Mohon tunggu...
Salamuddin Uwar
Salamuddin Uwar Mohon Tunggu... Guru - Penikmat Air Putih

Menjadi pengajar di pelosok timur Indonesia, sambil sesekali menikmati bacaan tentang Hukum, HAM, Demokrasi, Sosial Budaya, Bahasa, Sejarah, dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Mengenang Arman Syarif

21 Januari 2025   07:02 Diperbarui: 21 Januari 2025   07:02 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Koleksi Pribadi)

Seperti biasa, ketika rindu membuncah pada sahabatku Arman Syarif, maka cara melampiaskannya adalah mengunjungi Kompasiana, tempat di mana ia mencurahkan segalanya tentang pikiran dan perasaannya. Arman Syarif bukan hanya sekadar teman seangkatan dan satu jurusan sewaktu kuliah, ia lebih dari itu. Arman adalah teman diskusi yang baik, partner sejati di jalanan. Ia adalah pemantik, ketika semangat juang berada pada titik nadir, dan ia juga adalah penyejuk ketika semangat juang berkobar tanpa kendali. Dalam banyak hal, aku selalu belajar padanya. Tentang kesabaran, tentang kemanusiaan, tentang liku-liku kehidupan, dan tentang senyum yang selalu bergelayutan di wajahnya yang ramah.

Arman adalah sosok multitalenta, selain piawai dalam menyampaikan gagasannya melalui lisan maupun tulisan, ia juga adalah seorang musisi yang kerap menghibur kami tatkala lelah mendera usai menjalankan aktifitas perkuliahan, atau seusai menghabiskan energi di jalanan. Selain bermain musik, Arman juga ingin mengembangkan potensi dirinya yang lain di bidang olahraga bola kaki. Hanya saja di bidang ini, ia tidak terlalu piawai di lapangan, ia lebih cocok berhadapan dengan lawan mainnya di game PS.

Di sela-sela kesibukkan kami sebagai mahasiswa dan fungsionaris lembaga kemahasiswaan, kami tetap membangun hubungan persahabatan dan persaudaraan (saribbatang) hingga kini. Arman adalah sahabat yang paling sabar di antara kami. Ia tidak pernah marah terhadap cadaan kami yang terkadang kelewatan. Selain itu juga, ia memiliki solidaritas dan kesetiakawanan yang tinggi.

Sewaktu kuliah, Arman adalah teman diskusi yang tak membosankan, kami selalu berdiskusi bahkan berdebat di ruang-ruang kuliah, sekretariat organisasi kemahasiswaan, kos-kosan, hingga pelataran Pedagang Kaki Lima depan kampus kami. Namun di antara berbagai tempat itu, hanya pelataran Pedagang Kaki Limalah yang paling berkesan dalam hidup kami. Selain menjadi tempat nongkrong dan diskusi, para Pedagang Kaki Lima menjadi tempat berutang di kala isi dompet menipis. Suatu ketika, tempat nongkrong dan diskusi kami ini rencananya di gusur oleh Pemerintah Kota Makassar. Mengetahui informasi tersebut, kami segera melakukan konsolidasi dengan para PKL dan menyiapkan langkah-langkah strategis untuk persiapan advokasi dan pendampingan. Aku, Arman dan beberapa sahabat sangat menentang keras rencana penggusuran tersebut. Selain pertimbangan kemanusiaan, kehidupan sehari-hari kami tergantung pada para PKL depan kampus, sehingga sepatutnya kami bersikap demikian atas rencana penggusuran tersebut. Pada akhirnya, rencana penggusuran PKL depan kampus dapat digagalkan, setidaknya untuk beberapa tahun setelah kami meninggalkan kampus.

Selain terlibat dalam pendampingan PKL depan kampus, kami juga aktif melakukan advokasi dalam dan luar kampus. Advokasi dalam kampus yang paling berkesan adalah penolakan terhadap rencana kenaikanbiaya SPP bagi mahasiswa baru pada tahun 2006 silam. Selain menghadapi birokrat kampus, kami juga diperhadapkan dengan mahasiswa lain dan preman dari luar kampus. Akibatnya untuk beberapa saat, kami tidak bisa menginjakkan kaki di kampus karena menjadi buronan. Dalam persembunyian, kami saling bertukar informasi tentang sanksi yang akan kami terima akibat menentang kebijakan kampus. Namun kabar yang kami dapat, bahwa mahasiswa dari fakultas kami tidak ada yang mendapat sanksi, padahal fakultas kami termasuk salah satu fakultas yang paling keras menentang kebijakan kenaikan biaya SPP tersebut. Informasi terakhir yang aku dan Arman dapat, bahwa kami tidak mendapatkan sanksi karena mendapat pembelaan dari salah satu dosen jurusan kami yang juga adalah Ketua Komisi Disiplin di kampus kami.

Suatu ketika, aku dan Arman mendapat sekolah yang sama untuk pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL), aku yang mahasiswa rantauan tidak memiliki kendaraan bermotor, sehingga ketika pulang dari lokasi PPL, aku selalu menumpang kendaraan roda dua miliknya. Menjelang akhir pelaksanaan PPL, kami mendapat kesulitan mengkonversi nilai, karena di pihak sekolah memberikan nilai B, sementara nilai yang kami dapatkan dari dosen pembimbing adalah nilai A. Ia kemudian memaksa aku menemui dosen pembimbing akademikku yang juga dosen pembimbing PPL kami, agar memberikan kami nilai A. Namun nyatanya dosen pembimbing kami sementara berada di luar daerah. Dalam kondisi seperti itu, giliran aku yang mendesaknya untuk mengkonversi nilai tersebut menjadi nilai A, dan hasilnya kami setor di bagian Unit Pelaksanaan Teknis PPL.

(Sumber: Koleksi Pribadi)
(Sumber: Koleksi Pribadi)

Ketika aku memproses penyelesaian studiku, banyak sahabat yang memprotes usahaku menyelesaikan studi. Bukan itu saja, skripsiku juga tak luput dari kritik mereka. Dan setahuku, hanya Arman yang tidak terlalu menyampaikan protes terhadapku. Aku sempat menyampaikan protes atau tepatnya sumpah serapah pada para sahabatku itu atas sikap mereka, namun mereka menanggapiku dengan bercanda sepeti biasanya.

Setelah kami menyelesaikan kuliah, aku memilih kembali ke kampung halaman dan mengabdikan diri sebagai seorang guru. Sementara Arman, ia memilih bertahan di Makassar dan mengabdi pula sebagai seorang guru di salah satu sekolah swasta miliki sebuah Perusahaan BUMN. Ketika melanjutkan studi di Makassar, aku kembali bersua dengannya. Tidak ada yang berubah pada dirinya, masih tetap sama dengan kesederhanaan hidupnya, tapi tidak dengan pikiran-pikirannya yang semakin kaya. Di balik isi kepalanya yang semakin berisi, ia ingin mewujudkan dua hal penting dalam hidupnya, yakni menikah sembari melanjutkan studi seperti diriku. Di suatu waktu, aku bercanda sembari berkata padanya, jika taraf hidupmu juga seperti diriku, maka jangan bermimpi mewujudkan kedua impianmu itu dalam satu waktu, maka pilihlah salah di antara keduanya. Dan sampai aku menyelesaikan studiku, di antara kedua keinginannya itu, tak satu pun mampu ia wujudkan. Tentang kedua keinginannya itu, terutama tentang keinginan untuk menikah, setahuku di antara teman-teman yang ia akrabi, mungkin aku salah satu yang dianggap tepat untuk  mencurahkan segalanya tentang perempuan-perempuan yang ia puja. Hanya sayang, ketika ia mempersunting wanita pujaannya, aku tidak sempat menghadirinya sekadar berbagi kebahagian dengannya, karena aku telah kembali ke kampung halaman.

Ketika Arman ingin menerbitkan bukunya, hampir setiap saat ia menghubungiku sekadar ingin mendiksusikan tentang rencana penerbitan bukunya itu, terkadang aku mengabaikan panggilan di gawaiku karena malam telah larut. Selain karena perbedaan waktu antara Makassar dan Tual. Aku sangat tahu dengan sahabatku itu, baginya  malam adalah waktu yang tepat untuk merenung dan menyelesaiakan karya-karyanya berupa essai, opini, atau pun puisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun