Mohon tunggu...
salahudin tunjung seta
salahudin tunjung seta Mohon Tunggu... Administrasi - Individu Pembelajar

Mohon tinggalkan jejak berupa rating dan komentar. Mari saling menguntungkan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Bahaya Emosi Masyarakat dan Ketidakpercayaan terhadap Penegak Hukum

23 Februari 2022   12:49 Diperbarui: 23 Februari 2022   13:10 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebuah Negara yang menganut supremasi hukum, tidak membenarkan adanya sebuah tindakan yang dilakukan di luar apa yang sudah ditentukan hukum, ataupun tindakan yang dilarang oleh hukum itu sendiri. Hal tersebut tidak hanya berlaku bagi Negara tetapi juga bagi masyarakat, pun juga hubungan negara dengan rakyatnya. 

Hubungan antar masyarakat diatur dalam hukum perdata, negara dengan rakyat atau rakyat dengan rakyat yang mengatur perilaku yang dapat mengganggu masyarakat umum dan menyentuh rasa keadilan masyarakat secara umum diatur dalam hukum pidana. 

Hubungan negara dengan rakyat dalam lapangan hukum publik, dengan obyek sengketa adalah berupa tindakan hukum pemerintah (negara) diatur dalam hukum administrasi negara (hukum tata usaha negara). 

Bahkan hubungan antar lembaga negara dan mengatur mengenai tugas serta fungsi lembaga negara juga diatur dalam hukum, yaitu hukum tata negara. Semua sektor kehidupan dan tatanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diatur dengan hukum dalam konsep Negara Hukum yang meletakkan Hukum sebagai panglima atau meletakan hukum di atas kekuasaan. 

Hal ini dilakukan guna mengikis adanya sebuah tindakan yang dilakukan atas dasar kekuasaan belaka yang dapat menciderai Hak Asasi Manusia. 

Secara historis, konsep Negara Hukum lahir sebagai anti-tesis dari negara kekuasaan atau negara absolut. JJ Rousseau dan John Locke mencita-citakan untuk mengurangi atau membatasi penggunaan kekuasaan yang dibatasi oleh hukum. Sehingga hukum mengatur jalannya kekuasaan, sedangkan hukum itu sendiri dibentuk untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. 

Oleh karena itu, saat ini, Hukum dibentuk oleh sebuah lembaga yang merepresentasikan masyarakat, yaitu legislatif yang keanggotaannya dipilih melalui pemilihan umum, sehingga tindakan lembaga legislatif mendapatkan legitimasi sebagai perwakilan rakyat. 

Walaupun kini, model pembentukan hukum yang seperti itu mendapatkan banyak kritik juga karena terjebak dalam "diktator mayoritas". Sehingga muncul gagasan seperti demokrasi deliberitatif yang diajukan oleh Habermas, seorang filsuf Jerman. 

Kelembagaan negara yang semakin berkembang seiring berkembangnya gagasan Negara Hukum, membuat hukum tertulis menjadi sebuah kebutuhan bagi Negara Hukum, dikarenakan bagi Negara Hukum dibutuhkan adanya kepastian hukum, sehingga untuk menjamin hal tersebut sebuah hukum yang dikeluarkan negara dituliskan dalam "dokumen negara" atau produk legislatif yang disebut peraturan perundang-undangan dengan berbagai macam bentuknya yang terbagi secara hierarkis dari atas hingga bawah. 

Walaupun hukum tidak tertulis tetap diakui, seperti hukum adat, ataupun sebuah konvensi ketatanegaraan, tetapi sebuah hukum yang dibentuk oleh proses yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk mengatur sesuatu hal dan dibentuk oleh lembaga yang berwenang harus berbentuk hukum tertulis. 

Seiring berjalannya waktu, kebutuhan masyarakat semakin berkembang, kemajuan teknologi semakin pesat, maka dinamika perubahan di tengah masyarakat semakin tinggi. Hal ini berdampak pada hukum tertulis, karena menyebabkan hukum sulit menyesuaikan dan berada di belakang dari perubahan yang terjadi di masyarakat. Sehingga, contoh di Indonesia, bahwa tidak selalu terpaku pada hukum tertulis dalam menyelesaikan suatu kasus. 

Oleh karena itu, dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu kasus yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau tidak ada tidak jelas, tetapi berkewajiban untuk memeriksa dan menuntutnya sebagaimana asas Ius Curia Novit yang berarti hakim dianggap mengetahui semua hukum. Namun walaupun begitu masih banyak masyarakat yang merasa belum ada keadilan dari proses penegakkan hukum tersebut. 

Kekecewaan masyarakat atas penegakkan hukum tidak hanya karena hasil dari proses penegakkan hukum yang dirasa kurang adil, yang mana menurut penulis hal tersebut serasa sangat subjektif. Namun juga adanya ketidakpercayaan terhadap proses penegakkan hukum itu sendiri. Sehingga menimbulkan anggapan bahwa lebih baik tidak lapor ke aparat penegak hukum. 

Fenomena kekecewaan ini muncul beberapa bulan terakhir dengan tagar #percumalaporpolisi dalam sosial media Twitter. Selain itu, kini muncul satu tagar yang berkaitan dengan hal tersebut, yaitu #1hari1oknum. 

Kekecewaan publik tersebut cukup membahayakan, karena tentu akan berakibat pada masyarakat yang lebih cenderung akan menemukan cara sendiri-sendiri untuk "mencapai keadilannya" ketimbang melalui jalur hukum negara. Hal yang muncul selanjutnya adalah "main hakim sendiri". 

Sebuah tindakan emosional sesaat ketika terdapat suatu kejadian yang (dianggap) melanggar hukum, yang mana tindakan tersebut memanfaatkan suatu psikologi massa, sehingga tidak semua orang mengetahui kejadian sebenarnya, bahkan mayoritas hanya mengetahui berdasarkan orang lain atau dalam hukum, kesaksian tersebut disebut sebagai testimonium de auditu yang mana adalah sebuah kesaksian yang nilainya sangat rendah dan tidak dapat didengarkan keterangannya di peradilan. 

KBBI memberikan pengertian kepada istilah Main Hakim Sendiri, yaitu menghakimi orang lain tanpa memedulikan hukum yang ada (biasanya dilakukan dengan pemukulan, penyiksaan, pembakaran, dan sebagainya). 

Pada dasarnya Main Hakim Sendiri adalah sebuah tindakan yang diambil atas inisiatif sendiri diluar proses penegakkan hukum. Hal ini dapat diartikan sebagai ancaman bagi ketertiban dan keamanan publik, karena menyebar ancaman bagi masyarakat, yang mana seringkali tindakan Main Hakim Sendiri memakan korban yang bukanlah pelaku sebenarnya. 

Hal seperti ini pada bulan lalu baru saja terjadi dan memakan korban jiwa seorang Kakek berusia 89 Tahun yang dituduh sebagai maling. Kejadian yang terjadi di Jakarta Timur ini, diduga pada awalnya adalah suatu laka lantas, yaitu kakek berusia 89 tahun tersebut tidak sengaja menyerempet kendaraan bermotor, tetapi karena kakek berusia 89 tahun yang mengedari mobil SUV tersebut tidak berhenti setelah menyerempet kendaraan bermotor, maka salah seorang meneriakinya maling, yang seketika mengundang massa untuk mengejar dan berakhir pada pengeroyokan hingga kakek tersebut meninggal dunia. 

Selain, merupakan bentuk ancaman bagi keamanan dan ketertiban umum, tindakan Main Hakim Sendiri merupakan suatu tindakan yang melawan (hukum) negara. Sebagaimana dijelaskan di awal, bahwa dalam negara hukum, hukum tidak hanya membatasi kekuasaan (negara), tetapi juga masyarakatnya. 

Sehingga ada aturan yang mesti ditaati oleh masyarakat, juga dalam hal penyelesaian masalah. Ketika penyelesaian masalah yang terjadi di masyarakat dilakukan dengan tidak sesuai aturan yang ada, dengan melakukan tindakan main hakim sendiri, maka hal tersebut adalah suatu tindakan yang melawan (hukum) negara. 

Konsekuensi dari tindakan Main Hakim Sendiri yang merupakan tindakan yang melawan (hukum) negara dan memberikan ancaman bagi keamanan dan ketertiban publik adalah ancaman pidana dari negara. Hanya saja di Indonesia belum ada ketentuan atau pasal khusus mengenai Main Hakim Sendiri secara tersendiri, sehingga apabila ada sebuah tindakan Main Hakim Sendiri, ketentuan yang dikenakan pada pelaku adalah sesuai dengan tindakan yang dilakukan pada saat melakukan perbuatan Main Hakim Sendiri. 

Misal, tindakan yang dilakukan adalah penganiayaan, maka diancam dengan Pasal 351 KUHP. Apabila tindakan yang dilakukan adalah perusakan, maka diancam dengan Pasal 406 KUHP. Apabila tindakan yang dilakukan adalah kekerasan yang dilakukan bersama-sama di depan umum, maka diancam dengan Pasal 170 KUHP.

Main Hakim Sendiri adalah sebuah tindakan penyelesaian diluar mekanisme hukum yang belaku, dan merupakan tindakan emosianal sesaat. Namun menurut I Gusti Agung Kiddy Krsna Zulkarnain dan Ida Bagus Surya Dharma Jaya dalam artikel ilmiahnya yang berjudul "Kriminalisasi Perbuatan Main Hakim Sendiri (Eigenrichting) Dalam Hukum Pidana di Indonesia" menyatakan lebih lengkap lagi mengenai unsur dari tindakan Main Hakim Sendiri, yaitu dilakukan baik perseorangan maupun kelompok, adanya suatu tindakan menghakimi orang lain, didasarkan dengan emosi yang sengaja, dilakukan secara sewenang-wenang, perbuatan tersebut melanggar aturan hukum tanpa melalu prosedur hukum yang berlaku dan tanpa penggunaan alat kekuasaan pemerintah. 

Dengan unsur-unsur tersebut dan dilatarbelakangi oleh masih tersebarnya atau belum adanya ketentuan khusus mengenai tindakan Main Hakim Sendiri dalam KUHP Indonesia, maka dalam artikel ilmiah tersebut, I Gusti Agung dan Ida Bagus Surya menyatakan perlu adanya sebuah ketentuan khusus yang mengatur mengenai Main Hakim Sendiri dengan unsur ketentuan sebagaimana dijelaskan di atas. 

Tindakan Main Hakim Sendiri datang menurut A.B. Widyanta, Sosiolog UGM, karena kohesi dan solidaritas sosial yang semakin longgar dalam masyarakat urban menyebabkan anonimitas dan impersonalitas dalam tindakan sosial maupun hubungan sosial di masyarakat, dan membuat mereka melakukan tindakan nekat tanpa perasaan, tidak pandang bulu, sertat tanpa basis kesadaran. 

Hanya saja menurut hemat saya, Main Hakim Sendiri bukan hanya dikarenakan oleh faktor yang datang dari masyarakatnya saja. Namun juga adanya andil dari penegak hukum. 

Bahwa Main Hakim Sendiri muncul bukan secara serta merta dari faktor masyarakatnya tetapi juga adanya faktor dari aparat penegak hukum yang seringkali membuat masyarakat kecewa, sehingga muncul anggapan bahwa percuma untuk menyelesaikan permasalahan yang ada melalui aparat penegak hukum. Hal ini merupakan kritik, agar aparat penegak hukum kedepannya dapat mempebaiki kinerjanya, terutama kali dalam penyelesaian masalah-masalah yang terjadi di tengah masyarakat dan mengayomi masyarakat dengan sepenuhnya.

Pada akhirnya perihal Main Hakim Sendiri muncul karena tidak adanya keselarasan antara masyarakat dan aparat penegak hukum. Masyarakat dan aparat penegak hukum berjalan sendiri-sendiri. Aparat penegak hukum berjalan sendiri dengan cara-caranya yang menurut masyarakat tidak sesuai dengan rasa keadilannya, dan masyarakat menggunakan cara-caranya sendiri yang menurut aparat penegak hukum tidak tepat berdasarkan hukum negara.

 Dengan fenomena seperti ini, menjadikan saya mengingat kembali ide atau gagasan dari seorang tokoh dalam sidang BPUPKI dalam agenda pembahasan mengenai dasar negara, yaitu Soepomo. 

Dalam sidang BPUPKI tersebut Soepomo menyampaikan bahwa negara Indonesia ketika merdeka, akan berdiri sebagai negara integralistik, yaitu negara yang pada proses berjalannya kehidupan bernegara antara penyelenggara negara dan rakyatnya selaras dan dapat bergotong royong, negara adalah rakyat dan rakyat adalah negara. 

Menurut Soepomo, "maka teranglah Tuan-tuan yang terhormat,  bahwa jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia  yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasarkan atas aliran pikiran (staatsidee) negara integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun".

Kesatuan antara penyelenggara negara dalam hal ini aparat penegak hukum dengan masyarakat itu sangat diperlukan, dalam arti bahwa aparat penegak hukum dalam meningkatkan kinerjanya adalah berdasarkan atas suatu kendala dalam realitas masyarakat yang ada. 

Sehingga apa yang menjadi keluhan dari masyarakat dapat terserap dan menjadi koreksi bagi aparat penegak hukum. Hal ini guna mengurangi bahkan menghilangkan tindakan-tindakan Main Hakim Sendiri yang datang dari kekecewaan publik terhadap proses penegakkan hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun