Mohon tunggu...
Muhammad Fardiansyah
Muhammad Fardiansyah Mohon Tunggu... -

Saat ini mengelola sebagai Creative Content di portal www.salamgowes.com. Hobi bersepeda, fotografi, musik, design dan menulis .

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Goa Maria Lawangsih: Menuju Keheningan dalam Doa

17 Juli 2012   15:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:52 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selepas Ashar, aku dan temanku Beny melaju diatas sepeda motor menuju daerah Nanggulan Kulonprogo. Perjalanan kami di sirami cahaya matahari yang  terus memancarkan sinarnya tiada lelah.  Matahari yang kulihat hari itu, matahari yang  sama ketika terbentuknya alam semesta ini. Matahari yang menjadi saksi ketika Kraton Yogyakarta berdiri di depan menjadi taruhan keberadaan Republik Indonesia di awal kemerdekaan, dan menjadi saksi kedua anak manusia yang ‘blusukan’ dari satu tempat ke tempat lain.

Kami berdua terus mengikuti arah matahari terbenam dengan semangat untuk menambah khasanah perbendaharaan tempat-tempat yang menarik untuk diabadikan melalui jepretan kamera kami. Rute yang kami ambil adalah sepanjang jalan Godean dan berakhir di perempatan Kenteng, Kembang, Nanggulan Kulon Progo Yogyakarta. Setelah melewati perempatan tersebut kami memulai perjalanan dengan pemandangan bukit menoreh yang memanjang dari gugusan utara sampai ke selatan membentuk perbukitan seribu.

Sepeda Motor kami terus berpacu dengan waktu untuk segera sampai di Lokasi Goa Maria Lawangsih Kulon Progo, jalanan yang terjal akhirnya membuat motor kami kelelahan ketika berada di tikungan yang menanjak. Dengan di tandai suara motor yang semakin melemah, akhirnya aku turun untuk mendorong sepeda motor agar mudah untuk melewati jalanan yang terjal ini. Kurang lebih 100 meter tenaga mesin campur dorongpun berakhir. Di tepian jalan kami berhenti sebentar untuk menyusun tenaga dan mengatur nafas untuk melanjutkan perjalanan ini.

Perjalanan masih kami lalui dengan jalan yang terus menanjak dengan beberapa kelokan yang tajam, angin pun ikut menusuk tajam ditubuh kami yang sudah kami lindungi dengan jaket. Sinar matahari menelusup di dahan pepohonan yang menambah syahdu lokasi tersebut. Tidak lama kemudian kami mendapati petunjuk arah Goa Maria Lawangsih yang menjadi tujuan kami. Mengikuti penunjuk arah ke lokasi tersebut memudahkan kami untuk mencapainya, kurang lebih radius 3 kilometer dari lokasi jalanan mulai menyempit dan menjadi satu arah.

Semakin mendekati lokasi, perjalanan kami di sambut dengan pepohonan mahoni yang tinggi menjulang berbaris rapi serta suasana syahdu terasa sekali. Akhirnya kami sampai juga di lokasi tujuan kami. Pada area ini terdapat lokasi parkir kendaraan bermotor roda dua dan empat. Lahan parkir tersebut terpotong jalan raya yang menjadi akses keluar masuk menuju Goa Maria Lawangsih. Di tempat ini, kami merasakan suasana yang tenang udara segar serta ditingkahi suara percikan air yang menetes di bak air sebelah area parkir sepeda motor. Dari area parkir sepeda motor ini, saya melihat banyak tanda salib yang berjejer rapi dari satu titik ke titik yang lain.

13425381411904000741
13425381411904000741
Beny mengajak aku untuk menaiki tangga yang menjadi pintu masuk menuju Goa Maria Lawangsih. Pada anak tangga ke lima belas terdapat penunjuk arah yang bertuliskan jalan salib. Untuk menuntaskan rasa penasaran, aku bertanya kepada Beny apa yang dimaksud dengan Jalan Salib?

“Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti Jalan Salib yaitu, rangkaian lukisan (masing- masing disertai salib) berjumlah 14, yg diatur secara berurutan di dinding gereja untuk memperingati 14 tahap perjalanan Jesus ke tiang penyaliban,” jawab Beny.

Dari obrolan singkat tersebut kami meneruskan langkah menuju lokasi Goa yang berada di atas kami. Sambutan ramah dan jabat tangan oleh Pak Kasdi penjaga Goa Maria Lawangsih, kami dipersilahkan untuk melihat-lihat suasana halaman Goa tersebut.  Menurut beliau, tempat ini dulunya goa yang sepi dan tidak terawat. Kurang lebih tiga tahun yang lalu tempat ini dipugar dan secara resmi menjadi tempat berdoa bagi warga Katholik secara umum.

Disela-sela obrolan aku mengalihkan pandangan yang tertuju pada halaman yang berada di depan mulut goa, terdapat altar dengan patung Bunda Maria yang disamping kanan kirinya terdapat lilin yang menyala sebagai pelita untuk keheningan berdoa.  Selain altar terdapat juga bangunan joglo dengan meja yang memajang dua buah lilin yang mengapit sebuah Salib dan diterangi lampu bergaya Jawa tempo dulu.

Dalam keheningan suasana Goa Maria Lawangsih, suara percikan sumber air menambah kekhusyukan di tempat tersebut. Dibelakang patung Bunda Maria sumber mata air terus mengalir dan menjadi tempat untuk membasuh muka para pengunjung yang akan melakukan doa baik di halaman depan goa atau pun dalam goa.  Tidak ketinggalan pula temanku Beny ikut serta untuk membasuh muka dari sumber mata air tersebut.

13425378201963179225
13425378201963179225
Setelah membasuh muka, Beny melambaikan tangan untuk masuk ke dalam Goa untuk memanjatkan doa. Dari kejauhan aku membalas lambaiannya dan memberikan sinyal “monggo” kepadanya untuk berdoa. Hari terus bergulir dimana warna langit perlahan berubah, cahaya matahari mulai berpindah ke bagian lain dari bumi ini untuk memulai pagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun