Mohon tunggu...
Saka Tri Utama
Saka Tri Utama Mohon Tunggu... Sejarawan - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Penjelajah waktu tanpa kenal batas!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkembangan Pertanian di Kabupaten Gunung Kidul dan Akibatnya terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi, 1969-1983. Jurnal Sejarah, v.1, p 32-52, 1991

11 November 2020   06:57 Diperbarui: 13 Januari 2021   14:38 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Daerah Kabupaten Gunung Kidul yang terletak di selatan provinsi Istimewa Yogyakarta menyimpan berbagai kisah kelam mengenai kondisi sosial masyarakat yang terkenal karena kemiskinannya. 

Sebab yang menjadi kemiskinan adalah kondisi fisik tanah perbukitan, penuh batuan kapur, serta miskin sumber mata air dan kekurangan makan yang menurut K. Galbraith disebut seaga kemiskinan alamiah.

Menurut Murbyarto kondisi ini disebut sebagai kemiskinan absolut yang melingkupi krisis pangan dan kesehatan, muncul kebodohan, buta huruf, miskin mental, miskin pengetahuan dan miskin ketrampilan. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia yang ingin menciptakan masyarakat yang adil dan Makmur.

Bagaimana perkembangan fisik pertanian dan pengaruh berubahnya sikap mental terhadap pola hubungan sosial masyarakat di pedesaan Gunung Kidul yang mencoba menerapkan sistem Revolusi Hijau akan diulas dalam Jurnal Perkembangan Pertanian di Kabupaten Gunung Kidul dan Akibatnya Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi, 1969-1983 yang ditulis Sudijono. 

Fokus perubahan kepada dua aspek yakni. Pertama, aspek fisik yang meliputi benda-benda berupa pupuk buatan, obat-obatan, pemberantasan hama, perbaikan prasarana produksi, perbaikan alat-alat produksi tani, pemakaian bibit unggul dan cara-cara bercocok tanam yang sesuai kondisi geografis di daerah pegunungan. Kedua, aspek sosial yang melingkupi sistem pendidikan yang dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petani dalam penguasaan teknologi baru.

Struktur dan Metodelogi

Berdasarkan hasil bacaan penulis, disini akan memapaparkan struktur dan metodelogi sejarah yang telah Sudjoyono lakukan dalam hasil penelitiannya. 

Sudijono telah membuat tulisan yang baik di bidang sejarah sosial dan sejarah ekonomi. Sudijono mampu menguraikan rentetan peristiwa aktual sekaligus struktur masyarakat yang terlibat dalam perubahan-perubahan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Gunung Kidul. 

Struktur pada artukel jurnal ini berbeda dengan jurnal artikel umumnya yang menampilkan abstrak sebagai bangunan sebuah tulisan hasil penelitian; pendahuluan, metode, hasil pembahasan dan penutupan.

Proses pencarian dan pengumpulan sumber sebagai bahan data untuk dapat mensintesiskan dalam tulisan sejarah, diambil dari laporan-laporan arsip pemerintahan Gunung Kidul, Perpustakan daerah Jogjakarta, Majalah dan surat kabar terbitan LP3ES tahun 1979. 

Selain laporan tertulis, Sudijono juga melakukan sumber lisan dari hasil wawancara langsung kepada informan. Kunci artikel jurnal ini terletak pada hasil wawancara kpada informan, karena informan meyimpan memori kolektif masyarakat yang tidak tersimpan pada sumber tertulis. Ia dalam penelitiannya melakukan kirtik dan pendekatan sebelum diinterpretasikan dalam sebuah tulisan sejarah.

Hasil Temuan

Pembangunan Nasional yang dimulai sejak tahun 1969 oleh pemerintah Orde Baru yang ingin mencapai program swasembada dengan melalui perangkat kelembagaannya berupa program intensifikasi melalui Bimas, maka saat itulah pembangunan di bidang pertanian di mulai. 

Di sisi lain masalah pangan di lahan padi basah terselesaikan, sedangkan yang geografisnya dihadapkan daerah Gunung Kidul mendapatkan persoalan rumit yang menurut Srisayuto Sebagai Ketua pimbina Teknis Proyek Penghijauan DIY, dengan dihadapkan dua dilema mengatasi tanah kritis yang berada di daerah pegunungan Gunung Kidul. 

