Apakah merasa tersudut?
Karena semua input (termasuk konten) itu harusnya "netral", tapi akan menjadi positif atau negatif diterima oleh kita sesuai persepsi kita terhadap apa yang kita rasakan, seperti yang dikatakan Dr. Gabor Mate "We dont respond to what happens, we respond to our perception of what happens" Apa yang kita rasakan sangat mempengaruhi respon kita. Nah, salah satu kesalahan berkomunikasi adalah tergesa-gesa sehingga tidak membaca bahasa tubuh dan mengenali perasaan.
Pola komunikasi seperti ini tentu tidak disadari oleh orang tua karena "diturunkan" secara otomatis melalui interaksi selama bertahun-tahun. Mau kah kita menyadari dan berlatih membuat "pola" baru? Coba bayangkan hal ini.
Ketika seorang anak menangis karena menginginkan sesuatu lalu orangtua mengatakan "gitu aja nangis, udah cup cup." Lalu ketika anak menangis saat merasa tidak nyaman, orangtua mengatakan "nangis aja terus, udah diam!"Â
Lalu ketika anak terjatuh, orangtua mengatakan "makanya, udah dibilangin jangan lari-larian, sakit kan?! Udah ngga usah nangis, salah sendiri" Mungkin tangisannya bisa berhenti. Tapi, apakah emosinya mereda? Tidak, emosinya mengendap. Apakah otak logikanya terbuka? Tidak, karena otak emosinya terus aktif. Maka 1000 nasihat yang diberikan ketika emosi bermasalah adalah sia-sia.
Bandingkan dengan ini :
"Kamu sedih ya, tidak dibelikan mainan. Gakpapa kalau sedih mau Ibu peluk?"
"Kamu ngantuk ya, jadi mudah kesal. Mau tidur sekarang atau Ibu pangku dulu?"
"Sakit ya Nak, yang mana yang sakit? Coba lihat" Tangisannya bisa jadi lebih kencang? Ya. Karena emosinya sedang dialirkan. Dan otak logika baru bisa diakses ketika emosi sudah mengalir.
"Kamu tau kan kenapa Ibu tidak membelikan kamu mainan? Aturannya bagaimana?"
"Kalau ngantuk, capek, atau lapar, kita jadi mudah kesal ya. Nyaman tidak? Jadi gimana harusnya kalau sudah waktunya istirahat?"