Mohon tunggu...
Agus Salam Nasution
Agus Salam Nasution Mohon Tunggu... Pegiat Demokrasi -

Bacalah dengan Nama Tuhanmu

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Melawan Hoaks di Tahun Politik

22 April 2018   22:02 Diperbarui: 22 April 2018   22:11 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini hoaks (berita bohong) di media sosial semakin marak sehingga sudah sangat meresahkan banyak kalangan. Masih segar dalam ingatan kita ketika pada Agustus 2017 yang lalu Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) berhasil menangkap anggota  Group Saracen yang sengaja diorganisir untuk menyebar hoaks dan ujaran kebencian yang mempertentangkan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Baru-baru ini Polri juga berhasil menangkap  sejumlah pelaku hoaks yang mengidentifikasi diri dan kelompoknya dengan sebutan Muslim Cyber Army (MCA). Selain dari Saracen dan MCA masih banyak lagi penyebar hoaks dan ujaran kebencian yang sudah berhasil diringkus oleh Polri.

Kendati sudah banyak penyebar hoaks yang berhasil diringkus akan tetapi hoaks dan ujaran kebencian  masih saja terus berseliweran mengotori media sosial kita, bahkan hari demi hari semakin meresahkan saja. Begitu meresahkannya hoaks dalam dua tahun terakhir ini sampai-sampai pada awal 2017 silam, Polri membentuk direktorat yang khusus menangani kejahatan-kejahatan tekhnologi informasi termasuk penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di dunia maya, yaitu Direktorat Tindak Pidana Siber.

Sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 yang lalu, hampir setiap harinya dengan mudah dapat kita temukan berita-berita yang diduga hoaks, ujaran kebencian dan provokasi dengan sentimen SARA di media sosial. Kalau dicermati tulisan-tulisan hoaks dan ujaran kebencian yang ada di media sosial tersebut kebanyakan lebih kental motif politiknya. 

Oleh sebab itulah di Tahun 2018 ini dan 2019 nanti yang disebut sebagai tahun politik, dikhawatirkan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian akan terus meningkat, hal ini karena di Tahun 2018 ini ada 171 daerah di Indonesia yang akan menyelenggarakan Pilkada Serentak, dan tahun 2019 nanti untuk pertama kalinya Indonesia akan menyelenggarakan Pemilihan Umum DPR, DPD, DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara serentak.

Gencarnya penyebaran hoaks dalam masa-masa Pemilu memang sudah terbukti di sejumlah negara, dan tidak dapat dipungkiri peredaran hoaks tersebut memang dapat mempengaruhi keterpilihan seseorang, yang itu berarti hoaks dapat merusak integritas pemilu dan demokrasi. Pada Pemilihan Presiden Amerika Serikat 2016 yang lalu peredaran hoaks di facebook sangat merugikan Hillary Clinton yang akhirnya  kalah melawan Donald Trump. 

Di Prancis, Alain Juppe kalah dalam konvensi primer partainya setelah berita-berita palsu mengaitkan dirinya ke ekstremis Islam. Dilma Roussef, mantan Presiden Brasil dan Perdana Menteri Italia Matteo Renzi juga pernah mengalami serangan hoaks. Di Indonesia, Presiden Joko Widodo juga tidak luput dari serangan hoaks.

Jadi berita hoaks pada saat Pemilu memang sudah menjadi suatu ancaman dalam mewujudkan demokrasi yang sehat dan bermartabat. Oleh sebab itu dibutuhkan upaya-upaya serius dari seluruh pihak untuk bersama-sama melawan dan memberantas peredaran hoaks. Hal ini karena hoaks sangat berbahaya yang jikalau dibiarkan terus beredar bisa menjadi pedang yang sangat tajam yang dapat melukai bahkan membunuh sasarannya. Lebih dari itu ketajaman hoaks bahkan dapat merusak tatanan sosial dan mengoyak persatuan dan kesatuan bangsa.

img-20180305-180328-5adca294dd0fa81197597d62.jpg
img-20180305-180328-5adca294dd0fa81197597d62.jpg
Pendekatan Agama dan Penegakan Hukum

Pendekatan ajaran agama yang benar dan penegakan hukum yang tegas adalah langkah yang paling efektif dalam membendung penyebaran hoaks. Melalui pendekatan agama misalnya, penulis yakin bahwa seluruh agama yang ada di Indonesia tidak ada yang membenarkan penyebaran berita palsu. Dalam ajaran Islam selaku agama yang dianut oleh penulis, jangankan menyebar hoaks, berburuk sangka saja kepada orang lain sangat diharamkan. 

Dalam Al-Quran Surah Al-Hujurat ayat 12 disebutkan: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari keburukan orang dan janganlah kamu menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu  yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

Jelas di ayat tersebut, Allah melarang hambanya berprasangka buruk terhadap orang lain, bahkan orang yang selalu menggunjing keburukan orang lain diibaratkan seperti memakan daging saudara sendiri yang sudah mati. Oleh sebab itu dalam Islam Allah memberikan panduan kepada orang mukmin ketika mendengar/menerima suatu berita. Pada ayat 6 Surah Al-Hujrot Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Ayat ini jelas memandu setiap mukmin dalam menyikapi suatu berita, ketika yang membuat atau menyampaikan berita itu adalah orang fasik, maka kita disuruh untuk meneliti kebenaran dari berita tersebut. karena salah-salah dalam mempercayai suatu berita ataupun ikut-ikutan menyebarkan suatu berita yang belum tentu benar maka dapat berakibat malapetaka (musibah).

Adapun tentang ujaran kebencian, fitnah, umpatan, celaan, dan penghinaan jelas sekali sangat dilarang dalam Islam, Bahkan Allah mengutuk keras orang yang suka mencela. Dalam Surah Al-Humazah ayat 1 Allah berfirman: Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. Dalam Surah Al-Qolam ayat 10-11 disebutkan: Dan janganlah engkau patuhi setiap orang yang suka bersumpah dan suka menghina, yang suka mencela, yang kian kemari menghambur firnah. Jadi jelas mencaci dan memaki bukanlah akhlak yang baik.

Jika penjelasan ini kita kaitkan kembali kepada berita-berita yang ada di media sosial, seringkali kita selaku pengguna media sosial tidak mengetahui  siapa sumber awal pembuat berita itu. Apakah orang yang fasiq atau apakah orang yang kredibel dan terpercaya, namun terkadang kita dengan mudahnya ikut-ikutan membagikan berita yang belum tentu kebenarannya. Selain itu, di media sosial banyak juga ditemukan orang yang mencela orang lain yang tidak sepaham atau berbeda pandangan politik dengan orang yang mengeluarkan kata-kata celaan dan hinaan tersebut. 

Bahkan sejak Pemilu Presiden 2014 yang lewat hingga saat ini dengan mudah kita akan menemukan julukan-julukan aneh yang tidak bagus kepada suatu kelompok politik tertentu. Lihatlah di media sosial anda akan mudah menemukan julukan-julukan yang bernada menghina atau merendahkan suatu kelompok politik. Misalnya ada julukan cebongers, bani serbet, kaum bumi datar, pasukan nasi bungkus, dan sejumlah julukan-julukan yang bernada menghina lainnya, bahkan gelaran plintiran yang bernada menghina tokoh politik tertentu juga banyak ditemukan di media sosial. Padahal ajaran Islam yang mulia sangat melarang umatnya memperolok-olokkan orang lain dan juga melarang memanggil orang dengan gelaran mengejek (lihat Al-quran, Surah Al-Hujrat ayat 11).

Berdasarkan penjelasan tersebut sangat jelas bahwa agama Islam sangat melarang hoaks, fitnah, dan caci maki. Oleh karena itu penulis berkeyakinan bahwa mengurangi hoaks melalui pendekatan ajaran agama sangat relevan untuk diterapkan karena banyak sekali dalil-dalil dan pendapat ulama yang mengulas tentang pentingnya menjaga kejujuran, integritas, memelihara perkataan dan menjaga lisan, yang mana tidak mungkin diterangkan secara panjang lebar dalam tulisan ini.

Selain dari pendekatan agama seperti yang penulis utarakan di atas, penindakan tegas dari aparat hukum juga sangat penting dalam memberantas dan membendung penyebaran hoaks. Dengan adanya penindakan (penjatuhan sanksi yang tegas) kepada para penyebar hoaks diharapkan dapat memberikan efek jera kepada para pelaku dan juga dapat menjadi peringatan bagi orang lain untuk tidak membuat dan menyebarkan hoaks serta ujaran kebencian. 

Dalam konteks Pilkada Sumatera Utara, penulis sangat mengapresiasi langkah yang telah ditempuh oleh Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Utara beserta jajaran Polres dibawahnya yang telah melakukan pendekatan yang penulis sebutkan di atas. Dimana sekitar seminggu yang lalu hampir seluruh Polres di Sumatera Utara mengundang para ulama dan tokoh agama di wilayah  kabupaten/kota masing-masing untuk bersilaturahim, berdiskusi dan membuat kebulatan tekad untuk bersama-sama menolak hoaks, ujaran kebencian dan politik dengan sentimen adu domba SARA.

Peran Tokoh Parpol

Sebagaimana penulis sebutkan di awal, bahwa hoaks dan ujaran kebencian kebanyakan lebih condong kepada muatan politik hal ini sesuai dengan pendapat Pengamat Politik J Kristiadi yang mengatakan bahwa aktor-aktor yang terkait dengan penyebaran berita bohong alias hoaks tidak jauh-jauh dari adanya kepentingan politik (Kompas.com, edisi 14 Maret 2018). Oleh sebab itu peran para tokoh-tokoh parpol juga sangat penting dalam membendung hoaks dan ujaran kebencian. 

Politisi yang negarawan sejatinya tidak menjadi penikmat hoaks atau menjadikan hoaks dan ujaran kebencian untuk menjatuhkan pamor dan elektabilitas lawannya dan juga tidak membuat berita hoaks untuk meningkatkan elektabilitas diri dan partainya. Para politisi harus memiliki komitmen yang tinggi untuk betul-betul menghindari cara-cara keji (seperti penyebaran hoaks dan ujaran kebencian) dalam merebut kekuasaan dan simpati rakyat.

Dalam hal ini, peran Bawaslu bersama Sentra Gakkumdu sangat penting untuk menindak tegas setiap politisi dan peserta Pemilu/Pilkada, Tim Kampanye dan orang perorang (relawan) yang menggunakan hoaks dan ujaran kebencian dalam berkampanye. Kalau perlu, kelompok yang diduga sebagai penikmat hoaks juga harus diperiksa. Hal ini karena bisa jadi penikmat hoaks  tersebut adalah tokoh di belakang layar atau sponsor tersembunyi dari hoaks yang beredar. 

Apabila ada politisi yang terbukti ikut terlibat dalam penyebaran hoaks, maka harus diberikan sanksi yang tegas. Dengan demikian kita berharap pada tahun politik ini Pilkada dan Pemilu Indonesia dapat terselenggara dengan aman, damai, damai, jujur, adil dan berintegritas tanpa adanya kekhawatiran akan perpecahan bangsa.

Oleh : Agus Salam Nasution*

*Penulis adalah Ketua KPU Kabupaten Mandailing Natal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun