Syiah, sebagai salah satu cabang utama dalam Islam, telah menghadapi berbagai kontroversi, stigma, dan konflik politik sepanjang sejarahnya. Dalam esai ini, kita akan mengeksplorasi perspektif kritis terhadap Syiah dengan fokus pada tiga aspek utama: kontroversi seputar sejarah dan ajaran Syiah, stigma dan stereotip terhadap penganut Syiah, dan konflik politik yang melibatkan komunitas Syiah. sering kali menjadi subjek kontroversi baik dari dalam maupun luar komunitas Muslim.Â
Kontroversi utama seputar sejarah dan ajaran Syiah mencakup beberapa hal berikut: Kepemimpinan dan Imamah: Salah satu perbedaan mendasar antara Syiah dan Sunni adalah konsep imamah, di mana Syiah meyakini bahwa kepemimpinan umat Islam seharusnya berada di tangan keturunan Ali bin Abi Thalib dan Ahlul Bait. Pandangan ini menimbulkan ketegangan dengan Sunni, yang mengakui khilafah pertama yang dimulai oleh Abu Bakar.Â
Asal Usul dan Legitimasi: Syiah meyakini bahwa mereka adalah pewaris sah tradisi dan ajaran Nabi Muhammad melalui Ali dan keturunannya. Namun, beberapa kritikus menuduh bahwa ajaran Syiah telah mengalami distorsi dan penambahan seiring waktu, menciptakan perbedaan signifikan dengan ajaran Sunni yang lebih tradisional. Ritual dan Praktik Keagamaan: Beberapa ritual dan praktik Syiah, seperti perayaan Ashura yang memperingati kematian Husain di Karbala, sering kali disalahpahami atau dikritik oleh komunitas Sunni. Praktik seperti pemukulan dada dan ritual berkabung intensif kadang dianggap berlebihan atau bid'ah oleh beberapa kelompok Sunni.
Penganut Syiah sering kali menghadapi stigma dan stereotip yang negatif, yang berdampak pada kehidupan sosial dan politik mereka. Beberapa contoh stigma dan stereotip ini termasuk Pengkhianatan dan Loyalitas Ganda: Penganut Syiah kadang-kadang dituduh memiliki loyalitas ganda, terutama kepada Iran yang mayoritas penduduknya adalah Syiah. Stigma ini menciptakan ketidakpercayaan dan diskriminasi terhadap Syiah di negara-negara dengan mayoritas Sunni.Â
Heresy atau Kesesatan: Beberapa kelompok Sunni menganggap ajaran Syiah sebagai bentuk kesesatan atau bid'ah yang menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Tuduhan ini sering kali digunakan untuk mendiskreditkan dan mendiskriminasi komunitas Syiah. Kekerasan dan Radikalisme: Seperti halnya kelompok-kelompok agama lainnya, penganut Syiah juga kadang-kadang diidentifikasi secara tidak adil dengan kekerasan atau radikalisme. Contoh ini terlihat dalam stereotip terhadap milisi Syiah di Timur Tengah.
Komunitas Syiah sering kali terlibat dalam konflik politik, baik sebagai korban maupun pelaku. Beberapa konflik politik utama yang melibatkan Syiah adalah Revolusi Iran 1979: Revolusi ini membawa perubahan besar dalam lanskap politik Timur Tengah, di mana Syiah Iran menjadi kekuatan dominan.Â
Pengaruh Iran di wilayah tersebut sering kali menimbulkan ketegangan dengan negara-negara Sunni dan Barat.Perang Saudara di Irak dan Suriah: Konflik di Irak dan Suriah telah memperlihatkan ketegangan sektarian yang mendalam antara Sunni dan Syiah. Di Irak, setelah jatuhnya Saddam Hussein, komunitas Syiah mengalami kebangkitan politik, yang memicu perlawanan dari kelompok Sunni.Â
Di Suriah, dukungan Iran kepada rezim Bashar al-Assad yang Alawite (sekte Syiah) menambah kompleksitas perang saudara yang melibatkan berbagai kelompok dengan afiliasi sektarian yang berbeda. Ketegangan di Bahrain dan Yaman: Di Bahrain, mayoritas Syiah telah lama menghadapi diskriminasi dan penindasan oleh pemerintahan Sunni. Di Yaman, konflik antara Houthi yang beraliran Zaidi Syiah dan pemerintahan yang didukung oleh koalisi Sunni, termasuk Arab Saudi, mencerminkan dimensi sektarian dalam perang saudara yang berkepanjangan.
Syiah dan Sunni adalah dua cabang utama dalam Islam yang memiliki sejarah, tradisi, dan praktik yang kaya dan kompleks. Meskipun keduanya berbagi banyak kesamaan dalam keimanan dan praktik dasar, ada beberapa perbedaan signifikan yang telah mempengaruhi hubungan antara kedua kelompok ini selama berabad-abad. Dalam esai ini, kita akan membahas perbedaan dalam ajaran keyakinan, perbedaan praktik ibadah dan ritual, serta upaya untuk memperkuat persatuan umat Islam.
Perbedaan mendasar antara Syiah dan Sunni terletak pada pandangan mereka tentang kepemimpinan dan otoritas dalam Islam: Kepemimpinan: Syiah meyakini bahwa setelah wafatnya Nabi Muhammad, kepemimpinan umat Islam seharusnya diteruskan oleh keturunan langsungnya, dimulai dari Ali bin Abi Thalib, menantu dan sepupu Nabi, dan dilanjutkan oleh para imam yang berasal dari garis keturunannya.Â
Konsep imamah ini sangat penting dalam teologi Syiah. Sementara itu, Sunni percaya bahwa kepemimpinan harus dipilih melalui konsensus di antara umat, dan mereka mengakui khalifah pertama, Abu Bakar, yang dipilih melalui musyawarah di antara para sahabat Nabi. Imam dan Khalifah: Dalam Syiah, imam dianggap memiliki otoritas spiritual dan temporal yang lebih besar dan dianggap ma'sum (terjaga dari dosa). Para imam Syiah adalah figur sentral dalam spiritualitas dan hukum Syiah.Â