Mohon tunggu...
Salim Darmadi
Salim Darmadi Mohon Tunggu... Profesional Sektor Publik -

Profesional Sektor Publik, Penulis Buku "Serpihan Inspirasi: Hikmah dari Negeri Seberang", Mentor & Mentee, Narablog, STAN (2001-2006), University of Queensland (2008-2010), salim-darmadi.com

Selanjutnya

Tutup

Trip

Menghapus Luka Masa Silam

3 Agustus 2018   14:05 Diperbarui: 3 Agustus 2018   14:09 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Saya melangkahkan kaki keluar dari Gedung Parlemen Australia, sebuah bangunan dengan struktur unik menyerupai bumerang dan menjadi tengaran (landmark) ibu kota Canberra. Di puncaknya, berkibar gagah bendera nasional Austalia. Bendera berlatar biru tua berhiaskan panji Britania Raya Union Jack dan lima bintang merah Southern Cross. Di gedung inilah para anggota parlemen berdebat dan memutuskan beragam kebijakan yang menyangkut kepentingan nasional Negeri Kanguru. Di depan sana, berdiri bangunan putih Old Parliament House, yang sekarang menjadi Museum of Australian Democracy, serta danau buatan Lake Burley Griffin.

Tetiba mata saya menangkap sebuah pemandangan tidak biasa di seberang gedung parlemen itu. Memang tidak ada orang di sana, namun kelihatan sekali tanah lapang tersebut baru digunakan untuk berunjuk rasa. Terdapat beberapa tenda serta poster-poster yang disusun berderet. Juga terlihat sebuah bendera yang terentang di tengah deretan poster tersebut. Bendera tersebut berlatar hitam dan merah, dengan bulatan kuning emas di tengahnya. Tidak sulit bagi saya untuk menyimpulkan, itu adalah sebentuk penyampaian aspirasi orang-orang Aborigin!

Saya menghela napas panjang. Di tengah kenyataan tak terbantah bahwa Australia adalah sebuah negara maju dan menikmati posisi penting di kancah internasional, ternyata negeri ini masih harus menghadapi sisi takdirnya yang lain. Sebuah kisah tentang perjalanan sejarah yang menyakitkan di masa lampau. Sebuah cerita tentang saudara sebangsa yang masih termarginalkan.

***

Perjalanan jatuh bangun yang harus dilalui penduduk asli di suatu wilayah, dan kemudian didominasi oleh bangsa pendatang baik secara geografis ataupun politis, menyuguhkan fenomena yang berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Di beberapa wilayah, pembentukan suatu negara yang terdiri dari warga asli dan kaum pendatang menempuh jalan yang relatif mulus meski bukan berarti tanpa tantangan sama sekali, seperti di Selandia Baru (suku Maori dan pendatang Inggris) dan Singapura (etnis Melayu, Tionghoa, dan India).

Namun, beberapa negara lain harus menempuh jalan berliku sebelum menjelma menjadi suatu negara modern dengan penghargaan yang sepatutnya pada hak-hak asasi manusia. Sekadar menyebut beberapa contoh, penduduk asli Benua Amerika yang kemudian didominasi oleh bangsa-bangsa Eropa serta penduduk kulit hitam Republik Afrika Selatan yang harus merasakan pahit getir masa-masa politik apartheid. Demikian juga dengan Negeri Kanguru tempat saya tengah menjejakkan kaki.

Suka atau tidak suka, bangsa Australia harus mengakui bahwa ada masa-masa kelam dalam perjalanan sejarah mereka, menjadi memori dan fakta sejarah yang sungguh pahit dikenang. Tidak bisa dimungkiri, semenjak kedatangan bangsa Eropa di tanah ini, pernah ada perlakuan represif terhadap penduduk asli---suku Aborigin dan suku asli Kepulauan Selat Torres---yang telah mendiami wilayah negeri itu sejak ribuan tahun silam. Pernah ada tindakan semena-mena pemerintah yang masih meninggalkan luka mendalam di hati penduduk asli hingga beberapa dekade lamanya.

Salah satu fakta yang mengiringi periode kelam tersebut adalah fenomena "Stolen Generations" (Generasi-generasi yang Terampas). Sejak awal abad kedua puluh dan baru berakhir pada tahun 1970, dengan dalih untuk melaksanakan program asimilasi dan perlindungan anak, pemerintah Australia bermaksud menyelenggarakan pendidikan ala Eropa untuk anak-anak penduduk asli. Namun dalam praktiknya, upaya untuk membujuk penduduk asli agar ikut serta mendukung program tersebut justru berubah menjadi pemaksaan.

Puluhan ribu anak penduduk asli direnggut paksa dari orang tua mereka pada usia sangat muda, lalu dikirimkan ke tempat-tempat penampungan khusus, jauh dari kerabat dan kampung halaman. Tak pelak, ada begitu banyak hati yang teriris dan luka yang menganga atas perlakuan tak adil ini. Di hadapan pemerintah yang berkuasa, orang tua dari anak-anak yang terampas itu tidak mampu berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa menangisi nasib, meratapi kepergian buah hati mereka yang entah akan pulang atau tidak. Sementara di tempat-tempat penampungan, anak-anak itu tergugu pedih menahan kerinduan pada orang tua dan semakin tercerabut dari akar kultural mereka. Mereka harus tumbuh di tengah lingkungan asing tanpa dapat terhubung kembali dengan sanak famili, belum lagi aneka tindakan pelecehan dan diskriminasi yang harus menjadi santapan mereka sehari-hari.

Pada dasawarsa 1970-an, kebijakan "perampasan" anak-anak penduduk asli pun menemui pengujungnya. Satu tindakan kezaliman memang telah berakhir, namun hati yang teriris belum sepenuhnya terobati, luka yang menganga sekian lama tidak serta-merta mengering begitu saja. Kisah terampasnya sebuah generasi penduduk asli terasa sebagai sebuah perlakuan sewenang-wenang tak terperi dan menyisakan kepedihan yang masih terasa hingga berdekade kemudian. Sekian banyak penduduk asli harus melalui kehidupan mereka dengan kegetiran mendalam dan kedukaan tak berujung, yang mungkin turut berpengaruh pada ketertinggalan mereka pada berbagai aspek kehidupan di tengah-tengah masyarakat Australia yang terus bergerak maju.

***

Waktu berganti, tiba peluang untuk mengekspresikan rasa yang lama terpendam di hati. Ketika kemudian penghargaan terhadap hak asasi manusia serta perjuangan antidiskriminasi menjadi arus utama yang semakin mengemuka, ada tuntutan yang semakin luas agar pemerintah Australia mengakui kesalahan yang pernah diperbuatnya di masa lampau.

Setelah sebelumnya permohonan maaf dan semangat rekonsiliasi itu baru disuarakan di tingkat negara bagian serta melalui kegiatan-kegiatan masyarakat, akhirnya tibalah saat bersejarah itu. Sejarah negeri itu telah mencatat baik-baik tanggal 13 Februari 2008, lebih dari tiga dasawarsa setelah kisah perampasan generasi tersebut berakhir, ketika Tuan Kevin Rudd menyampaikan permohonan maaf secara nasional atas kesalahan yang pernah dibuat oleh pemerintahan terdahulu terhadap penduduk asli Benua Kanguru.

"... We apologise especially for the removal of Aboriginal and Torres Strait Islander children from their families, their communities and their country. For the pain, suffering and hurt of these Stolen Generations, their descendants and for their families left behind, we say sorry. To the mothers and the fathers, the brothers and the sisters, for the breaking up of families and communities, we say sorry. And for the indignity and degradation thus inflicted on a proud people and a proud culture, we say sorry..."

Pernyataan apologi resmi pemerintah Australia itu disambut dengan antusias oleh masyarakat Negeri Kanguru. Terlepas dari pro dan kontra di kalangan politisi negeri itu, ada pemandangan yang mengharukan sanubari ketika menyimak sang perdana menteri menyampaikan kalimat demi kalimat penyesalan dan permohonan maaf dalam suasana khidmat. Sebagian hadirin di dalam maupun di luar gedung parlemen, baik dari kalangan penduduk asli maupun kulit putih, tampak menitikkan air mata. Mungkin air mata itu adalah ekspresi yang tertumpah ruah atas luka masa lampau yang sedikit demi sedikit terobati, serta pengharapan atas suatu rekonsiliasi dan hari depan yang lebih baik.

Namun, penyesalan atas suatu tindakan tak berperikeadilan tidak boleh berhenti sebatas pernyataan maaf. Demikian juga yang harus dihadapi oleh pemerintahan Negeri Kanguru. Ada tuntutan untuk memberikan kompensasi serta menggulirkan program nasional berkelanjutan guna memajukan kesejahteraan sosial masyarakat penduduk asli. Boleh jadi, ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah Australia yang akan memakan waktu cukup panjang. Bekas-bekas unjuk rasa kaum Aborigin yang saya lihat di depan gedung parlemen Australia di ibu kota Canberra menjadi pertanda bahwa masih ada banyak pekerjaan rumah yang menunggu untuk dibereskan.

Hari beranjak siang, namun hawa musim dingin Canberra masih terasa menusuk tulang. Sembari merapatkan jaket tebal dan membalutkan syal di leher, saya melangkahkan kaki meninggalkan gedung parlemen Australia dengan segudang renungan dan pembelajaran. Bagaimana pun, pemerintah Australia telah berbesar hati mengakui kesalahan masa silam. Sebuah paku memang bisa dicabut dari sebatang kayu, namun bekas paku itu akan tetap ada di sana. Sungguh diperlukan kearifan dan kelapangan dada seluruh pihak untuk meminta maaf dan memaafkan; serta menyongsong hari depan dengan penuh harapan akan tegaknya keadilan untuk semua...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun