Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik menyebutkan bahwa kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggota, namun bila kita lihat kenyataan yang terjadi justru banyak partai politik (parpol) yang hanya dikuasai oleh beberapa orang elit pimpinannya saja, keputusan-keputusan penting di parpol hanya ditentukan oleh segelintir elit pimpinan yang wajib diikuti dan dilaksanakan oleh para anggotanya.Â
Jika ada anggota yang berani mengambil tindakan/sikap/pendapat yang tidak sesuai dengan keputusan pimpinan partai, maka pimpinan parpol tidak segan-segan memberi sanksi kepada anggotanya yang berbeda  tersebut. Hal seperti ini tentunya sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Ketika kekuasaan dalam parpol hanya dipegang oleh sekelompok elit, maka sesungguhnya parpol tersebut bukan sedang menjunjung tinggi asas demokrasi akan tetapi yang mereka jalankan adalah oligarki. Padahala parpol sebagai pilar utama demokrasi sudah seharusnya menjadi pihak yang paling menjungjungtinggi demokrasi itu sendiri.Â
Ironis sekali memang penegakan demokrasi dalam internal parpol di negeri ini karena Praturan Perundang-undangan kita yang berhubungan dengan demokrasi, juga masih memberi celah  untuk menerapkan praktek-praktek oligarki kekuasaan di internal parpol.
Dalam penentuan calon kepala daerah misalnya, yang berhak menetapkan bakal calon kepala daerah justru pengurus parpol tingkat pusat bukan pengurus parpol tingkat daerah, padahal yang akan melaksanakan pilkada adalah orang daerah bukan orang pusat bahkan bupati/walikota dan gubernur yang mau dipilih juga untuk menjadi pemimpin rakyat di daerah bukan pemimpin di pusat. Bukankah sesungguhnya pengurus parpol tingkat daerahlah yang lebih tahu keinginan (aspirasi) masyarakat di daerahnya, tapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya dimana "Jakarta"lah yang menentukan  siapa yang akan menjadi pemimpin masyarakat di daerah.
Ironis sekali, sehingga kita lihat tidak jarang terjadi bahwa keputusan yang diambil elit partai di tingkat pusat tidak sama dengan apa yang diinginkan oleh pengurus parpol di daerah. Benar-benar suatu praktek pengangkangan terhadap nilai dan prinsip demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi dan dicontohkan oleh parpol. Selain dalam penentuan calon kepala daerah, tidak jarang juga terjadi bahwa pengurus parpol tingkat pusat dengan mudahnya mengganti pengurus partai ditingkat daerah hanya karena adanya perbedaan pendapat atau perbedaan prinsip politik antara pengurus daerah dengan pengurus pusat.
Praktek-praktek oligarki parpol juga sering terjadi dalam pengambilan-pengambilan keputusan penting di parlemen. Anggota-anggota parpol yang duduk di lembaga legislatif lebih sering satu suara dalam pengambilan keputusan. Padahal seperti dikatakan oleh Iwan Fals, wakil  rakyat bukanlah paduan suara yang taunya hanya nyanyian lagu setuju. Â
Banyak hal yang dapat dijadikan indikator untuk menguatkan asumsi bahwa pengelolaan parpol di negeri ini belum dilakukan secara demokratis. Pengelolaan yang tidak demokratis ini tentunya sangat memperihatinkan bagi kelangsungan kehidupan politik elektoral di Indonesia. Parpol yang seharusnya menjadi aktor utama demokrasi justru dikelola dengan cara-cara yang tidak demokratis. Jikalau kondisil ini terus dibiarkan maka akan sangat tidak baik bagi keberlangsungan kepemimpinan nasional di masa mendatang.
Menurut Ramlan Surbakti dan Didik Supriyanto (Mendorong Demokratisasi Internal Partai Politik: Kemitraan, cet. I, 2013), setidak-tidaknya terdapat dua alasan utama mengapa parpol perlu melakukan demokratisasi internal. "Yang pertama merupakan alasan filosofis dan normatif. Dalam hal ini pengelolaan parpol secara demokratis adalah suatu keharusan  tidak hanya karena parpol merupakan badan publik, tapi juga karena undang-undang menugaskan parpol sebagai peserta Pemilihan Umum dan yang mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, dan juga Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.Â
Parpol juga merupakan jembatan antara rakyat dengan negara melalui pelaksanaan fungsi representasi politik, yaitu menampung, memadukan dan memperjuangkan aspirasi berbagai unsur masyarakat menjadi kebijakan publik baik melalui lembaga legislatif maupun eksekutif." Oleh karena Parpol merupakan badan publik, maka seharusnya parpol harus bertanggungjawab kepada publik melalui kelembagaan negara yang ada, karena muara dari apa yang dilakukan oleh Parpol sangat bersentuhan dengan kepentingan seluruh warga negara, oleh sebab itulah maka negara berwenang mengatur agar parpol dikelola berdasarkan prinsip-prinsip dan metode demokratis.
Alasan yang kedua tentang perlunya melakukan demokratisasi dalam pengelolaan partai secara internal menurut Ramlan dan Didik adalah  kepercayaan publik terhadap parpol yang semakin memudar. Oleh sebab itu "salah satu cara yang dapat dilakukan oleh parpol untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik adalah melakukan demokratisasi dalam pengelolaan parpol secara internal, seperti melibatkan anggota dalam memilih bakal calon dari sejumlah calon yang dipersiapkan oleh pengurus, misalnya kalau untuk suatu dapil setiap partai dapat mengajukan 10 (sepuluh) calon, maka pengurus wajib mengajukan 20 (dua puluh) nama bakal calon kepada para anggota untuk dipilih 10 (sepuluh) diantaranya dalam pemilihan pendahuluan yang diselenggarakan oleh partai."
Pelibatan anggota dalam pengambilan keputusan strategis parpol akan dapat menjaga kesinambungan hubungan antara parpol dengan anggotanya sehingga anggota tidak merasa hanya diperlukan pada saat pemilu saja. Jika ini dapat dilakukan maka akan sangat membantu bagi parpol dalam memelihara daftar keanggotaannya. Bukan seperti yang selama ini ketika mulai masuk tahapan pendaftaran dan verifikasi keanggotaan parpol peserta pemilu, baru disitu parpol sibuk mencari dan merekrut anggota. Akibatnya ketika KPU memverfikasi keanggotan parpol banyak anggota parpol yang namanya ada dalam daftar yang diserahkan ke KPU ternyata tidak mengakui bahwa dirinya adalah anggota parpol dan merasa bahwa dia tidak pernah mendaftar atau direkrut menjadi anggota parpol.
Berdasarkan penjelaasan di atas, sudah selayaknya partai-partai politik  menghindarkan cara-cara oligarki dalam pengelolaan internal. Demokratisasi dalam pengelolaan internal parpol adalah suatu keharusan, bukan hanya karena parpol adalah salah satu aktor utama demokrasi tapi juga karena parpol adalah penikmat utama dari demokrasi itu sendiri. Bayangkan jika demokrasi tidak ada, barangkali parpol juga tidak akan pernah ada.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menerapkan demokratisasi di internal parpol, diantaranya adalah dengan memperbanyak kaderisasi dan pendidikan politik kepada para anggota, melibatkan kader/anggota dalam setiap pengambilan keputusan penting, apalagi keputusan yang akan diambil adalah yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Anggota-anggota DPR/DPRD yang notabenanya sebagai anggota parpol juga harus senantiasa turun ke bawah untuk menyerap dan mendengarkan keluh kesah konstituennya untuk kemudian disuarakan dalam rapat-rapat di DPR/DPRD. Selain itu dominasi elit pengurus dalam pengambilan keputusan baik di parlemen maupun di luar parlemen harus dikurangi, sehingga nantinya parpol lebih menonjolkan aspirasi rakyat/anggotanya daripada aspirasi elit pengurus. Jika ini dapat dilakukan maka citra partai politik yang terus memburuk akan dapat diperbaiki dan kepercayaan rakyat terhadap parpol akan dapat dikembalikan.
*Penulis adalah Ketua KPU Kabupaten Mandailing Natal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H