Kehidupan kaum homo & lesbian di sini sudah jauh lebih nyaman dibandingkan sesamanya yang ada di tanah air. Yang namanya dirazia oleh polisi atau tokoh agama tidak pernah terjadi, begitu juga dengan pelecehan yang dilakukan masyarakat sekitarnya. Mereka dapat beraktivitas seperti yang diinginkannya, karena pemerintah telah memberikan kelonggaran-kelonggaran seperti ini:
- Diperbolehkan untuk mencantumkan nama pasangan hidupnya secara resmi (sejak 2011) di dokumen yang dianggap penting, termasuk di Standesamt (kantor catatan sipil). Makanya mereka bisa memamerkan pasangan hidupnya tanpa perasaan takut atau malu.
- Mengadopsi anak, walaupun tidak secara langsung. Anak yang boleh diadopsi adalah anak bawaan pasangannya (anak tiri), itupun kalau mantan pasangannya menyetujui.Â
- Mendapat perlakuan yang sama dalam hukum (sejak 1994) sebagaimana heterosexual.
- Mempunyai pemakaman (kuburan) khusus untuk mereka sendiri. Di Berlin pemakaman homo terletak di Tempelhof-Schöneberg (Alte St.Matthäus Kirchof), sedangkan untuk lesbian di Prenslauer Berg (Georgen-Parochial-Friedhof I). (Menuntut persamaan, tapi dalam kematian mau tempat tersendiri).
- Tersedianya toilet khusus untuk mereka. (Hati-hati jangan salah masuk!). Di pintu masuknya selalu terpasang gambar wanita & pria yang berdampingan. (Menuntut persamaan, tapi kok tetap tidak mau berbaur).Â
- Boleh bermesraan di depan publik sebagaimana layaknya pasangan hetero. Nggak bakalan ada yang usil. Walaupun ada yang tidak suka melihatnya, paling-paling hanya dipendam di hati.
- Tidak ada lagi diskriminasi dalam pekerjaan. Hak mereka sama seperti kita. Bahkan banyak juga yang menempati pos-pos penting.
- Melakukan parade tahunan atau pameran tersendiri dengan mengenakan segala atribut yang menjadi ciri khasnya. Mau hanya bercelana dalam aja juga nggak masalah.Â
- Bebas mendirikan tempat-tempat hiburan untuk kaumnya.Â
Topik 'Pernikahan untuk semua' (Ehe für alle) memang lagi menjadi bahasan hangat di parlemen, setelah masalah Yunani. Para wakil rakyat ini ada yang mendukungnya sebab melihat alasan 'kemanusiaan', tetapi tidak sedikit yang hanya untuk alasan politik. (Untuk bisa mendapat suara lebih banyak di Pemilu yang akan datang). Sedangkan yang menentangnya, selain mempertaruhkan reputasi partainya, juga karena tidak bisa membohongi hati nuraninya. Pikiran mereka, seperti halnya saya juga, bahwa pernikahan itu hendaknya hanya milik pasangan heterosexual sesuai dengan istilah 'suami-istri' yang sudah kita kenal sejak ratusan, bahkan ribuan tahun lalu, yang terdiri dari pria & wanita. Pasangan hetero inilah yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup manusia dengan cara bereproduksi. Dan di tangan merekalah kasih sayang & pendidikan seorang anak diajarkan pertama kalinya sesuai dengan perannya masing-masing, ayah & ibu. Si anak akan belajar dari ayahnya tentang karakter & kekuatan seorang pria, sedangkan kelembutan & sifat kewanitaan didapat dari ibunya. Selain itu anak bisa juga belajar sekaligus tentang perbedaan gender kedua orang tuanya. Kedua perbedaan karakter inilah yang akan membentuk kejiwaan seorang anak nantinya untuk bisa terjun ke lingkungan yang lebih luas lagi, yaitu masyarakat. Apakah peran ayah & ibu ini akan bisa digantikan oleh kaum homo & lesbian?Â
Naluri seorang ayah & ibu sudah datang secara otomatis, sesuai dengan kodrat kita masing-masing. Dan ini tidak akan bisa kita tiru 100% untuk orang yang mau berganti peran. (Sebagus-bagusnya KW, tidak akan pernah menyamai yang aslinya. Pasti ada cacatnya). Bagaimana pasangan lesbian mau menerangkan ke anaknya tentang pria atau sosok ayah, sementara gambaran laki-laki sudah nggak ada dalam hidupnya. Begitu juga yang terjadi dalam pasangan homo, menghapuskan sosok wanita (ibu). Bisa saja keduanya berperan sebagai ayah & ibu, tapi apakah perannya itu sudah benar? Si anak yang sudah terbiasa dengan 'keluarga' yang demikian, tentu akan sulit untuk beradaptasi di luar itu. Bagaimana perasaan si anak, jika melihat teman-teman di sekolahnya mempunyai orang tua yang berbeda dengan dirinya? Belum lagi harus menerima penjelasan gurunya, yang tentunya akan bertolak-belakang dengan yang diterimanya di rumah. Mengucapkan sebutan 'ayah-ibu' di depan publik aja sudah merupakan beban bagi si anak, apalagi harus menjelaskan tentang keluarganya yang 'tampil beda'.
Jumlah guru laki-laki yang sangat sedikit (hanya 12%) untuk SD di Jerman dibandingkan guru wanitanya, sudah menjadi masalah tersendiri bagi murid laki-laki. Anak-anak ini yang masih perlu contoh & panutan yang baik dari seorang laki-laki (ayah) di luar keluarganya, sering merasa belum puas dengan pengajaran & penjelasan guru wanitanya dalam hal tertentu. Kenakalan mereka, yang bisa jadi dianggap sebagai hal biasa & normal di kalangan kaumnya, tapi untuk guru wanitanya justru dianggap menganggu & dikenakan hukuman. Atau dalam kesempatan tertentu di kelas, mereka disuruh mengungkapkan perasaannya (dengan banyak bicara) sebagaimana murid perempuan. Jelas hal ini akan membuatnya nervus, sebab laki-laki lebih suka bicara dengan pikirannya. Ketidakberhasilan murid laki-laki di kelasnya, bisa jadi terletak di tangan guru yang salah. Sedangkan untuk murid perempuan, bagaimana mereka bisa lebih mengenal lawan jenisnya dengan baik, kalau keterangan yang didapatnya hanya dari kaumnya saja.
Ketimpangan seperti ini mulai sering dibicarakan para orang tua murid beberapa tahun belakangan ini. Bahkan sampai ada yang menyalahkan gurunya, karena perilaku anak lelakinya jadi lebih cenderung seperti perempuan. Kondisi yang demikian jelas membuat mereka khawatir, terutama untuk orang tua tunggal (Einelternfamilie) yang jumlahnya mencapai 20% (akibat perpisahan: 17%, perceraian: 42%, kematian: 6%) & diperkirakan akan terus bertambah.
Dari contoh di atas saja sudah bisa terlihat bagaimana seorang guru, yang memperlakukan semua muridnya secara sama, bisa berpengaruh besar & membelokkan perilaku anak. Begitupun juga dengan orang tua tunggal. Apalagi dengan anak yang sudah terbiasa hidup dengan orang tua yang sejenis, yang dengan sengaja & secara terang-terangan menghapus keberadaan lawan jenisnya.
Untuk pemerintah pun tidak gampang, seandainya pernikahan sejenis diijinkan. Akan banyak hukum, yang acuannya ke UUD, yang nantinya harus dirubah. Bagaimana tentang hak-hak dalam pernikahan, siapa yang bertanggung jawab sebagai kepala keluarga, pembagian harta gono-gini, masalah warisan, pembayaran pajak pendapatan & tahunan, hak asuh anak jika ortunya cerai, dan masih banyak lagi, yang memang dari awalnya tidak pernah dipersiapkan & dipikirkan tentang hukum seperti itu.
Hidup akan jauh lebih indah & unik, jika sesuatu masih bisa berjalan di atas relnya masing-masing. Persamaan bukan berarti memaksakan atau menyamakan semua perbedaan yang ada tanpa melihat kiri-kanan & menabrak norma-norma yang berlaku di masyarakat & agama.
Sumber:
- beberapa media online Jerman tentang Ehe für alle.
- taz "Männliche Lehrer sterben aus: Nachteil Junge.
- Alleinerziehende in Deutschland.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H