Mohon tunggu...
Sakuntum Sarihati
Sakuntum Sarihati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Jurusan Teknologi Pangan dengan hobi membaca, mendengarkan musik, jalan-jalan, dan tentunya kulineran.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

"Selamat Tinggal", Sebuah Karya Sindiran Pembajakan Buku

13 Januari 2024   14:13 Diperbarui: 13 Januari 2024   14:18 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selamat Tinggal - Tere Liye (Sumber: gramedia.com)

Novel Selamat Tinggal merupakan novel karya penulis terkenal Indonesia dengan nama pena Tere Liye. Karya ini berisi 350 halaman yang terbit pada 2020. Salah satu alasan saya memutuskan membaca buku ini adalah karena pengalaman pribadi saya yang pernah membaca novel karya beliau seperti Hujan (2016) dan Hello (2023) yang membuat saya kagum dengan alur cerita hingga gaya penulisannya. Kesan menakjubkan setelah membacanya membuat saya selalu ingin membaca karya-karya selanjutnya.

Saat pertama kali melihat buku ini, saya tertarik dengan cover yang simpel dan judulnya yakni “Selamat Tinggal”. Saya mengira bahwa buku ini akan menjadi buku dengan kisah yang menyedihkan karena judul yang diangkat, namun sebaliknya.

Novel ini bercerita mengenai seorang penjaga toko buku bajakan sekaligus mahasiswa abadi yang bernama Sintong. Ia adalah mahasiswa fakultas sastra di salah satu universitas ternama yang bisa duduk di bangku kuliah berkat bantuan pamannya yang punya usaha toko buku bajakan. Biaya kebutuhan hidup sehari-harinya juga dapat tercukupi berkat usaha tersebut. Sebagai gantinya, Sintong bersedia menjaga toko buku bajakan milik pamannya sembari menyelesaikan kuliahnya yang sudah memasuki tahun keenam.

Skripsi Sintong belum menemui kata “selesai”, begitu pula dengan semangatnya yang kian terkubur dalam menyelesaikannya. Hingga, pada suatu ketika di toko buku bajakan milik pamannya, Sintong menemukan sebuah buku karya penulis Indonesia yang namanya telah lama hilang, Sutan Pane. Hal ini cukup untuk memicu semangat Sintong kembali menggarap skripsinya dan masih sempat pula mencurahkan pemikirannya yang bertemakan politik di Koran Nasional yang mengundang kembali perhatian dari teman lama, penumpang kereta yang ia temui dengan asal, juga dosen pembimbing skripsinya.

Di tengah upayanya untuk menyelesaikan skripsinya, Sintong bertemu dengan sejumlah orang baru. Jess dan Bunga, dua mahasiswa dari fakultas ekonomi, pernah singgah di toko buku bajakannya. Jess, yang tampak hidup bahagia dan berasal dari keluarga kaya, ternyata menyimpan rahasia kecil yang cukup menyedihkan. Hal serupa juga terjadi pada Bunga, teman Jess, yang memiliki rahasia yang erat kaitannya dengan kehidupan Sintong. Selain itu, Sintong juga berjumpa dengan orang-orang luar biasa yang bersedia menjadi narasumber dalam penelitiannya, orang yang masih memelihara kenangan bersama Sutan Pane di hati mereka. Tidak ketinggalan, cinta pertama Sintong di masa SMA muncul kembali dan meninggalkan kesan mendalam di hatinya.

Aktivitas yang telah dilakukan Sintong selama bertahun-tahun di toko buku, tekanan dari ibunya untuk segera menyelesaikan skripsi, proses penggarapan skripsi, dan kecintaannya pada menulis, semuanya bercampur menjadi satu, menumbuhkan tekad kuat untuk meninggalkan dunia pembajakan. Sintong menyadari bahwa yang berhak menjadi kaya adalah penulis, bukan penjual buku bajakan. Impian ini muncul dan sangat dipengaruhi oleh perjalanan Sintong dalam menelusuri jejak Sutan Pane, seorang penulis yang menghargai prinsip hidup dan kejujuran. Melalui kisah hidup Sutan Pane, Sintong merenungkan tindakannya selama ini terkait buku bajakan.

Salah satu perkataan Sutan Pane yang berkesan bagi Sintong adalah,

"Hidup adalah kesesuaian antara perkataan, tulisan, dan perbuatan. Apalah arti kehormatan seorang manusia saat tiga hal ini tidak sesuai lagi. Apalah arti martabat seorang manusia ketika tiga hal tersebut bertolak belakang."

Kalimat ini semakin memicu Sintong untuk segera keluar dari dunia pembajakan walau harus berlapang hati menerima kritikan dan cacian dari paman dan keluarganya karena telah dianggap berkhianat.

Perkataan Sutan Pane lainnya yang menjadi favorit saya adalah, 

"Tulislah sesuatu yang harus dibaca banyak orang, bukan yang ingin dibaca orang banyak."

Judul novel ini memang “Selamat Tinggal” yang merupakan kalimat yang siap dilontarkan untuk meninggalkan sesuatu. Namun, dalam novel ini juga menceritakan mengenai perjuangan Sintong dalam menyelesaikan skripsi, perjuangannya untuk bisa keluar dari dunia pembajakan, hingga usahanya untuk membawa kembali nama penulis yang telah lama hilang.

Judul yang menarik dan gampang diingat ini, membuat pembaca semakin penasaran dengan isi bukunya dan termotivasi untuk membaca hingga akhir. Siapa sangka, isu yang diangkat dalam buku ini adalah isu pembajakan yang disebut berkali-kali dalam buku menjadi tamparan bagi produsen dan penikmat karya bajakan. Penyampainnya melalui sindiran, seperti pernyataan dimana pembajak yang selalu benar atas pekerjaannya dan posisi penulis yang selalu disalahkan. Atau para mahasiswa yang terpaksa mengakses konten bajakan karena uang sakunya yang yang terlalu sedikit, hingga sisi malang dari penulis yang haknya dirampas karena pembajakan.

Novel "Selamat Tinggal" mempersembahkan cerita yang sederhana dan mudah dimengerti, dengan alur yang terasa ringan. Penggambaran latar tempat, waktu, dan suasana hidup sehari-hari memberikan nuansa yang sangat akrab. Mulai dari toko buku bajakan yang lazim dijumpai, mahasiswa yang terus-menerus terlibat dalam penyelesaian skripsi, hingga kisah cinta pertama di masa SMA, semuanya dirangkai dengan gaya penceritaan yang memudahkan pembaca untuk terlibat dalam alur cerita.

Meskipun cerita ini bersifat ringan, pesan-pesan yang disampaikan tetap tajam dan serius. Isu-isu terkait maraknya pembajakan dikemas dengan baik melalui alur cerita dan sindiran yang terulang. Pembaca diyakinkan bisa dengan mudah meresapi makna yang ingin disampaikan oleh penulis.

Namun demikian, menurut saya, bagian cerita yang berkisah tentang Sintong memulai skripsinya dan mencari narasumber terasa berjalan terlalu lama. Waktu yang dihabiskan untuk kisah Sintong bersama Jess juga mungkin kurang memikat perhatian. Ending dari novel ini tidak sepenuhnya memuaskan, berbeda dengan karya-karya Tere Liye lainnya yang selalu menciptakan kekaguman bagi pembaca.

Meski begitu, buku ini tetap mendapat nilai 10/10 dari saya sebagai pembaca. Novel dengan cerita yang ringan namun sarat pesan merupakan alasan utama untuk merekomendasikannya. Cocok untuk semua kalangan, dari pelajar, pekerja kantoran, hingga orang tua. Pesan tentang merugikannya pembajakan dan pentingnya mendukung orisinilitas karya dapat diterima oleh semua pembaca. Semangat untuk memberantas pembajakan harus terus dijaga agar para seniman dapat hidup layak dengan karya luar biasa mereka.

Mari hentikan pembajakan dengan mendukung keaslian karya. Selamat tinggal, pembajakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun