Mohon tunggu...
Salman AlFarizi
Salman AlFarizi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Marcomm Squad

Jika tak mampu bersaing dengan orang shalih dalam ibadahnya, maka bersainglah dengan para pendosa dalam istighfarnya. - Ibn Rajab

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Engkong

9 Januari 2018   14:46 Diperbarui: 14 Januari 2018   12:07 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita yang kutulis ini, bukanlah cerita biasa. Aku anggap luarbiasa, karena kisah ini adalah kisah tentang orang-orang biasa. Namun, sudah melakukan hal-hal yang menurutku luar biasa. Mereka sama sekali tidak terkenal. Kalau orang berkumpul, namanya tak pernah disebut. Apalagi di media cetak, sama sekali orang tak pernah membacanya. Apalagi di Media elektronik, tak pernah ada siaran tentangnya. Meski dia tak dikenal di bumi, aku yakin penghuni langit mengenalinya dengan baik.

Di Kampung Akhirat logika memang dibolak balik. Aku pikir kaya adalah dengan memiliki harta yang banyak. Nyatanya, aku merasa Kaya ketika aku "kosong". Dalam Takhalli aku temukan kekayaan batin. Dulu aku meyakini menjadi orang 'Hebat' adalah dengan belajar dari orang-orang terkenal. Hari hari ini ketika kesepian memelukku, Allah SWT hadirkan orang-orang hebat justru karena, tidak terkenal. Dia murid-murid Tarekat Idrisiyyah, seakan-akan Syekh Akbar mewujud disana-sini dalam bentuk apa saja.

Baik aku awali kisah ini dengan judul singkat: Engkong. 

Pertama aku melihatnya sedang mendorong gerobak sampah. Senyumnya khas. Manis ... ah bukan. Senyum terbuka ... ah tapi matanya tidak eye contact. Senyum rindu ... ah setua itu dia merindukan apa? Baik kusimpulkan saja: Senyumnya, "Teduh dan Meneduhkan," itulah yang aku rasakan ketika aku menatapnya. Ketika aku bercakap-cakap dengannnya, senyum itu tak lepas dari bibirnya. Senyumnya selalu ada baik diawal, di tengah ataupun di akhir, kalimatnya. Aku jadi ingat masa-masa SMP ketika mulai jatuh cinta, aku selalu menatap (gadis yg kutaksir)  sambil senyum dan menunggu dia  senyum balik. Ah masak aku jatuh cinta pada Kakek kakek?

Inilah kampung akhirat.

Aku melihat Engkong sebagai orang yang selalu berada di shaf depan ketika shalat. Tepatnya barisan terdepan sebelah kanan Syekh Akbar. Lengkap dengan uniformnya: gamis putih, Selendang tersampir di kiri dan sorban terlilit rapi. Seingatku untuk urusan seragam shalat, beliau selalu sempurna. Apapun shalatnya wajib atau sunnah. Kapan pun shalatnya, pagi siang atau malam. Siapa pun imamnya, dia selalu di depan. Kadang memang agak jauh dari Imam Shalat, tapi posisinya jelas shaf depan dan sebelah kanan. Itulah tempat favoritnya.

Bahkan dia sesekali tampil sebagai muadzin.

Dia pandai menyembunyikan kantuknya, seakan tak pernah tidur. Pantang baginya tidur ketika Syekh Akbar berzikir atau mengisi Majelis Ilmu. Dia akan mengingatkan santri kiri kanannya, agar senantiasa terjaga. Dia Rajin menyolek santri yang ditundukkan kantuknya, agar kembali terjaga. Pada dirinya aku membayang sosok Umar bin Khattab, yang setan saja kabur bila melihatnya. Santri yang mengantuk akan terjaga bila dia disampingnya, gara-gara colekannya. Jadinya setan putus asa menggodanya untuk mengantuk ketika berzikir. Rupanya itulah cara dia melawan kantuk, terus bergerak terus berjaga dan terus mengingatkan kiri kanan, depan dan belakang.

Kuingatkan kepada generasi yang mengantuk, lawanlah. Bangkitlah! Teruslah bergerak. Inilah pelajaran yang aku dapat dari seorang Tukang Sampah.

Pernah karena lelah berat aku tertidur. Seingatku hari-hari Pengajian Arbain memang melelahkan, setelah Majelis Ilmu dan Zikir, lanjut bangun untuk tahajud, disambung dengan subuh dan isyroq. Ketika menunggu Isyrok, Engkong menjadi murabbi dalam halaqahnya. Usai stalag Isyroq, aku ke balik ke Joglo dan langsung tertidur. Aku terbangun disamping perut lapar juga karena mendengar suara irama seperti di sawah. Setengah sadar aku berjalan membuka pintu dan disambut matahari yang menyilaukan pandangan. Diantara sinar itu aku lihat Engkong tengah mengayunkan pacul, memperbaiki saluran air di belakang joglo.

Ya Allah, ini orang kapan istirahatnya?

Jika saja dia tertidur di Majelis zikir, siapa pun akan maklum karena dia sudah sepuh. Padanya aku belajar, kantuk itu harus dilawan, zikir itu menghidupkan. Hawa nafsu bukan untuk dituruti. Bagiku dia lelaki hebat karena berhasil menunggangi nafsunya. Karena persoalan ngantuk bukan sepele. Coba apa hebatnya, lelaki dengan pertu six pack, tapi sedang mengantuk?

"Pak cepat, shalat jenazah segera dimulai...." katanya memanggilku dari balik dinding joglo.

Jadi sepagi ini dia sudah selesai Majelis Ilmu dan Zikir, 'bersedekah' memperbaiki saluran air dan bersegera menyalatkan jenazah. Amboi, sekarang dia memerankan diri laksana Abu Bakar as Shidiq yang berkumpul kebaikan dan selalu mendahului Umar dalam menyambut seruan Nabi saw.

"Iya Kong, sebentar saya nyusul!" aku menyambut ajakannya. Masak sih aku kalah, bisik hati kecilku sekadar untuk menepis keraguan. Mata masih berat euy.

Nah, tambah satu lagi amalnya si Engkong, berdakwah menyeru orang untuk berbuat baik.

Engkong di usianya yang tak lagi muda, dia terus berupaya menambah tabungan pahalanya.  Inilah makna sebenarnya dari umur yang barokah: Terus bergerak! Jelas aku cemburu padanya, iri dengan cintanya yang begitu besar pada sesama. Pada rabithahnya yang tak putus kepada Guru. Pada kemauannya, bersegera memenuhi perintah Guru.

Di depan mayit, diantara doa-doa kepada jenazah. Aku selipkan doa, semoga di akhirat kelak dia masih mengenali aku. Syukur-syukur aku bisa menjadi tetangga Si Tukang Sampah ini. Bersama di Surga-Nya Allah SWT, seperti ketika di dunia ini.

SALMAN AL FARIZI

Note: 

1. Kampung Akhirat, sebutan untuk Pondok kami (Pondok Tarekat Idrisiyyah), artinya Kampung yang mengingatkan kami pada Akhirat (Allah SWT)

2. Takhalli, Proses mengosongkan jiwa dari terutama Ego diri sendiri atau keinginan lain selain Allah SWT  

3. Syekh Akbar (Grand Syekh) Pimpinan Pondok Tarekat Idrisiyyah saat ini djabat oleh Syekh Akbar Muhammad Fathurahman, M.Ag

4. Rabithah, simpul agar terus tersambung dengan ruhani guru 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun