Saat VOC mengalami kebangkrutan pada tahun 1799, keturunan orang-orang Wandan berkelanjutan menjalankan jaringan perdagangan niaga pribumi jarak jauh, yang keberlangsungannya masih ada hingga awal abad ke-20.
Di sisi lain, komunitas Wandan yang ada di kepulauan Kei terus berupaya menjaga eksistensinya dengan tetap melestarikan budaya dan bahasanya sebagai bentuk perlawanan terhadap upaya genosida dan penghapusan jejak-jejak keberadaan komunitas Wandan diberbagai wilayah di nusantara. Kesadaran ini terbangun sejak lama, hal ini terlihat dari berbagai upaya yang dilakukan oleh komunitas ini, salah satunya dengan tidak melakukan pernikahan dengan komunitas lain di luarnya sebagai salah satu bentuk mempertahankan eksistensi diri.
Akan tetapi dalam perjalanan, upaya semacam ini tidak lagi diteruskan oleh generasi muda Wandan, anak-anak muda Wandan yang lahir dan besar di perkotaan lebih memilih untuk menikah dan menjalin hubungan kekerabatan dengan komunitas lain di luar dirinya.Â
Namun upaya lain untuk menjaga eksistensi Wandan masih terus terpelihara dengan baik hingga kini, diantaranya melalui pelestarian tradisi dan ajaran agama yang di bawa dari Kepulauan Banda, seperti tarian, syair, kerajinan tangan, serta ritual-ritual keagamaan maupun budaya. Â Â
Sebagaimana pendapat Timo Kaartinen, sesungguhnya pemenang dari Perang Pala adalah orang Wandan, karena sampai detik ini orang-orang Wandan masih terus hidup dengan budayanya, agamanya, dan bahasanya, termasuk Pala yang menjadi alasan dibalik terjadinya upaya genosida oleh VOC dan Jan Pieterszoon Coen yang justru tidak bertahan dan mengalami kekalahan dan kegagalan dalam mempertahankan eksistensinya.
Pada akhirnya, Wandan tidak pernah mati sebagaimana matinya VOC, dan Wandan akan terus hidup sebagaimana hidupnya pohon Pala. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H