Dua cangkir kopi dengan warna-warna berbeda, keindahan dalam setiap tegukannya, dan setiap tegukan semakin memudarkan warna-warna yang ada. Hingga cangkir itu habis, juga warna-warna didalamnya semakin samar, semakin redup, hilang tak berbekas.
Dan kini ia pesan cangkir kopi yang ketiga. Ya, tiga cangkir kopi menjadi teman, tiga cangkir kopi menjadi keyakinan. Bagaimana ini terjadi, ia memesan tiga cangkir kopi, apa ia pendosa? Manusia pernah ikrarkan sempurna yang berakhir hina, janji yang diingkari. Warna-warna dalam tiga cangkir kopi bersusun indah menyelaras seperti pelangi, pelangi dalam tiap cangkir kopi. Apa semua berakhir dalam keindahannya? Tentu tidak. Dalam rasa pahit dari setiap tegukan kopi sedikit demi sedikit memudarkan keindahannya, meleburkan setiap warnanya hingga cangkir itu kosong dan kembali ia pesan cagkir kopi selanjutnya.
Lama ia menatap kopi yang ketiga, sebuah pilihan. Dalam tatapan kosongnya Tiara jelas tergambar disana, dalam putaran serbuk kopi yang disiram air panas tanpa gula. Tergambar jelas pelangi dalam tiga cangkir kopi, lama ia tatap cangkir kopi yang ketiga, menatap Tiara, lama semakin lama, lama, lama ia menatap Tiara juga istrinya dan mereka kini bergegas pergi ke gereja. Pelangi dalam tiga cangkir kopi, sebuah pilihan.