Pertama, mendahulukan pembangunan pertanian tanaman pangan yang tengah dinantikan massa petani. Kedua, mendahulukan pembangunan pertanian yang mengutamakan peningkatan produksi tanaman pangan berarti mengundang erosi, sedangkan mendahulukan pembangunan pertanian yang mengutamakan pencegahan erosi berarti mengungang kelaparan.

Kedua masalah itu yang unik tidak dapat ditemukan di wilayah Indonesia lainnya. Di bidang sosial semua upaya pemerintah telah menggerakan potensi sosial dengan menggerakan lembaga-lembaga baru pedesaan yang berupaya untuk membekali para petani di masa Revolusi Hijau.

Permasalahan yang menimpa di daerah Kabupaten Gunung Kidul memang pergulatan yang menarik bila dibandingkan dengan permasalahan pembangunan pertanian di daerah padi basah. Masalahnya adalah bagimana cara yang harus ditempuh pemerintah agar kelaparan dapat dihindari sambil pada saat yang sama erosi juga dapat ditekan.

Di bidang teknis pemerintah pada pelita I mengupayakan agar peningkatan produksi tanaman menggunakan pemakaian pupuk buatan, obat-obatan pemberantasan hama, pemakian bibit padi unggul jenis PB 5 dan PB 8 serta pengendalian erosi dengan penanaman tanam keras akasia.

Dari pelita ke pelita perkembangan pertanian mengalami peningkatan angka pemakaian prasarana produksi yang semakin membaik fasilitas perhubungan. 

Dengan semakin meningkatnya penggunaan teknologi pertanian baru sejak 1969 disadari pula oleh pemerintah bahwa usaha memaksimalkan produksi tanaman pangan dengan cara-cara petani basah tidaklah cukup, sebab teknologi revolusi hijau khususnya sangat responsif terhadap air. 

Sedangkan geografis Gunung Kidul yang sarat akan sumber utama air. Karena itulah pemerintah sejak tahun 1975 telah menjalin hubungan kerja sama dengan Team Tehnical Association dari pemerintah Inggris dalam rangka pengembangan air tanah. 

Dan pada akhirnya tahun 1977 Proyek Pengembangan Air Tanah (P2AT) telah menyelesaikan sejumlah 28 buah bangunan sumur pompa disel yang mempu mengairi areal sawah seluas 904,20 Ha di lima wilayah kecamatan yakni Kecamatan Wonosari, Playen, Ponjong, Karangmojo dan Semanu.

Pada tahun-tahun yang sama pemerintah Gunung Kidul dalam usaha mencukupi kebutuhan pangan, juga menyebarluasakan pemakaian beberapa bibit unggul, seperti jagung jenis Arjuna, kedelai vearitas Orba, Lokono dan bibit padi unggul varietas IR 36 melalui program intensifikasi khusus. 

Selain berupa kegiatan penanaman, akhir pelita I gerakan penghijauan mencapai areal seluas 5.010 Ha yang kemudian intruksi presiden pada No. 8 tahun 1976 mengeluarkan agar meningkatkannya menjadi 7.550 Ha areal peneterasan dan 38.439 Ha areal penanaman. Angka ini terus meningkat setiap tahunnya selama pelita III yang terpadu tanaman pangan seluas 300 Ha. 

Selain itu, pada 1980 pemerintah telah menyelesaikan Chek Dam terbesar yang mampu mencetak sawah baru seluas 596 Ha dan tersebar di enam wilayah Kecamatan yakni, Kecamatan Nglipar, Karangmojo, Patuk, Ponjong, Semin dan Ngawen. Maka berkat bantuan Chek Dam, areal tersebut dapat memanen dua kali yaitu, tanaman padi dan tanaman polowijo.

Dengan diterapkannya teknologi tepat guna revolusi hijau, maka produksi pertanian di Kabupaten Gunung Kidul sejak pelita I hingga pelita III mengalami peningkatan terus menerus. 

Namun, perkembangan pertanian di Gunung Kidul mengalami ketimpangan terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat di pedesaan Gunung Kidul yang berujung kepada pemisahan pemilik lahan dan buruh tani.

Wawancara yang dilakukan menyasar kepada Bapak Ponidianto sebagai petugas penyuluh pertanian lapangan kecamatan patuk. Berdasarkan perkembangan pertanian yang meningkat dari tahun 1969-1983 dengan diiringi pertambahan penduduk di sana-sini muncul gejala negatif yang ditimbulkan oleh pemusatan pemilikan dan penguasaan tanah serta tergesenya petani penyakap menjadi buruh upahan.

Adapun yang menjadi sebab-sebab gejala pemusatan penguasaan dan pemilikan tanah ini disebabkan oleh mudahnya dominasi kelompok elit memperoleh sarana produksi dari penyediaan bibit unggul, pupuk buatan, obat-obatan pemberatas hama dan semacamnya. 

Karena sifat pelayanan terbatas yang didukung oleh model pembangunan dengan bertaruh yang kuat, maka terjadinya kesenjangan antara pemilik tanah dan petani penyakap. 

Di satu sisi, pemilik tanah menginginkan dikerjakan sesuai teknis dan petunjuk pertanian modern sedangkan petani penyakap yang memiliki sarana produksi terbatas, kurang modal, serta kurang pengetahuan dan ketrampilan, sehingga mereka merelakan melepas tanah sakapnya kepada pemilik tanah.

Dengan demikian, sistem tersebut telah memperlemah bekerjanya sistem penyakapan di daerah Gunung Kidul dan mengakibatkan alat harmoni sosial masyarakat petani terancam kelangsungannya serta menciutkan petani kecil.

Suara kecil datang dari Bapak Mugiran sebagai buruh tani di Duku Dugo Kelurahan Nglanggaran Kecamatan Patuk. Petani kecil dalam keadaan bagaimanapun akan selalu mempertahankan hak milik tanahnya, karena itu suatu kebijaksanaan pemberian subsidi kepada petani kecil didasarkan atas jaminan tanah, maka tidak ada mendapat sambutan dari petani kecil. 

Terdapat beberapa alasan petani kecil untuk tidak bersedia menerima bantuan, salah satunya adalah hasil dari usaha petani yang tidak menentu, kadang dapat menanam dengan hasil yang memuaskan dan kadang pula gagal sama sekali. Dalam keadaan gagal ini, maka petani kecil khawatir apabila tanahnya disita pemerintah.

Karena petani kecil tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tinggi, tidak punya modal, terbatasnya pelayanan, maka mereka yang mengelola dengan petunjuk-petunjuk pertanian modern, akibatnya hasilnya tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. 

Dalam hal ini petani akan jatuh kepada melunasi hutangnya dan terpaksa menjual apa yang dimilikinya. Lagi-lagi buat masyarakat pentai yang miskin seperti daerah Gunung Kidul.

Wawancara terakhir dengan Bapak Kartodikromo petani pemilik tanah di Duuh Ngepoh Kelurahan Planjan Kecamatan Paliyan. Agar kelancaran dan kenyamanan para petani kecil dan tidak menanggung resiko kebanyakan menempuh program Inmas daripada menerima program Bimas. Walaupun petani telah menempuh jalan yang berbeda, tetapi jalan ini justru telah berakhir pada keadaan yang lebih merisaukan.

Situasi seperti itu merupakan kejadian yang sudah umum terjadi pada kehidupan masyarakat petani, lebih-lebih buat masyarakat petani miskin seperti daerah Gunung Kidul. 

Memang terjadinya ketimpangan ini dapat dilacak oleh akar sejarahnya dan selain itu ketimpangan pembagian tanah ini diperberat lagi proses pemiskinan petani di pedesaan. 

Ketimpangan akan tetap menonjol jika adanya pembagian sumber-sumber ekonomi, melonggarnya struktur-struktur sosial yang masih bersifat feodal dan menipisnya kesenjangan tingkat pengetahuan dan keterampilan petani kecil.

---------------

Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah.

saka.triutama18@mhs.uinjkt.ac.id

@saka.tutama

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun