Thalib syiah meruoakan salah satu dari dua aliran utama, secara historis syiah adalah salah satu dari dua alurin yang utama dalam islam, yang salah satunya adalah sunni. Perpecahan sunni dan syiah terletak pada pemahaman tentang siapa yang akan menjadi umat islam setelah wafatnya Rasulullah. 

Pengikut syiah menyakini bahwa yang berhak menjadi pemimpin umat islam adalah dari golongan keturunan langsung dari Nabi Muhammad saw sepupu atau menantu dari nabi, sedanangkan sunni menyakini pemimpin harus di pilih dari kalangan umat terbaik.

Ada beberapa pendapat tentang asal usul syiah yang pertama bahwa syiah sudah diletekan oleh Nabi Muhammad saw kepada Ali bin Thalib dan para pengikutnya. Kedua syiah di posisikan kepada orang islam yang tidak membaiat Abu Bakar saat pristiwa Saqifah. Selesainya pemakaman Rasullah, Fatimah tidak membaiat Abu Bakar. 

Ketiga syiah di posisikan pada umat islam yang akan setia bersama Ali bin Abi Thalib setelah peristiwa tahkim yang di mengakhiri dengan peristiwa perang shiffin. Peperangan antara pasukan Muawiyah bin Abu Sufyan dan pasukan Ali bin Thalib, di sebabkan terdesaknya Muawiyah bin Abu Sufyan mengajukan perundiangan dengan mengacukan mushaf al-Quran di atas tombak. Ali bin Tahalib meminta pasukanya untuk mengakhiri peperangan. Dan pada akhirnya masing-masing pihak sepakat untuk mengakhiri peperangan dan keduanya sepakat untuk mengundurkan diri dari jabatan kepemimpinannya.

Dari peristiwa ini terjadilah kontraversi Sebagian pengikut Ali bin Thalib kecewa dan membentuk kelompok masing-masing yang dikenal dengan sebutan Khawarij, sedangkan kelompok yang masi setia sama Ali bin Abi Thalib dikenal dengan sebutan Syiah. Dalam perkembangan Sejarah, kelompok syiah mengalami perkembangan dan terbagi menjadi beberapa kelompok yang memiliki perbedaan dalam hal kepemimpinan. Bebrapa mazhab syiah tetap berada jalur ajaran islam, sementara kelompok yang lain menyimpang.

Pada masa Umayyah (661-750 H), Syiah berkembang dengan menunjukkan perilaku mereka dan memperlihatkan identitas diri mereka. Mereka sering menghadapi kejadian-kejadian yang tidak mengenakkan, seperti hujatan dan celaan kepada keturunan Ali dari atas mimbar oleh para khatib. Peristiwa penting yang memberi karakter pada Syiah adalah terbunuhnya Husain pada tahun 681 H di Karbala, sebuah pembunuhan yang brutal dan tidak manusiawi terhadap keturunan Nabi. 

Tragedi Karbala ini memicu semangat penyebaran faham Syiah semakin kuat, terutama di kalangan mawali berdarah Persia yang sepakat menuntut balas atas kematian Husain (Hasan, 2003: 230). Perlawanan dan pemberontakan Syiah terhadap Bani Umayyah terjadi beberapa kali, seperti pemberontakan At-Tawwabun dari Kufah yang dipimpin oleh Sulaiman bin Shard (tahun 65 H, masa Marwan bin Al-Hakam) (Syalabi, 1992: 269-272), pemberontakan Al-Mukhtar bin Abu Ubaid Ats-Tsaqafi (tahun 66-67 H, masa Abdul Malik bin Marwan), serta pemberontakan Zaid bin Ali bin Zainal Abidin (tahun 121 H, masa Hisyam bin Abdul Malik) dan anaknya Yahya Ibn Zaid (Zulkifli 2013:148).

Pada masa Abbasiyah (750-945 H), rezim berusaha memberantas Syiah karena merasa tidak diterima sebagai penguasa sah. Pemberontakan dari masa akhir Bani Umayyah berlanjut hingga masa Abbasiyah, seperti pemberontakan Zaid, keturunan Ali dari garis Husain. 

Masa Abbasiyah merupakan masa konsolidasi identitas Syiah dan pembentukan faham mereka. Pada periode Buwaihiyah (945-1055), Syiah mampu mengelaborasi dan menetapkan standar ajaran mereka, ditandai dengan koleksi-koleksi kitab hadis yang dikarang oleh ulama mereka seperti al-Kulaini, kemudian dilanjutkan oleh ilmuan-ilmuan Syiah

Ajaran dan keyakinan syiah berkembang melalui fase secara yang penuh perjuangan. Ajaran syia berlandasan dengan kisep imama yang mengatakan hanya dari keturuan Ali bin Abi Thalib yang berhak menjadi Khalifah untuk memimpin umat Islam. Para imam dalam ajaran Syiah dianggap sebagai penerus Nabi yang memiliki pengetahuan dan otoritas khusus yang diberikan oleh Allah. Terdapat beberapa cabang dalam Syiah, di antaranya Imamiyah (Itsna Asyariyah), Zaidiyah, dan Ismailiyah, yang berbeda dalam jumlah dan identitas imam yang mereka akui. Selain imamah, Syiah juga memiliki keyakinan khusus tentang keadilan ilahi, konsep takdir, dan peran tradisi (hadis) yang berbeda dengan Sunni. Mereka menekankan pentingnya keadilan sosial dan menolak ketidakadilan, yang sering kali tercermin dalam sejarah perjuangan mereka melawan penindasan politik.

Syiah merupakan salah satu cabang utama dalam Islam yang memiliki struktur kepemimpinan dan otoritas agama yang unik. Salah satu elemen kunci dalam sistem keagamaan Syiah adalah peran Ayatullah, yang merupakan gelar kehormatan bagi ulama terkemuka yang diakui sebagai otoritas agama tertinggi. Peran Ayatullah dan sistem otoritas agama dalam Syiah memainkan peran penting dalam pembentukan dan perkembangan komunitas Syiah di seluruh dunia. Ayatullah, yang artinya "tanda dari Allah," adalah gelar yang diberikan kepada ulama yang telah mencapai tingkat keilmuan dan keagamaan yang tinggi. Mereka diakui karena pengetahuan mendalam mereka tentang teologi, hukum Islam (fiqh), dan etika. Gelar ini tidak diberikan secara sembarangan, melainkan melalui proses pengakuan oleh komunitas ulama dan masyarakat Syiah berdasarkan prestasi keilmuan, karya tulis, dan pengabdian mereka.

Ayatullah memiliki beberapa peran utama dalam kehidupan religius dan sosial komunitas Syiah: pertama Otoritas Hukum dan Teologi: Ayatullah berfungsi sebagai otoritas tertinggi dalam penafsiran hukum Islam dan teologi. Mereka memberikan fatwa, atau keputusan hukum, yang menjadi panduan bagi umat Syiah dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ibadah, sosial, dan politik. 

Kedua Kepemimpinan Spiritual: Ayatullah dianggap sebagai pemimpin spiritual yang memberikan bimbingan moral dan etika kepada umat. Mereka mengajarkan nilai-nilai Islam dan memberikan nasihat tentang bagaimana menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran agama.

Ketiga Pendidikan dan Pembinaan: Ayatullah bertanggung jawab atas pendidikan agama di seminaries (hawza). Mereka mengajar murid-murid yang kelak akan menjadi ulama dan pemimpin agama, memastikan bahwa tradisi dan ajaran Syiah terus diwariskan kepada generasi berikutnya. 

Keempat Peran Sosial dan Politik: Dalam beberapa konteks, terutama di Iran, Ayatullah juga memiliki peran politik yang signifikan. Mereka terlibat dalam pengambilan keputusan politik dan pemerintahan, memastikan bahwa kebijakan negara sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Struktur hierarki ulama dalam Syiah sangat sistematis dan berjenjang, memastikan bahwa otoritas agama dipandu oleh individu-individu yang memiliki pengetahuan mendalam dan pengalaman luas dalam bidang teologi dan hukum Islam. Berikut adalah jenjang utama dalam hierarki ulama Syiah: Talib: Seorang pelajar yang memulai studi agama di seminari Mujtahid: Setelah bertahun-tahun studi dan pembelajaran mendalam, seorang talib dapat menjadi mujtahid, yang berarti ia memiliki kemampuan untuk melakukan ijtihad, yaitu penafsiran hukum Islam berdasarkan Al-Qur'an, hadis, dan sumber-sumber lainnya. 

Hujjat al-Islam: Gelar ini diberikan kepada ulama yang telah diakui karena pengetahuan dan kontribusinya dalam bidang hukum dan teologi Islam. Ayatullah: Gelar kehormatan ini diberikan kepada ulama yang telah mencapai tingkat tertinggi dalam hierarki ilmu dan keagamaan. 

Ayatullah memiliki otoritas untuk mengeluarkan fatwa dan memberikan bimbingan spiritual kepada umat. Ayatullah al-Udzma: Ini adalah gelar tertinggi yang diberikan kepada ulama yang diakui sebagai otoritas agama tertinggi. Mereka memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan agama dan sosial.

Marja' al-Taqlid, yang berarti "Sumber Imitasi," adalah seorang Ayatullah yang diakui sebagai otoritas agama tertinggi yang diikuti oleh umat Syiah. Peran mereka sangat penting dalam pengambilan keputusan agama. Berikut adalah beberapa peran utama marja' al-taqlid: Mengeluarkan Fatwa: Marja' al-taqlid mengeluarkan fatwa yang menjadi panduan bagi umat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ibadah, moral, dan sosial. 

Bimbingan Spiritual: Mereka memberikan bimbingan spiritual dan etika kepada umat, membantu mereka menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran Islam. Pendidikan Agama: Marja' al-taqlid terlibat dalam pendidikan agama, mengajarkan murid-murid di seminari dan memastikan bahwa tradisi dan ajaran Syiah terus diwariskan. 

Pengelolaan Amal dan Wakaf: Mereka bertanggung jawab atas pengelolaan amal dan wakaf, menggunakan dana tersebut untuk kepentingan masyarakat, seperti pembangunan masjid, sekolah, dan rumah sakit. Keterlibatan Sosial dan Politik: Dalam beberapa kasus, terutama di Iran, marja' al-taqlid juga memiliki peran dalam pengambilan keputusan politik, memastikan bahwa kebijakan negara sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

            Syiah, sebagai salah satu cabang utama dalam Islam, telah menghadapi berbagai kontroversi, stigma, dan konflik politik sepanjang sejarahnya. Dalam esai ini, kita akan mengeksplorasi perspektif kritis terhadap Syiah dengan fokus pada tiga aspek utama: kontroversi seputar sejarah dan ajaran Syiah, stigma dan stereotip terhadap penganut Syiah, dan konflik politik yang melibatkan komunitas Syiah. sering kali menjadi subjek kontroversi baik dari dalam maupun luar komunitas Muslim. 

Kontroversi utama seputar sejarah dan ajaran Syiah mencakup beberapa hal berikut: Kepemimpinan dan Imamah: Salah satu perbedaan mendasar antara Syiah dan Sunni adalah konsep imamah, di mana Syiah meyakini bahwa kepemimpinan umat Islam seharusnya berada di tangan keturunan Ali bin Abi Thalib dan Ahlul Bait. Pandangan ini menimbulkan ketegangan dengan Sunni, yang mengakui khilafah pertama yang dimulai oleh Abu Bakar. 

Asal Usul dan Legitimasi: Syiah meyakini bahwa mereka adalah pewaris sah tradisi dan ajaran Nabi Muhammad melalui Ali dan keturunannya. Namun, beberapa kritikus menuduh bahwa ajaran Syiah telah mengalami distorsi dan penambahan seiring waktu, menciptakan perbedaan signifikan dengan ajaran Sunni yang lebih tradisional. Ritual dan Praktik Keagamaan: Beberapa ritual dan praktik Syiah, seperti perayaan Ashura yang memperingati kematian Husain di Karbala, sering kali disalahpahami atau dikritik oleh komunitas Sunni. Praktik seperti pemukulan dada dan ritual berkabung intensif kadang dianggap berlebihan atau bid'ah oleh beberapa kelompok Sunni.

Penganut Syiah sering kali menghadapi stigma dan stereotip yang negatif, yang berdampak pada kehidupan sosial dan politik mereka. Beberapa contoh stigma dan stereotip ini termasuk Pengkhianatan dan Loyalitas Ganda: Penganut Syiah kadang-kadang dituduh memiliki loyalitas ganda, terutama kepada Iran yang mayoritas penduduknya adalah Syiah. Stigma ini menciptakan ketidakpercayaan dan diskriminasi terhadap Syiah di negara-negara dengan mayoritas Sunni. 

Heresy atau Kesesatan: Beberapa kelompok Sunni menganggap ajaran Syiah sebagai bentuk kesesatan atau bid'ah yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Tuduhan ini sering kali digunakan untuk mendiskreditkan dan mendiskriminasi komunitas Syiah. Kekerasan dan Radikalisme: Seperti halnya kelompok-kelompok agama lainnya, penganut Syiah juga kadang-kadang diidentifikasi secara tidak adil dengan kekerasan atau radikalisme. Contoh ini terlihat dalam stereotip terhadap milisi Syiah di Timur Tengah.

Komunitas Syiah sering kali terlibat dalam konflik politik, baik sebagai korban maupun pelaku. Beberapa konflik politik utama yang melibatkan Syiah adalah Revolusi Iran 1979: Revolusi ini membawa perubahan besar dalam lanskap politik Timur Tengah, di mana Syiah Iran menjadi kekuatan dominan. 

Pengaruh Iran di wilayah tersebut sering kali menimbulkan ketegangan dengan negara-negara Sunni dan Barat.Perang Saudara di Irak dan Suriah: Konflik di Irak dan Suriah telah memperlihatkan ketegangan sektarian yang mendalam antara Sunni dan Syiah. Di Irak, setelah jatuhnya Saddam Hussein, komunitas Syiah mengalami kebangkitan politik, yang memicu perlawanan dari kelompok Sunni. 

Di Suriah, dukungan Iran kepada rezim Bashar al-Assad yang Alawite (sekte Syiah) menambah kompleksitas perang saudara yang melibatkan berbagai kelompok dengan afiliasi sektarian yang berbeda. Ketegangan di Bahrain dan Yaman: Di Bahrain, mayoritas Syiah telah lama menghadapi diskriminasi dan penindasan oleh pemerintahan Sunni. Di Yaman, konflik antara Houthi yang beraliran Zaidi Syiah dan pemerintahan yang didukung oleh koalisi Sunni, termasuk Arab Saudi, mencerminkan dimensi sektarian dalam perang saudara yang berkepanjangan.

Syiah dan Sunni adalah dua cabang utama dalam Islam yang memiliki sejarah, tradisi, dan praktik yang kaya dan kompleks. Meskipun keduanya berbagi banyak kesamaan dalam keimanan dan praktik dasar, ada beberapa perbedaan signifikan yang telah mempengaruhi hubungan antara kedua kelompok ini selama berabad-abad. Dalam esai ini, kita akan membahas perbedaan dalam ajaran keyakinan, perbedaan praktik ibadah dan ritual, serta upaya untuk memperkuat persatuan umat Islam.

Perbedaan mendasar antara Syiah dan Sunni terletak pada pandangan mereka tentang kepemimpinan dan otoritas dalam Islam: Kepemimpinan: Syiah meyakini bahwa setelah wafatnya Nabi Muhammad, kepemimpinan umat Islam seharusnya diteruskan oleh keturunan langsungnya, dimulai dari Ali bin Abi Thalib, menantu dan sepupu Nabi, dan dilanjutkan oleh para imam yang berasal dari garis keturunannya. 

Konsep imamah ini sangat penting dalam teologi Syiah. Sementara itu, Sunni percaya bahwa kepemimpinan harus dipilih melalui konsensus di antara umat, dan mereka mengakui khalifah pertama, Abu Bakar, yang dipilih melalui musyawarah di antara para sahabat Nabi. Imam dan Khalifah: Dalam Syiah, imam dianggap memiliki otoritas spiritual dan temporal yang lebih besar dan dianggap ma'sum (terjaga dari dosa). Para imam Syiah adalah figur sentral dalam spiritualitas dan hukum Syiah. 

Sebaliknya, dalam Sunni, khalifah dianggap sebagai pemimpin politik dan militer, tetapi tidak memiliki status spiritual yang sama seperti imam dalam Syiah. Sumber Hukum: Kedua kelompok menggunakan Al-Qur'an dan hadis sebagai sumber hukum utama, tetapi mereka memiliki kumpulan hadis yang berbeda. Hadis-hadis yang diakui oleh Syiah umumnya berasal dari Ahlul Bait (keluarga Nabi), sedangkan Sunni memiliki enam kitab hadis yang utama, termasuk Sahih Bukhari dan Sahih Muslim.

Syiah merupakan salah satu cabang utama dalam Islam yang memiliki sejarah dan ajaran yang kaya serta kontroversial. Perbedaan utama antara Syiah dan Sunni terletak pada konsep kepemimpinan umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad, di mana Syiah meyakini bahwa kepemimpinan harus berada di tangan keturunan langsung Nabi, sementara Sunni memilih pemimpin melalui konsensus umat. Sejarah Syiah ditandai dengan peristiwa-peristiwa penting seperti tragedi Karbala dan berbagai pemberontakan terhadap dinasti Umayyah dan Abbasiyah.

Ajaran Syiah berpusat pada konsep imamah, di mana hanya keturunan Ali bin Abi Thalib yang dianggap berhak menjadi pemimpin umat Islam. Syiah juga memiliki struktur kepemimpinan yang unik dengan peran penting yang dimainkan oleh Ayatullah dan marja' al-taqlid. Meskipun demikian, Syiah sering menghadapi stigma, stereotip, dan konflik politik, terutama di wilayah-wilayah dengan mayoritas Sunni.

Upaya untuk memperkuat persatuan umat Islam antara Syiah dan Sunni terus dilakukan meskipun terdapat perbedaan signifikan dalam ajaran, praktik ibadah, dan sumber hukum. Meskipun demikian, perbedaan tersebut menunjukkan keragaman dalam keimanan dan praktik Islam yang kaya dan kompleks.

Referensi:

 Hasan, Seyyed. "Tragedi Karbala dan Penyebaran Faham Syiah." Dalam Sejarah Perjuangan Syiah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003.

Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1992.

Zulkifli, Agus. Pemberontakan dan Perlawanan Syiah. Jakarta: Pustaka Hikmah, 2013.

Momen, Moojan. An Introduction to Shi'i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi'ism. New Haven: Yale University Press, 1985.

Nasr, Seyyed Hossein. Shi'ism: Doctrines, Thought, and Spirituality. Albany: State University of New York Press, 1988.

Dabashi, Hamid. Authority in Islam: From the Rise of Muhammad to the Establishment of the Umayyads. New Brunswick: Transaction Publishers, 1989.

Halm, Heinz. Shi'a Islam: From Religion to Revolution. Princeton: Markus Wiener Publishers, 1997.

Algar, Hamid. The Roots of the Islamic Revolution in Iran. Oneonta: Islamic Publications International, 2001.

Sachedina, Abdulaziz Abdulhussein. Islamic Messianism: The Idea of the Mahdi in Twelver Shi'ism. Albany: State University of New York Press, 1981.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun