Pernahkah berpikir mengapa Allah menumbuhkan fase egosentris pada semua anak usia dini? Ya, semua. Padahal mudah bagi Allah menumbuhkan anak-anak yang tanpa melewati fase ini. Maka adanya fase egosentris pada anak usia dini bukanlah untuk diredam, dicabut haknya, apalagi dimusuhi. Jika egonya tak cidera, InsyaaAllah fase ini hanya sementara. Karena hakikatnya dari mendidik bukanlah "membentuk" seperti apa yang kita inginkan dan mengajarkan sebanyak-banyaknya, tapi mengeluarkan potensi dan menumbuhkan fitrah. Apa maksudnya?
Fase egosentris terjadi pada semua anak usia dini, apapun sifat dasarnya. Memang sebagian anak ada yang memiliki ego yang lebih kuat, tapi sifat-sifatnya egosentrisnya kurang lebih sama. Di mata orang dewasa, sifat-sifat itu terlihat begitu buruk.
Dianggap "PELIT"
"MINIM EMPATI"
"INGIN MENANG SENDIRI"
"MAUNYA DITURUTI KEINGINANNYA"
Mungkin karena sifat-sifat ini sama dengan sifat-sifat orang dewasa yang dianggap egois, sehingga kebanyakan orang tua ingin meredam sifat-sifat ini. Padahal pada orang dewasa yang masih muncul sifat-sifat tersebut adalah tanda bahwa egonya tak tumbuh atau cidera.
Pada anak usia dini, ego itu perlu dirawat agar kokoh individualitasnya, agar tak cidera egonya. Ego adalah diri, manusia perlu mengenal dirinya, kebutuhannya, keinginannya, emosinya dulu. Dasar dari sifat-sifat baik yang tumbuh seiring usia manusia adalah tahapan mengenali diri dan refleksi.
Bagaimana bisa seseorang memperbaiki diri jika tidak mengenali dirinya? Tidak tau mana yang perlu diperbaiki. Maka orang dewasa yang masih memiliki sifat-sifat kekanak-kanakan tentu mereka pun tidak menyadarinya.
Kekerasan pada fitrah individualitas, seperti: kurang penerimaan, kurangnya kesadaran diri karena terlalu dikendalikan, tidak diberi ruang untuk menjadi diri sendiri. Apa yang terjadi? Ego cidera atau rendah percaya diri. Mental korban atau useless.
Mari kita kupas, contohnya Pelit atau minim empati misalnya. Pada orang dewasa, itu hanyalah 1 sisi dari cideranya ego. Sisi lainnya? Tidak enakan, mengutamakan perasaan orang lain dibanding dirinya. Mengapa? Karena terbiasa dikendalikan. Dipaksa memberi sebelum merasa "cukup" ataupun dibujuk untuk mengutamakan orang lain.
Padahal anak2 yang terlihat pelit, tak mau berbagi itu hanya sebentar. Mereka sedang mengenali kebutuhannya, maka bantu mereka. validasi kebutuhannya "Oh, kakak belum bisa pinjamkan, Dek. Kakak sedang pakai mainannya."
Lalu netijen berkata "kan harus diajarin berbagi"
Begini-begini, "Ngajarin" anak itu bukan berarti dikasih tau ini itu, didikte harus begini harus begitu. Tahukah, ada banyak metode yang lebih efektif yang bisa dilakukan orangtua dalam menanamkan value ataupun mengajarkan adab-adab.
Menanamkan value bisa melalui bercerita, ngobrol, bermain peran, mencontohkan, mendiskusikan apa yang dilihat, membahas apa yang diajarkan di sekolah atau hal-hal yang sedang terjadi di sekitar, dll. Apa masih kurang banyak ngajarinnya? Ya capeklah "diajarin" terus, kapan prakteknya.
Ingin menang sendiri pada orang dewasa yang memiliki ego lebih kuat sejak kanak-kanak, ego yang cidera itu muncul dalam sikap "ingin menang sendiri", merasa superior. Apa sisi lain dari ego yang tak tumbuh? mental korban, merasa tak berguna. Padahal anak-anak yang masih ingin menang sendiri, hanya sedang mengidentifikasi dirinya dan apa yang dipikirkannya. Maka bantu mereka mengenali dirinya dulu, baru perluas perspektifnya.
Bunda : Oh kamu maunya yang ini ya
Anak : Iya, ini kan lebih bagus
Bunda : Kecewa ya memang kalau tidak sesuai yang kita mau
Anak : Iyaa, Deliang maunya yang ini. Acall yang itu aja (Beri waktu sampai anak cukup tenang)
Bunda : Sudah tenang, Nak?
Anak : Iya, tapi beliin lagi yang kayak Acall ya Bu
Bunda : Memang yang punya Deliang kenapa?
Anak : Ini ngga bisa gerak-gerak kaki dinonya
Bunda : Oh, memang maininnya gimana?
Anak : Gini. ngga bisa tuh
Bunda : Ada cara lain memainkannya?
Anak : Ngga ada
Bunda : Coba ya, kita lihat baik-baik. Apa yang bagus dari dino yang ini?
Anak : Ini ada sayapnya Bun
Bunda : Oiya, seru ngga kalo ada sayap? Bisa dimainkan gimana?
Anak : Gini nih Bun. Keren ngga Bun?
Bunda : Alhamdulillah ternyata bisa seru juga ya Bang.
Anak : Hehee iya
Bunda : Terima kasih sudah mau berusaha melihat kebaikan dari yang Deliang punya ya. Memang kadang kita ngga bisa dapat semua yang kita mau. Tapi kalau dinikmati, ternyata bisa seru juga ya.
Selalu ingin dituruti keinginannya kalau ada orang dewasa yang seperti ini, biasanya kita bilangnya "egois" ya. Apa sih yang membuat seseorang selalu ingin dituruti keinginannya? Merasa paling berhak, merasa paling "spesial".
Simon Sinek menyebutnya "kesalahan parenting orangtua millenial" membuat anaknya merasa "terlalu" spesial dengan selalu memberikan apa yang diinginkan anak, pujian berlebih, sistem reward yang berlebihan bahkan untuk sesuatu yang merupakan kewajiban dan wajar dilakukan anak. Padahal yang dibutuhkan anak adalah diterima dan divalidasi baik emosinya, keinginannya, ataupun usahanya.
"Sedih ya Nak tidak dibelikan mainan" "Ibu tau kamu ingin sekali ya kue itu" "Ayah lihat kamu sudah berusaha. Ayah bangga sekali" Yuk, pahami kebutuhan anak dan bantu mereka mengenali dirinya. Karena di usia dini inilah mereka akan menunjukkan sifat-sifat dasarnya yang otentik yang Allah karuniai sebagai potensi menuju misi hidupnya di dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H