Waktu berganti, tiba peluang untuk mengekspresikan rasa yang lama terpendam di hati. Ketika kemudian penghargaan terhadap hak asasi manusia serta perjuangan antidiskriminasi menjadi arus utama yang semakin mengemuka, ada tuntutan yang semakin luas agar pemerintah Australia mengakui kesalahan yang pernah diperbuatnya di masa lampau.
Setelah sebelumnya permohonan maaf dan semangat rekonsiliasi itu baru disuarakan di tingkat negara bagian serta melalui kegiatan-kegiatan masyarakat, akhirnya tibalah saat bersejarah itu. Sejarah negeri itu telah mencatat baik-baik tanggal 13 Februari 2008, lebih dari tiga dasawarsa setelah kisah perampasan generasi tersebut berakhir, ketika Tuan Kevin Rudd menyampaikan permohonan maaf secara nasional atas kesalahan yang pernah dibuat oleh pemerintahan terdahulu terhadap penduduk asli Benua Kanguru.
"... We apologise especially for the removal of Aboriginal and Torres Strait Islander children from their families, their communities and their country. For the pain, suffering and hurt of these Stolen Generations, their descendants and for their families left behind, we say sorry. To the mothers and the fathers, the brothers and the sisters, for the breaking up of families and communities, we say sorry. And for the indignity and degradation thus inflicted on a proud people and a proud culture, we say sorry..."
Pernyataan apologi resmi pemerintah Australia itu disambut dengan antusias oleh masyarakat Negeri Kanguru. Terlepas dari pro dan kontra di kalangan politisi negeri itu, ada pemandangan yang mengharukan sanubari ketika menyimak sang perdana menteri menyampaikan kalimat demi kalimat penyesalan dan permohonan maaf dalam suasana khidmat. Sebagian hadirin di dalam maupun di luar gedung parlemen, baik dari kalangan penduduk asli maupun kulit putih, tampak menitikkan air mata. Mungkin air mata itu adalah ekspresi yang tertumpah ruah atas luka masa lampau yang sedikit demi sedikit terobati, serta pengharapan atas suatu rekonsiliasi dan hari depan yang lebih baik.
Namun, penyesalan atas suatu tindakan tak berperikeadilan tidak boleh berhenti sebatas pernyataan maaf. Demikian juga yang harus dihadapi oleh pemerintahan Negeri Kanguru. Ada tuntutan untuk memberikan kompensasi serta menggulirkan program nasional berkelanjutan guna memajukan kesejahteraan sosial masyarakat penduduk asli. Boleh jadi, ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah Australia yang akan memakan waktu cukup panjang. Bekas-bekas unjuk rasa kaum Aborigin yang saya lihat di depan gedung parlemen Australia di ibu kota Canberra menjadi pertanda bahwa masih ada banyak pekerjaan rumah yang menunggu untuk dibereskan.
Hari beranjak siang, namun hawa musim dingin Canberra masih terasa menusuk tulang. Sembari merapatkan jaket tebal dan membalutkan syal di leher, saya melangkahkan kaki meninggalkan gedung parlemen Australia dengan segudang renungan dan pembelajaran. Bagaimana pun, pemerintah Australia telah berbesar hati mengakui kesalahan masa silam. Sebuah paku memang bisa dicabut dari sebatang kayu, namun bekas paku itu akan tetap ada di sana. Sungguh diperlukan kearifan dan kelapangan dada seluruh pihak untuk meminta maaf dan memaafkan; serta menyongsong hari depan dengan penuh harapan akan tegaknya keadilan untuk semua...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H