Karena arus masuk tenaga profesional asing tersebut, kita bisa mendapati bahwa sebagian posisi penting diduduki oleh para pendatang. Di universitas-universitas Australia, sebagian profesor dan dosen adalah orang asing, seperti Arif mantan tutor saya. Demikian juga di perusahaan swasta maupun institusi sektor publik, para diaspora keturunan asing turut memberi warna di jajaran pegawai maupun pimpinan.
Mari kita tinggalkan perdebatan soal jiwa nasionalisme mereka yang memutuskan mencari penghidupan di negara lain. Sungguh ada banyak variabel yang menentukan derajat nasionalisme seseorang, dan tidak semata diukur dari lokasi ia mengais rezeki. Bahkan di mata saya, diaspora yang bermukim dan bekerja di negeri orang memiliki peluang yang besar untuk berkontribusi terhadap negara asal atau tanah leluhur mereka.
Tengoklah kisah Tiongkok dan Filipina. Keturunan Tionghoa yang tersebar di berbagai penjuru bumi banyak menjalin kerja sama bisnis dengan para pelaku usaha di daratan Tirai Bambu. Sementara itu, tenaga kerja migran Filipina baik profesional maupun buruh turut berkontribusi mendukung perekonomian negaranya melalui remitansi yang masuk dalam jumlah besar.
***
Namun, golongan diaspora suatu negeri yang tersebar di negara asing tentu bukan hanya terdiri dari tenaga profesional yang memiliki keahlian dan siap bersaing di pasar tenaga kerja. Pengalaman saya menunjukkan bahwa ada golongan diaspora yang berada dalam posisi kurang beruntung.
Ketika sedang mengantre di pemeriksaan imigrasi terminal keberangkatan Kuala Lumpur International Airport (KLIA), saya menjumpai pemandangan yang membuat pilu. Beberapa personel polisi dan imigrasi Malaysia menggiring lima orang pria berwajah Asia Selatan untuk ikut mengantre di pemeriksaan imigrasi.Â
Penampilan kelima orang itu demikian bersahaja, bahkan dapat dibilang memrihatinkan. Pakaian lusuh, sendal jepit seadanya, tanpa barang atau bekal apa pun yang mereka bawa. Tidak perlu waktu lama bagi saya untuk menebak bahwa mereka adalah para pendatang ilegal yang belum beruntung. Tertangkap oleh otoritas negeri jiran, lalu menjalani proses deportasi.
Adakalanya saya menjumpai sesama anak bangsa di negeri orang. Ketika menyusuri jalanan sambil menikmati pusat kota Kuala Lumpur, tidak jarang saya bertemu dengan saudara sebangsa, sebagaimana dapat saya tebak dari logat bahasa mereka. Mereka memutuskan untuk merantau jauh ke negeri orang, meninggalkan keluarga dan anak-anak yang masih kecil di kampung halaman, dan kemudian menjalani profesi seperti asisten rumah tangga, buruh pabrik, atau pramuniaga.
Atau ketika saya mendapati bahwa banyak saudara setanah air yang memilih bekerja sebagai joki untuk mencium hajar aswad, menawarkan jasa mereka kepada jemaah yang berthawaf mengitari Ka'bah. Saya bertanya-tanya dalam hati, apakah tidak ada lagi pekerjaan lain yang bisa mereka lakukan di Negeri Dua Tanah Haram ini? Apakah visa mereka telah kedaluwarsa dan mereka harus kucing-kucingan dengan petugas agar tidak dipulangkan ke Tanah Air? Pilu rasanya mendapati fakta ini di depan mata sendiri.
Bahkan seorang pendatang yang memiliki keahlian dan pengalaman pun masih harus menghadapi tantangan untuk merajut mimpi di sebuah negeri asing. Itulah yang saya jumpai dari Hasan, seorang pejalan asal Mesir yang saya jumpai di hostel tempat saya menginap di pusat kota Melbourne. Lelaki berusia empat puluhan tahun itu seorang apoteker di Kairo. Ia sengaja meluangkan waktu untuk pergi ke Australia, mencari-cari peluang untuk dapat mengembangkan keahlian dan bekerja di negeri ini.
"Sepertinya sulit ya untuk memperoleh pekerjaan dengan cepat di sini. Tadi saya shalat Jumat di masjid sekitar sini, dan saya bertanya-tanya kepada beberapa brother muslim yang ada di sana. Sayang tidak ada yang bisa membantu..."