Mohon tunggu...
Salma Alfitri Nurulaini
Salma Alfitri Nurulaini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Padjadjaran

Manusia awam pada umumnya yang berusaha sedikit lebih istimewa di mata Allah.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sebuah Opini: Siapa yang Harus Disalahkan dalam Pelecehan Seksual?

26 Juni 2024   20:50 Diperbarui: 26 Juni 2024   20:58 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peringatan: paragraf pertama mengandung tulisan sensitif yang dapat memicu trauma bagi sebagian penyintas pelecehan seksual. Bila Anda bagian dari mereka, Anda dapat melewati paragraf tersebut dan langsung membaca tulisan di paragraf kedua

Coba bayangkan, pada suatu malam, pukul sembilan, seorang gadis remaja baru saja selesai berkunjung dari rumah temannya dan hendak pulang ke rumah kost. Di tengah perjalanan, di gang yang sepi menuju kost-nya, ia mendengar langkah kaki yang sangat pelan seolah mengikuti sang gadis kemanapun kedua kakinya melangkah. Tetapi aneh, setiap kali menoleh ke belakang, ia tak melihat siapapun. Gadis pemberani itu berusaha untuk tidak merasa paranoid dan tak menghiraukannya, berpikir mungkin itu hanya suara kucing atau bunyi benda yang terjatuh oleh angin. Satu langkah maju, langkah yang lain mengikuti, sang gadis melangkah lagi, terdengar suara yang sama lagi, begitu terus. Seolah suara langkahnya bergema. Gadis itu pun mulai gelisah dan kembali menoleh barangkali untuk yang ketiga kalinya. Semilir angin malam yang tiba-tiba berhembus entah dari mana membuat bulu kuduk di sekujur tubuhnya berdiri. Mungkin ia kedinginan, atau... mungkin ia melihat sesuatu di belakangnya. Iya, 'sesuatu' itu adalah laki-laki jangkung dengan mata yang melotot--barangkali terpesona dengan kecantikan sang gadis yang mengenakan celana jeans setengah paha dan kaos ketat berwarna putih--kemudian langsung menggenggam pergelangan tangan sang gadis dan menyeret gadis itu, entah kemana. Yang jelas Anda tidak mau tahu, Anda tidak akan pernah mau tahu.

"Makanya, jangan pake baju terbuka pas malem-malem!" Seru seorang warganet dengan foto profil berupa siluet 'estetik' side profile seorang lelaki remaja yang tengah merokok, mengomentari postingan miris tentang pelecehan seksual di sebuah akun Instagram khusus berita-berita viral. Ia menyalahkan cara berpakaian perempuan itu yang menjadi biang penyebab terjadinya pelecehan seksual.

"Iya lah, pokoknya semua salah cewek. Diperk*a juga salah cewek! Kita emang 'si paling salah'! Padahal lu cowok pada yang gak bisa nahan napsu pas liat cewek cantik jalan di depan mata kalian yang jelalatan itu!" Warganet lain dengan foto profil wajah perempuan cantik hasil jepretan selfie menimpali komentar pertama dengan nada mengamuk, merasa kaumnya--kaum Hawa--selalu salah dalam posisi seperti ini.

"Ayolah, para wanita... Kita laki-laki emang bejat, tapi yang mancing duluan siapa?" Ada satu lagi warganet dengan foto profil pria paruh baya dengan kacamata hitam yang berkomentar demikian, membuat saya mual tak karuan ketika membacanya.

Saya hanya sedang bersantai, menikmati waktu me time di antara menumpuknya tugas kuliah yang menanti untuk dikerjakan. Dengan jenuh, saya menggulirkan homepage Instagram, barangkali menemukan hal yang menarik untuk mengusir kejenuhan ini. Sampai akhirnya saya berakhir di postingan tersebut. Kejenuhan saya memang menghilang seketika, tetapi hati saya tiba-tiba terasa panas seperti dibakar oleh batu bara. Saya jadi ikut-ikutan menghakimi postingan itu--yah, begitulah 'manusia', makhluk Tuhan yang paling sering menghakimi tindakan sesamanya.

(Postingan yang saya maksud di atas adalah fiksi namun terinspirasi dari pengalaman nyata saya)

Setelah cukup puas (atau muak) melihat komentar-komentar yang saling balas membalas di postingan tersebut, saya mematikan handphone dan berusaha menenangkan diri. Sejenak menghentikan otak saya yang hobi menghakimi segala hal itu. Kemudian setelah kepala saya cukup dingin, saya pun melamun, merenungkan opini-opini dan respon-respon masyarakat luas terhadap peristiwa mengerikan itu. Kali ini saya berusaha untuk tidak menghakimi dan memihak siapapun, mengingat saya adalah seorang mahasiswi di Program Studi Ilmu Sejarah, ilmu yang mengajarkan untuk menganalisis segala sesuatu tanpa melakukan keberpihakan berat sebelah atau disebut sebagai sikap personal bias.

Dalam kolom komentar di postingan yang membahas kekerasan atau pelecehan seksual, terlalu mudah untuk mengetahui jenis kelamin warganet atau user, bahkan kita tak perlu susah payah membuka beranda akun mereka untuk melihat wajahnya lebih jelas. Cukup dengan membaca respon mereka atas postingan itu, kita langsung tahu, mana yang 'perempuan' dan mana yang 'laki-laki'.

Si laki-laki merasa perempuan yang menggunakan pakaian minim-lah faktor utama terjadinya pelecehan seksual.

Si perempuan merasa laki-laki-lah yang seharusnya bisa menahan diri ketika melihat perempuan.

Jadi siapa yang harus disalahkan?

Saya adalah perempuan, tetapi bukan berarti saya akan sepenuhnya berpihak kepada perempuan dan menuduh laki-laki. Di sini saya akan melihat keduanya berada di posisi yang seimbang. Fifty fifty.

Pertama, laki-laki sebagai manusia yang diciptakan Tuhan dengan fisik yang lebih tegap ada bukan untuk menyakiti perempuan. Laki-laki dengan tubuhnya yang sedikit lebih besar dari perempuan ada untuk melindungi kaum Hawa. Perlu ditekankan bahwa laki-laki harus memahami jika ia nekat 'menyakiti' perempuan, bukan saja ia telah melakukan tindakan kriminal yang mencoreng nama baiknya untuk selamanya, tetapi juga menimbulkan trauma tak berkesudahan bagi korban. Jika masih tak menghiraukan alasan ini, maka mungkin masih ada yang salah dengan mentalnya. Saya tidak bercanda, karena banyak sekali kasus pelecehan seksual yang diinisiasi oleh orang-orang dengan gangguan mental. Orang-orang seperti ini tentunya sudah tak lagi memikirkan soal kemanusiaan ketika melancarkan aksinya. Mereka tak sempat kepikiran dampak yang dirasakan korban nanti; rasa sakit di hati dan tubuh yang kadang-kadang tak bisa diobati, dijauhi dan diasingkan teman, bahkan ada yang harus sampai melahirkan anak yang tak mereka kehendaki.

Lalu, apa yang harus dilakukan jika tidak bisa menahan hawa nafsu untuk melakukan 'itu'?

Lakukan dari yang paling sederhana yaitu dengan memalingkan pandangan dari bagian-bagian tubuh perempuan yang dapat menimbulkan pikiran-pikiran kotor, buruk, bahkan jahat. Jika masih belum berhasil, lakukanlah aktivitas yang sehat dan menyenangkan agar mengisi otak dengan pikiran-pikiran yang lebih baik dan berkualitas sehingga tidak sempat untuk memikirkan hal-hal kotor seperti pergi ke taman hiburan, membaca buku, jogging, mendengarkan musik, berolahraga, dan masih banyak lagi. Jika belum juga berhasil, masih ada cara terakhir yakni pergi ke tenaga profesional seperti psikolog. Konsultasikan semua keluhan psikis Anda agar tenaga profesional dapat membantu Anda menjadi pribadi yang lebih baik. Jangan lupa juga untuk semakin meningkatkan ibadah sesuai kepercayaan Anda sendiri karena Tuhan akan membantu Anda dalam menemukan solusinya dengan lebih mudah.

Kedua, perempuan, kaum saya. Sifat kebanyakan perempuan yang perasa dan lembut adalah pelengkap hidup laki-laki. Perempuan adalah penyayang bagi laki-laki, dan laki-laki adalah pelindung bagi perempuan. Begitulah cara kerjanya. Tetapi sangat disayangkan sekali, dalam kasus pelecehan seksual, perempuan paling banyak berada di posisi sebagai korban. Alasannya karena perempuan itu 'dianggap' lebih lemah sehingga lebih mudah 'dikuasai'. Akan tetapi, alasan tersebut dapat segera dibantah. Akhir-akhir ini perempuan semakin berani dalam menyuarakan pendapatnya--termasuk saya sendiri yang sekarang sedang menulis sebuah tulisan opini. Perempuan semakin kuat dengan cara melindungi sesama perempuan melalui gerakan-gerakan yang nyata. Belum lagi banyaknya organisasi feminis yang jumlahnya terus berkembang, semakin tak terkalahkan-lah kaum ini.

Namun, Anda patut mengetahui bahwa faktor terjadinya pelecehan seksual juga tak hanya bersumber dari laki-laki yang notabene "tak dapat menahan hawa nafsunya", tetapi juga berasal dari perempuan. Mengapa?

Kita semua tahu soal perbedaan bentuk tubuh laki-laki dan perempuan. Tuhan menciptakan tubuh perempuan dengan lekukan dan tonjolan sementara laki-laki dengan bentuk tubuh yang lebih bidang dan rata. Lekukan dan tonjolan pada perempuan 'seperti yang kita tahu' dapat merangsang pikiran kotor seseorang yang melihatnya. Apabila seseorang itu--seperti yang saya jelaskan sebelumnya--adalah orang yang mengalami gangguan kejiwaan, bisa saja timbul ide-ide jahat di dalam pikiran mereka untuk menyakiti perempuan. 

Sebelum terjadi hal-hal yang tak diinginkan, saya sebagai sesama perempuan berharap agar para perempuan memahami logika tersebut dan berinisiatif untuk menutup tubuhnya, terutama di bagian-bagian yang paling mencolok seperti perut dan dada apabila akan bepergian keluar khususnya ke tempat yang sepi.

Kendati pun, ternyata masih banyak kasus pelecehan seksual yang juga dilakukan pada perempuan yang sudah melakukan cara seperti di atas. Walau sudah menutup tubuhnya bahkan dengan pakaian yang paling buni, mereka tetap menjadi korban. Maka solusi saya akan hal itu adalah dengan membawa setidaknya satu teman yang akan menemani kita ketika pergi ke tempat yang sepi atau jauh dari rumah/kost. Saran saya yang lain adalah dengan menekankan perempuan untuk mempelajari ilmu bela diri serta melatih kemampuan fisiknya sehingga dapat melindungi diri sendiri dari kejahatan ketika tidak ada siapapun yang sedang menemani.

Bagaimana jika sudah melakukan semua saran di atas, perempuan tetap menjadi korban (atau pelaku) dan laki-laki tetap menjadi pelaku (atau korban) pelecehan seksual? Saatnya pemerintah turun tangan dalam menangani masalah ini. Bukan hanya memberikan hukuman setimpal kepada pelaku atau bantuan psikologis kepada korban setelah semuanya terlanjur terjadi tetapi juga dengan memberikan perlindungan dan pengawasan untuk mencegahnya. Perlindungan sudah diinisiasi dengan berdirinya Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Kemudian praktek pengawasan bisa dilakukan dengan memasang kamera CCTV di daerah-daerah sepi dan rawan.

Kembali ke pertanyaan di awal: siapa yang harus disalahkan? Laki-laki atau perempuan?

Kalau dilihat dari permukaan, yang patut disalahkan tentunya laki-laki (atau perempuan) yang menjadi pelakunya. Pelaku itu pasti sosok yang bejat, tidak manusiawi dan hina. Tetapi perlu diingat bahwa setiap peristiwa pelecehan seksual juga berbeda-beda alur ceritanya. Kadang-kadang, pelaku terdorong untuk melancarkan aksi bejatnya karena terangsang korban yang tidak menjaga bagian tubuhnya. Apabila alur kasusnya persis seperti ini, berarti penyebab terjadinya pelecehan seksual adalah dua faktor yang saling berkaitan tersebut: korban yang berpakaian kurang tertutup dan pelaku yang tidak bisa menjaga nafsu seksualnya.

Akan tetapi, jika korban sudah berusaha menjaga dirinya dan tetap menjadi sasaran pelaku, maka safe untuk mengatakan bahwa semuanya memang seratus persen kesalahan pelaku tersebut.

Walau begitu, harus digarisbawahi bahwa JANGAN PERNAH SEKALI-KALI menekan emosi korban dengan menyalahkan cara berpakaiannya setelah pelecehan seksual terlanjur terjadi. Apabila pelecehan sudah terlanjur dialami korban, dekaplah, dengarkan dirinya, selalu temani 24/7 jam, buat ia masuk ke dalam comfort zone yang terbaik agar membantu traumanya berangsur-angsur menghilang. Selain itu bawa korban ke tenaga profesional khusus yang menangani korban-korban pelecehan seksual.

Saya di sini tak ada maksud untuk membatasi para perempuan dengan cara mereka mengekspresikan kebebasannya dalam berpakaian. Menggunakan pakaian modis sah-sah saja asalkan tetap sopan dan tidak asal 'buka-bukaan'. Dengan begitu, saya harap para perempuan menjadi semakin berhati-hati dan semakin menjaga diri. Begitu pun saya menyarankan kaum laki-laki untuk senantiasa menjaga sikapnya dan menghormati bahkan melindungi perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun