Mohon tunggu...
Salamuddin Uwar
Salamuddin Uwar Mohon Tunggu... Guru - Penikmat Air Putih

Menjadi pengajar di pelosok timur Indonesia, sambil sesekali menikmati bacaan tentang Hukum, HAM, Demokrasi, Sosial Budaya, Bahasa, Sejarah, dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Setelah Genosida Banda 1621

23 Juli 2024   20:03 Diperbarui: 23 Juli 2024   20:20 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam catatan sejarawan Eropa, baik yang bersumber dari Jan Pieterszoon Coen maupun rekan-rekannya yang terlibat dalam upaya genosida Banda pada tahun 1621 menyatakan bahwa genosida terhadap rakyat Banda berhasil dilakukan dalam upaya penguasaan terhadap Pala. Bukan hanya Pala yang dikuasai, tapi penduduk asli Banda (Wandan) pun dikuasai dengan cara dibunuh, ditawan, dan diperbudak.  Bahkan, sejarawan, sineas, dan novelis dalam negeri turut pula menyebarkan catatan-catatan tersebut dengan menyatakan bahwa penduduk asli Banda (Wandan) saat ini keberadaannya tidak bisa ditemukan lagi.

Tentu saja, catatan-catatan tersebut dimaksudkan sebagai bagian dari upaya penghilangan jejak penduduk asli Banda demi penguasaan atas kepulauan Banda dan Pala. Praktik semacam ini bukan hanya bermotif ekonomi belaka, akan tetapi dibarengi dengan motif politik. Tujuan utamanya adalah penguasaan atas Kepulauan Banda dengan segala sumber daya yang dimilikinya. 

Dalam kaca mata kolonial ketika itu, Kepulauan Banda adalah aset yang harus dikuasai dengan segala cara, termasuk dengan jalan pembumihangusan penduduknya. Sementara dalam kacamata pribumi, Banda adalah aset yang harus dikuasai setelah ditinggalkan oleh kolonial. Praktik semacam ini terpelihara secara baik, karena mental inlander yang diwariskan oleh para kolonial kepada para pribumi hingga kini.

Kondisi tersebut berdampak langsung terhadap eksistensi penduduk asli yang kini masih bertahan hidup di wilayah lain di Nusantara. Dampak ini sangat terasa akhir-akhir ini, karena munculnya berbagai informasi yang bersumber dari berbagai literatur maupun film dokumenter yang menyatakan bahwa keberadaan penduduk asli Banda telah musnah bersamaan dengan genosida yang terjadi 400 tahun lalu. 

Ini tentu saja, berdampak secara psikologis bagi keturunan diaspora Banda yang berhasil menyelamatkan diri dari upaya genosida yang dilakukan oleh VOC dan Jan Pieterszoon Coen. Hal ini semacam upaya pembunuhan berkali-kali dengan tujuan bukan hanya sekadar menghilangkan nyawa, tapi juga menghilangkan nama Wandan.

Bahkan dalam catatan sejarah nasional, peristiwa genosida dan perlawanan rakyat Banda terhadap upaya kolonialisasi yang dilakukan oleh VOC tidak ditemukan dalam buku-buku pelajaran sejarah di sekolah. Padahal sejarah munculnya kolonialisme di Indonesia berawal dari Banda. Hal ini semakin menguatkan asumsi bahwa ada upaya menghilangkan Wandan dan manusianya dalam literatur sejarah dunia maupun nasional,  

Faktanya, setelah upaya genosida tersebut, orang-orang Banda sebagian kecil diantaranya berhasil menyelamatkan diri menuju berbagai tempat di Nusantara, terutama pulau-pulau di sekitaran kepulauan Banda. Selain pulau Seram, kepulauan Kei pun menjadi tujuan utama untuk menyelamatkan diri dari upaya genosida oleh VOC. Di antara berbagai kelompok yang berhasil menyelamatkan diri, hanya kelompok yang bermukim di kepulauan Kei yang berhasil mempertahankan eksistensi dirinya baik dari sisi budaya, agama, maupun bahasa.

Setelah 24 tahun kemudian pasca peristiwa genosida, yakni pada tahun 1645 Adriaan Dorstman dalam ekspedisinya ke kepulauan Kei, ia menemukan dua pemukiman yang didiami oleh para diaspora yang berasal dari kepulauan Banda, yakni desa Banda Ely, dan Banda Elat. 

Kurang lebih dua abad kemudian, tepatnya tahun 1857 Alfred Russel Wallace melakukan ekspedisi ke Kepulauan Kei, dalam bukunya; Kepulauan Nusantara; Kisah perjalanan, kajian manusia dan alam. Ia menggambarkan tentang perbedaan karakteristik orang-orang Wandan dengan penduduk asli Kei, baik dari sisi fisik, budaya, bahasa, maupun kepercayaan yang dianutnya. 

Menurut Timo Kaartinen, bahwa pemenang Perang Pala sesungguhnya adalah orang Wandan yang berhasil menyelamatkan diri dikarenakan tidak seperti beberapa masyarakat lain yang disingkirkan Belanda di wilayah lainnya di Nusantara, orang-orang Wandan mampu mempertahankan bahasa dan kedaulatan budayanya. Orang-orang Wandan juga merupakan pemenang dalam arti yang lebih praktikal. 

Saat VOC mengalami kebangkrutan pada tahun 1799, keturunan orang-orang Wandan berkelanjutan menjalankan jaringan perdagangan niaga pribumi jarak jauh, yang keberlangsungannya masih ada hingga awal abad ke-20.

Di sisi lain, komunitas Wandan yang ada di kepulauan Kei terus berupaya menjaga eksistensinya dengan tetap melestarikan budaya dan bahasanya sebagai bentuk perlawanan terhadap upaya genosida dan penghapusan jejak-jejak keberadaan komunitas Wandan diberbagai wilayah di nusantara. Kesadaran ini terbangun sejak lama, hal ini terlihat dari berbagai upaya yang dilakukan oleh komunitas ini, salah satunya dengan tidak melakukan pernikahan dengan komunitas lain di luarnya sebagai salah satu bentuk mempertahankan eksistensi diri.

Akan tetapi dalam perjalanan, upaya semacam ini tidak lagi diteruskan oleh generasi muda Wandan, anak-anak muda Wandan yang lahir dan besar di perkotaan lebih memilih untuk menikah dan menjalin hubungan kekerabatan dengan komunitas lain di luar dirinya. 

Namun upaya lain untuk menjaga eksistensi Wandan masih terus terpelihara dengan baik hingga kini, diantaranya melalui pelestarian tradisi dan ajaran agama yang di bawa dari Kepulauan Banda, seperti tarian, syair, kerajinan tangan, serta ritual-ritual keagamaan maupun budaya.   

Sebagaimana pendapat Timo Kaartinen, sesungguhnya pemenang dari Perang Pala adalah orang Wandan, karena sampai detik ini orang-orang Wandan masih terus hidup dengan budayanya, agamanya, dan bahasanya, termasuk Pala yang menjadi alasan dibalik terjadinya upaya genosida oleh VOC dan Jan Pieterszoon Coen yang justru tidak bertahan dan mengalami kekalahan dan kegagalan dalam mempertahankan eksistensinya.

Pada akhirnya, Wandan tidak pernah mati sebagaimana matinya VOC, dan Wandan akan terus hidup sebagaimana hidupnya pohon Pala. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun