Oleh karena itu, dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu kasus yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau tidak ada tidak jelas, tetapi berkewajiban untuk memeriksa dan menuntutnya sebagaimana asas Ius Curia Novit yang berarti hakim dianggap mengetahui semua hukum. Namun walaupun begitu masih banyak masyarakat yang merasa belum ada keadilan dari proses penegakkan hukum tersebut.Â
Kekecewaan masyarakat atas penegakkan hukum tidak hanya karena hasil dari proses penegakkan hukum yang dirasa kurang adil, yang mana menurut penulis hal tersebut serasa sangat subjektif. Namun juga adanya ketidakpercayaan terhadap proses penegakkan hukum itu sendiri. Sehingga menimbulkan anggapan bahwa lebih baik tidak lapor ke aparat penegak hukum.Â
Fenomena kekecewaan ini muncul beberapa bulan terakhir dengan tagar #percumalaporpolisi dalam sosial media Twitter. Selain itu, kini muncul satu tagar yang berkaitan dengan hal tersebut, yaitu #1hari1oknum.Â
Kekecewaan publik tersebut cukup membahayakan, karena tentu akan berakibat pada masyarakat yang lebih cenderung akan menemukan cara sendiri-sendiri untuk "mencapai keadilannya" ketimbang melalui jalur hukum negara. Hal yang muncul selanjutnya adalah "main hakim sendiri".Â
Sebuah tindakan emosional sesaat ketika terdapat suatu kejadian yang (dianggap) melanggar hukum, yang mana tindakan tersebut memanfaatkan suatu psikologi massa, sehingga tidak semua orang mengetahui kejadian sebenarnya, bahkan mayoritas hanya mengetahui berdasarkan orang lain atau dalam hukum, kesaksian tersebut disebut sebagai testimonium de auditu yang mana adalah sebuah kesaksian yang nilainya sangat rendah dan tidak dapat didengarkan keterangannya di peradilan.Â
KBBI memberikan pengertian kepada istilah Main Hakim Sendiri, yaitu menghakimi orang lain tanpa memedulikan hukum yang ada (biasanya dilakukan dengan pemukulan, penyiksaan, pembakaran, dan sebagainya).Â
Pada dasarnya Main Hakim Sendiri adalah sebuah tindakan yang diambil atas inisiatif sendiri diluar proses penegakkan hukum. Hal ini dapat diartikan sebagai ancaman bagi ketertiban dan keamanan publik, karena menyebar ancaman bagi masyarakat, yang mana seringkali tindakan Main Hakim Sendiri memakan korban yang bukanlah pelaku sebenarnya.Â
Hal seperti ini pada bulan lalu baru saja terjadi dan memakan korban jiwa seorang Kakek berusia 89 Tahun yang dituduh sebagai maling. Kejadian yang terjadi di Jakarta Timur ini, diduga pada awalnya adalah suatu laka lantas, yaitu kakek berusia 89 tahun tersebut tidak sengaja menyerempet kendaraan bermotor, tetapi karena kakek berusia 89 tahun yang mengedari mobil SUV tersebut tidak berhenti setelah menyerempet kendaraan bermotor, maka salah seorang meneriakinya maling, yang seketika mengundang massa untuk mengejar dan berakhir pada pengeroyokan hingga kakek tersebut meninggal dunia.Â
Selain, merupakan bentuk ancaman bagi keamanan dan ketertiban umum, tindakan Main Hakim Sendiri merupakan suatu tindakan yang melawan (hukum) negara. Sebagaimana dijelaskan di awal, bahwa dalam negara hukum, hukum tidak hanya membatasi kekuasaan (negara), tetapi juga masyarakatnya.Â
Sehingga ada aturan yang mesti ditaati oleh masyarakat, juga dalam hal penyelesaian masalah. Ketika penyelesaian masalah yang terjadi di masyarakat dilakukan dengan tidak sesuai aturan yang ada, dengan melakukan tindakan main hakim sendiri, maka hal tersebut adalah suatu tindakan yang melawan (hukum) negara.Â
Konsekuensi dari tindakan Main Hakim Sendiri yang merupakan tindakan yang melawan (hukum) negara dan memberikan ancaman bagi keamanan dan ketertiban publik adalah ancaman pidana dari negara. Hanya saja di Indonesia belum ada ketentuan atau pasal khusus mengenai Main Hakim Sendiri secara tersendiri, sehingga apabila ada sebuah tindakan Main Hakim Sendiri, ketentuan yang dikenakan pada pelaku adalah sesuai dengan tindakan yang dilakukan pada saat melakukan perbuatan Main Hakim Sendiri.Â