Mohon tunggu...
Sakti Oktaviani
Sakti Oktaviani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional/UPN 'Veteran' Yogyakarta

menonton film

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Agenda Setting: Perubahan Kebijakan Publik tentang Barang Bawaan Penumpang dari Luar Negeri Dibatasi karena Jastip Milk Bun?

31 Mei 2024   15:03 Diperbarui: 31 Mei 2024   16:02 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roti sobek yang menjadi trend makanan di Indonesia, milk bun Thailand

Media sosial seperti tiktok dan Instagram yang tengah populer akhir-akhir ini telah berhasil mempengaruhi segala bentuk kegiatan, baik kegiatan hiburan, pekerjaan, penjualan, dan kegiatan lainnya. Dengan hadirnya media sosial juga mempermudah masuknya tren dari luar negeri ke dalam negeri.

Mudahnya akses ke media sosial menjadi salah satu alasan mengapa suatu tren di luar negeri dapat masuk ke dalam negeri dengan cepat. Seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu, terdapat tren makanan yang berasal dari negara Gajah Putih, milk bun.

Milk bun adalah salah satu makanan yang berasal dari Thailand yang dalam proses pembuatannya, milk bun terinspirasi dari Japanese milkbun. Tekstur selembut kapas dari roti sobek dengan perpaduan taburan susu dan isian cream membuat siapa saja ingin mencobanya.

Untuk mendapatkan milk bun Thailand yang authentic maka salah satu caranya adalah datang langsung ke negara Thailand dan mencobanya di sana. Namun, tidak semua orang mampu untuk mengunjungi negara Gajah Putih ini hanya untuk sebuah milk bun. 

Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan jasa titip atau yang dikenal dengan nama jastip. Jastip sendiri adalah jasa yang dikeluarkan oleh seseorang yang sedang berada diluar negeri untuk membelikan barang tertentu dari luar negeri untuk orang lain.

Harga yang lebih murah karena tidak melewati bea cukai dan tidak melalui izin dari badan yang bersangkutan, menjadikan jastip memiliki banyak peminat. Pada kasus milk bun terdapat beberapa individu yang menyediakan layanan jastip milk bun dari Thailand ke Indonesia. 

Namun, pada bulan Maret lalu, pihak bea cukai Soekarno-Hatta berhasil menyita sejumlah 1.000 kg atau sekitar 1 ton milk bun Thailand. Satu ton milk bun tersebut berasal dari 33 penindakan di pemeriksaan barang bawaan penumpang di Bandara Soekarno-Hatta sejak Februari 2024. Tindakan lanjutan kemudian dilakukan oleh pihak bea cukai dengan memusnahkan 2.564 bungkus milk bun dengan cara dibakar.

Tindakan tersebut bukan tanpa alasan, pemusnahan milk bun ini karena tidak adanya izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Tidak adanya izin edar dari BPOM akan menimbulkan adanya keraguan tentang apakah produk makanan milk bun ini layak konsumsi atau tidak. 

Dijelaskan pula bahwa barang bawaan jenis makanan memiliki batas maksimal 5 kg setiap penumpang. Artinya jika barang bawaan melebihi batas maksimal yang telah ditetapkan maka pihak bea cukai berhak untuk melakukan penindakan yang diperlukan. 

Jika barang yang dibawa melebihi batas maksimal, dan barang yang dibawa dimaksudkan untuk kegiatan perdagangan, maka dibutuhkan izin dari BPOM untuk memastikan keamanan barang tersebut.

Kejadian milk bun ini mendorong para pemangku kebijakan untuk memperketat kebijakan tentang barang bawaan penumpang dari luar negeri. Untuk memasukan isu barang bawaan penumpang luar negeri ke dalam agenda setting, maka diperlukan empat aspek yang harus dipenuhi, yakni power, potensi, proximity, dan persepsi (Zahariadis, 2016).

Aspek power, aspek terpenting dan mendasar dimana pemilik power berusaha membawa kepentingannya agar dapat masuk ke dalam daftar agenda setting. Dalam hal perdagangan pemilik kekuasaan yang dapat mempengaruhi adalah Menteri Perdagangan dan pihak bea cukai.

Suatu isu dapat berkembang menjadi semakin parah ketika isu tersebut tidak dilakukan penanganan segera, oleh karena itu perlu adanya identifikasi tentang aspek potensi akan terjadinya isu yang lebih besar, sehingga isu tersebut dapat menjadi prioritas dalam agenda setting kebijakan.

Jika kasus milk bun ini tidak mendapatkan prioritas dalam pembuatan kebijakan, maka kejadian serupa atau mungkin lebih parah akan sangat mungkin terjadi di masa depan. Tidak adanya tindak lanjut melalui kebijakan publik akan menimbulkan tindakan sewenang-wenang oleh penyedia layanan jastip.

Selain masalah kelayakan konsumsi, sebenarnya secara lebih luas, kejadian seperti ini akan merugikan pasar domestik karena kalah dalam hal popularitas. Hal ini merupakan dampak yang paling dekat jika tidak ada tindakan lanjutan oleh pemangku kebijakan.

Kedekatan masalah ini menjadi aspek ketiga, proximity, yang akhirnya membawa isu milk bun ini ke dalam daftar prioritas dalam agenda setting. 

Aspek terakhir, persepsi, kondisi dimana isu yang sedang berlangsung di dalam masyarakat sehingga mendapat perhatian dan empati dari masyarakat. Pada aspek ini masyarakat berfungsi sebagai pendorong pemangku kebijakan untuk memasukan isu tertentu dalam daftar agenda setting. 

Viralnya isu mengenal milk bun ini berhasil menarik perhatian dari masyarakat, akibatnya, kredibilitas dan legitimasi dari Bea cukai menurun. Sejumlah masyarakat mungkin akan mempertanyakan kinerja dari bea cukai melalui pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benak mereka ketika mendengar isu ini.

Pertanyaan seperti bagaimana bisa penumpang menyelundupkan barang yang melebihi kapasitas yang diperbolehkan?, apakah pihak bea cukai kurang dalam melakukan pengawasan?, apakah bea cukai kurang dalam mengenai suatu isu sehingga kebijakan yang dikeluarkan tidak tepat sasaran?, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang mempertanyakan kinerja bea cukai.

Ketika sebuah isu memenuhi keempat aspek tersebut, maka, isu akan mendapat tempat dalam agenda setting. Isu milk bun Thailand berhasil mendapatkan tempat dalam agenda setting. Hasilnya untuk menyelesaikan masalah tentang barang bawaan penumpang dari luar negeri, pihak bea cukai melakukan perubahan kebijakan yang ditatapkan.

Perubahan kebijakan tersebut adalah peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 36 Tahun 2023 yang direvisi menjadi Permendag No. 03 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Dalam peraturan tersebut juga mengatur batas maksimal barang bawaan dari penumpang yang melakukan perjalanan luar negeri.

Perubahan dalam kebijakan seringkali diperlukan untuk memastikan apakah suatu kebijakan tersebut masih sesuai dengan keadaan saat ini atau tidak. Pembaharuan kebijakan tentang barang bawaan penumpang dari perjalanan luar negeri diperlukan untuk menyesuaikan keadaan saat ini. Adanya fenomena jastip yang menjual barang tanpa melalui pemeriksaan badan terkait seperti BPOM dan bea cukai akan menimbulkan keraguan akan kelayakan dan keamanan dari barang tersebut. Selain itu, jika kebijakan tentang barang bawaan penumpang dari luar negeri tidak mengalami perubahan, makna eskalasi masalah mungkin saja  terjadi, misalnya produk domestik akan tersaingi dengan produk luar negeri yang nantinya akan berpengaruh juga ke dalam pendapatan perkapita sebuah negara. Kasus milkbun bukan satu-satunya isu yang mendorong terjadinya perubahan kebijakan, namun dengan adanya isu milk bun membatu pemangku kebijakan untuk menyadari kelemahan dari kebijakan yang mereka buat. Pada akhirnya pembaharuan dan perubahan kebijakan akan terus terjadi bergantung pada situasi, kondisi, kepentingan, dan tujuan dari negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun