Mohon tunggu...
Yuni Bues
Yuni Bues Mohon Tunggu... -

- Suka makan & ketawa\r\n- Karyawati di satu perusahaan di Jerman

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Christopher Street Day - Kita Semua Adalah Sama?

7 Juli 2015   12:21 Diperbarui: 7 Juli 2015   15:10 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

CSD Berlin/www.visitberlin.de

 

Christopher Street Day (CSD) belum lama ini (26 Juni 2015) kembali dirayakan di Berlin dengan gegap-gempitanya. Pesertanya lebih dari 200.000 orang dengan 50 kereta hias mengikuti arak-arakan yang dimulai dari Kudamm & berakhir di Brandenburger Tor. Jalan-jalan yang dilewati parade tahunan ini ditutup total untuk beberapa jam lamanya. Untuk masyarakat yang mau melihatnya, acara jalan kaki seperti ini tentu menyenangkan. Tapi yang punya kepentingan lain & harus berkendaraan untuk cepat sampai ke tujuan, banyak yang ngomel. 
Pembukaan acara ini dilakukan walikota Berlin, Michael Müller (SPD).

"Wir sind alle anders. Wir sind alle gleich" (Kita semua berbeda. Kita semua sama) itulah tema yang diusung kali ini, yang bisa dibilang selalu sama setiap tahunnya. Menuntut persamaan hak untuk homo (gay & lesbi), trans & bisexual. Begitu juga untuk golongan Y, yang sampai saat ini tidak mau dimasukkan ke dalam grup tersebut. Tampil beda !

Sehari sebelum perayaan CSD di sini, pemerintah Amerika Serikat mengesahkan UU pernikahan sejenis di 50 negara bagiannya. Keberhasilan ini dijadikan tolak-ukur, agar pemerintah Jerman mau juga menggolkan tuntutan yang sama dari mereka, melegalisasikan perkawinan sejenis. Selain itu mereka juga meminta untuk diijinkan mengadopsi anak, serta perlindungan keamanan bagi 'kaum'nya yang menjadi pengungsi di sini. (Kalau nggak aman, kenapa mereka datang ke sini?). Mereka mau keberadaannya & hak-haknya disamakan dengan pasangan heterosexual.

Jerman, sebagai negara yang 'masih' memegang nilai-nilai konservatif dibanding negara di Eropa lainnya, jelas dianggap terbelakang oleh golongan yang selalu menuntut adanya persamaan hak dalam masalah pernikahan. Apalagi negara tetangga di sekitarnya sudah banyak yang melegalkan pernikahan sejenis (Belanda, Belgia, Denmark, Swedia. Inggris, dll.). 

Partai CDU & CSU yang terkenal konservatif & sampai saat ini masih cukup kuat suaranya di parlemen, menolak usulan partai Grüne & Linke untuk mensahkan pernikahan model ini. Sementara SPD, partai yang menjadi koalisi CDU/CSU, setuju dengan Grüne & Linke. Hanya karena sebagai partai pemerintah & terikat dalam koalisi, mau tidak mau mereka harus mengerem suaranya.

Alasan penolakan CDU/CSU, karena mereka melihat, bahwa 'pernikahan (Ehe)' itu hanya milik pria & wanita, sebagaimana yang tertulis di Alkitab & UUD (Grundgesetz) Jerman, Paragraf 1353. Dari pernikahan itulah akan terbentuk keluarga yang ideal, dengan lahirnya keturunan, sebagaimana yang sudah berlangsung sejak lama. Hal ini juga ditekankan kembali oleh Hakim Mahkamah Konstitusi, agar kondisi tersebut tetap terus dipertahankan.

Sedangkan untuk pendukung yang pro pernikahan sejenis, jelas berusaha mencari kelemahan dari UUD itu. Menurut mereka di dalamnya tidak secara eksplisit menjelaskan, bahwa pernikahan itu hanya milik pasangan yang berbeda. Bahkan kata pria & wanita juga tidak disebutkan. Makanya tidak ada alasan melarang pernikahan ini.

Pendirian CDU/CSU yang demikian tentulah tidak gampang. Dari luar disodok kiri-kanan. Belum lagi dari dalam tubuh partainya sendiri. Hanya menutup telinga saja, juga bukan jalan yang terbaik di negara demokrasi. Apalagi di masyarakat mulai gencar-gencarnya diadakan kampanye di banyak media untuk pro pernikahan ini. Mulai yang berupa petisi, sampai ke bentuk iklan. 

Di Berlin sendiri, menurut hasil jajak pendapat yang dilakukan Forsa, 73% masyarakatnya menyatakan setuju. Untuk mengukur sampai sejauh mana anggota partai CDU Berlin berdiri di belakang Merkel, yang masih teguh menolak pernikahan sejenis, maka mulai 2 Juli lalu dilakukan jajak pendapat (lewat surat) ke 12.500 anggotanya. Batas waktu yang diberikan sampai 15 Juli.

Kehidupan kaum homo & lesbian di sini sudah jauh lebih nyaman dibandingkan sesamanya yang ada di tanah air. Yang namanya dirazia oleh polisi atau tokoh agama tidak pernah terjadi, begitu juga dengan pelecehan yang dilakukan masyarakat sekitarnya. Mereka dapat beraktivitas seperti yang diinginkannya, karena pemerintah telah memberikan kelonggaran-kelonggaran seperti ini:

- Diperbolehkan untuk mencantumkan nama pasangan hidupnya secara resmi (sejak 2011) di dokumen yang dianggap penting, termasuk di Standesamt (kantor catatan sipil). Makanya mereka bisa memamerkan pasangan hidupnya tanpa perasaan takut atau malu.
- Mengadopsi anak, walaupun tidak secara langsung. Anak yang boleh diadopsi adalah anak bawaan pasangannya (anak tiri), itupun kalau mantan pasangannya menyetujui. 
- Mendapat perlakuan yang sama dalam hukum (sejak 1994) sebagaimana heterosexual.
- Mempunyai pemakaman (kuburan) khusus untuk mereka sendiri. Di Berlin pemakaman homo terletak di Tempelhof-Schöneberg (Alte St.Matthäus Kirchof), sedangkan untuk lesbian di Prenslauer Berg (Georgen-Parochial-Friedhof I). (Menuntut persamaan, tapi dalam kematian mau tempat tersendiri).
- Tersedianya toilet khusus untuk mereka. (Hati-hati jangan salah masuk!). Di pintu masuknya selalu terpasang gambar wanita & pria yang berdampingan. (Menuntut persamaan, tapi kok tetap tidak mau berbaur). 
- Boleh bermesraan di depan publik sebagaimana layaknya pasangan hetero. Nggak bakalan ada yang usil. Walaupun ada yang tidak suka melihatnya, paling-paling hanya dipendam di hati.
- Tidak ada lagi diskriminasi dalam pekerjaan. Hak mereka sama seperti kita. Bahkan banyak juga yang menempati pos-pos penting.
- Melakukan parade tahunan atau pameran tersendiri dengan mengenakan segala atribut yang menjadi ciri khasnya. Mau hanya bercelana dalam aja juga nggak masalah. 
- Bebas mendirikan tempat-tempat hiburan untuk kaumnya. 

Topik 'Pernikahan untuk semua' (Ehe für alle) memang lagi menjadi bahasan hangat di parlemen, setelah masalah Yunani. Para wakil rakyat ini ada yang mendukungnya sebab melihat alasan 'kemanusiaan', tetapi tidak sedikit yang hanya untuk alasan politik. (Untuk bisa mendapat suara lebih banyak di Pemilu yang akan datang). Sedangkan yang menentangnya, selain mempertaruhkan reputasi partainya, juga karena tidak bisa membohongi hati nuraninya. Pikiran mereka, seperti halnya saya juga, bahwa pernikahan itu hendaknya hanya milik pasangan heterosexual sesuai dengan istilah 'suami-istri' yang sudah kita kenal sejak ratusan, bahkan ribuan tahun lalu, yang terdiri dari pria & wanita. Pasangan hetero inilah yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup manusia dengan cara bereproduksi. Dan di tangan merekalah kasih sayang & pendidikan seorang anak diajarkan pertama kalinya sesuai dengan perannya masing-masing, ayah & ibu. Si anak akan belajar dari ayahnya tentang karakter & kekuatan seorang pria, sedangkan kelembutan & sifat kewanitaan didapat dari ibunya. Selain itu anak bisa juga belajar sekaligus tentang perbedaan gender kedua orang tuanya. Kedua perbedaan karakter inilah yang akan membentuk kejiwaan seorang anak nantinya untuk bisa terjun ke lingkungan yang lebih luas lagi, yaitu masyarakat. Apakah peran ayah & ibu ini akan bisa digantikan oleh kaum homo & lesbian? 

Naluri seorang ayah & ibu sudah datang secara otomatis, sesuai dengan kodrat kita masing-masing. Dan ini tidak akan bisa kita tiru 100% untuk orang yang mau berganti peran. (Sebagus-bagusnya KW, tidak akan pernah menyamai yang aslinya. Pasti ada cacatnya). Bagaimana pasangan lesbian mau menerangkan ke anaknya tentang pria atau sosok ayah, sementara gambaran laki-laki sudah nggak ada dalam hidupnya. Begitu juga yang terjadi dalam pasangan homo, menghapuskan sosok wanita (ibu). Bisa saja keduanya berperan sebagai ayah & ibu, tapi apakah perannya itu sudah benar? Si anak yang sudah terbiasa dengan 'keluarga' yang demikian, tentu akan sulit untuk beradaptasi di luar itu. Bagaimana perasaan si anak, jika melihat teman-teman di sekolahnya mempunyai orang tua yang berbeda dengan dirinya? Belum lagi harus menerima penjelasan gurunya, yang tentunya akan bertolak-belakang dengan yang diterimanya di rumah. Mengucapkan sebutan 'ayah-ibu' di depan publik aja sudah merupakan beban bagi si anak, apalagi harus menjelaskan tentang keluarganya yang 'tampil beda'.

Jumlah guru laki-laki yang sangat sedikit (hanya 12%) untuk SD di Jerman dibandingkan guru wanitanya, sudah menjadi masalah tersendiri bagi murid laki-laki. Anak-anak ini yang masih perlu contoh & panutan yang baik dari seorang laki-laki (ayah) di luar keluarganya, sering merasa belum puas dengan pengajaran & penjelasan guru wanitanya dalam hal tertentu. Kenakalan mereka, yang bisa jadi dianggap sebagai hal biasa & normal di kalangan kaumnya, tapi untuk guru wanitanya justru dianggap menganggu & dikenakan hukuman. Atau dalam kesempatan tertentu di kelas, mereka disuruh mengungkapkan perasaannya (dengan banyak bicara) sebagaimana murid perempuan. Jelas hal ini akan membuatnya nervus, sebab laki-laki lebih suka bicara dengan pikirannya. Ketidakberhasilan murid laki-laki di kelasnya, bisa jadi terletak di tangan guru yang salah. Sedangkan untuk murid perempuan, bagaimana mereka bisa lebih mengenal lawan jenisnya dengan baik, kalau keterangan yang didapatnya hanya dari kaumnya saja.

Ketimpangan seperti ini mulai sering dibicarakan para orang tua murid beberapa tahun belakangan ini. Bahkan sampai ada yang menyalahkan gurunya, karena perilaku anak lelakinya jadi lebih cenderung seperti perempuan. Kondisi yang demikian jelas membuat mereka khawatir, terutama untuk orang tua tunggal (Einelternfamilie) yang jumlahnya mencapai 20% (akibat perpisahan: 17%, perceraian: 42%, kematian: 6%) & diperkirakan akan terus bertambah.

Dari contoh di atas saja sudah bisa terlihat bagaimana seorang guru, yang memperlakukan semua muridnya secara sama, bisa berpengaruh besar & membelokkan perilaku anak. Begitupun juga dengan orang tua tunggal. Apalagi dengan anak yang sudah terbiasa hidup dengan orang tua yang sejenis, yang dengan sengaja & secara terang-terangan menghapus keberadaan lawan jenisnya.

Untuk pemerintah pun tidak gampang, seandainya pernikahan sejenis diijinkan. Akan banyak hukum, yang acuannya ke UUD, yang nantinya harus dirubah. Bagaimana tentang hak-hak dalam pernikahan, siapa yang bertanggung jawab sebagai kepala keluarga, pembagian harta gono-gini, masalah warisan, pembayaran pajak pendapatan & tahunan, hak asuh anak jika ortunya cerai, dan masih banyak lagi, yang memang dari awalnya tidak pernah dipersiapkan & dipikirkan tentang hukum seperti itu.

Hidup akan jauh lebih indah & unik, jika sesuatu masih bisa berjalan di atas relnya masing-masing. Persamaan bukan berarti memaksakan atau menyamakan semua perbedaan yang ada tanpa melihat kiri-kanan & menabrak norma-norma yang berlaku di masyarakat & agama.

Sumber:
- beberapa media online Jerman tentang Ehe für alle.
- taz "Männliche Lehrer sterben aus: Nachteil Junge.
- Alleinerziehende in Deutschland.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun