Seorang anak yang sering mendapatkan pengabaian emosional maka "otak emosi"nya akan lebih aktif dibanding otak logikanya. Bukan hanya mudah marah, tapi juga emosi lainnya. Pernah lihat ada orang yang mudah iri pada orang lain? Atau pernah baca komentar dipostingan yang bernada membandingkan diri? "Dia sih enak ...., kalau aku ....." Coba direfleksikan, ada apa dengan melihat "kehebatan" orang lain? Bukankah cukup diapresiasi atau dicontoh kebaikannya? Hal ini berkaitan dengan self awareness yang kita miliki.
Disclaimer : tulisan ini hanya sebagai bahan refleksi agar kita semakin mengenali diri sendiri.
Pernah lihat video Nikita Willy (atau artis lainnya) yang begitu terampil mengasuh anaknya, lalu baca komentar-komentarnya?
Kebanyakan nadanya seputar ini :
"Dia sih enak banyak uang, kalau aku ..."
"Biasa aja kali, gw juga kayak gitu cuma ngga divideoin aja"
Terdengar "wajar" sekali ya jaman sekarang komentar seperti ini.
Tapi coba tanyakan ke diri kita. Apa perasaan kita sehingga muncul komentar seperti itu ketika ada "kehebatan" orang lain diapresiasi?
Apakah merasa tersaingi?
Apakah merasa terabaikan?
Apakah merasa tersudut?
Karena semua input (termasuk konten) itu harusnya "netral", tapi akan menjadi positif atau negatif diterima oleh kita sesuai persepsi kita terhadap apa yang kita rasakan, seperti yang dikatakan Dr. Gabor Mate "We dont respond to what happens, we respond to our perception of what happens" Apa yang kita rasakan sangat mempengaruhi respon kita. Nah, salah satu kesalahan berkomunikasi adalah tergesa-gesa sehingga tidak membaca bahasa tubuh dan mengenali perasaan.
Pola komunikasi seperti ini tentu tidak disadari oleh orang tua karena "diturunkan" secara otomatis melalui interaksi selama bertahun-tahun. Mau kah kita menyadari dan berlatih membuat "pola" baru? Coba bayangkan hal ini.
Ketika seorang anak menangis karena menginginkan sesuatu lalu orangtua mengatakan "gitu aja nangis, udah cup cup." Lalu ketika anak menangis saat merasa tidak nyaman, orangtua mengatakan "nangis aja terus, udah diam!"Â
Lalu ketika anak terjatuh, orangtua mengatakan "makanya, udah dibilangin jangan lari-larian, sakit kan?! Udah ngga usah nangis, salah sendiri" Mungkin tangisannya bisa berhenti. Tapi, apakah emosinya mereda? Tidak, emosinya mengendap. Apakah otak logikanya terbuka? Tidak, karena otak emosinya terus aktif. Maka 1000 nasihat yang diberikan ketika emosi bermasalah adalah sia-sia.
Bandingkan dengan ini :
"Kamu sedih ya, tidak dibelikan mainan. Gakpapa kalau sedih mau Ibu peluk?"
"Kamu ngantuk ya, jadi mudah kesal. Mau tidur sekarang atau Ibu pangku dulu?"
"Sakit ya Nak, yang mana yang sakit? Coba lihat" Tangisannya bisa jadi lebih kencang? Ya. Karena emosinya sedang dialirkan. Dan otak logika baru bisa diakses ketika emosi sudah mengalir.
"Kamu tau kan kenapa Ibu tidak membelikan kamu mainan? Aturannya bagaimana?"
"Kalau ngantuk, capek, atau lapar, kita jadi mudah kesal ya. Nyaman tidak? Jadi gimana harusnya kalau sudah waktunya istirahat?"
"Tadi kenapa ya kamu terjatuh?
Gimana supaya tidak terulang seperti itu?"
Dan 1 hal yang penting ketika perasaan kita dikenali adalah kita belajar mengenali diri sendiri sehingga memiliki self awareness yang baik.
"Oh iya, aku merasa ... karena Seseorang dengan self awareness yang baik juga berdampak positif pada kesehatan mentalnya. Tidak mudah tersinggung dengan ucapan orang karena dia mengenali dirinya cukup baik. Tidak mudah marah dengan sikap orang pada dirinya karena dia pun mudah merefleksikan diri. Tidak mudah merasa iri ataupun membandingkan diri pada orang karena dia pun tahu kemampuan dirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H