Pada tahun-tahun yang sama pemerintah Gunung Kidul dalam usaha mencukupi kebutuhan pangan, juga menyebarluasakan pemakaian beberapa bibit unggul, seperti jagung jenis Arjuna, kedelai vearitas Orba, Lokono dan bibit padi unggul varietas IR 36 melalui program intensifikasi khusus.Â
Selain berupa kegiatan penanaman, akhir pelita I gerakan penghijauan mencapai areal seluas 5.010 Ha yang kemudian intruksi presiden pada No. 8 tahun 1976 mengeluarkan agar meningkatkannya menjadi 7.550 Ha areal peneterasan dan 38.439 Ha areal penanaman. Angka ini terus meningkat setiap tahunnya selama pelita III yang terpadu tanaman pangan seluas 300 Ha.Â
Selain itu, pada 1980 pemerintah telah menyelesaikan Chek Dam terbesar yang mampu mencetak sawah baru seluas 596 Ha dan tersebar di enam wilayah Kecamatan yakni, Kecamatan Nglipar, Karangmojo, Patuk, Ponjong, Semin dan Ngawen. Maka berkat bantuan Chek Dam, areal tersebut dapat memanen dua kali yaitu, tanaman padi dan tanaman polowijo.
Dengan diterapkannya teknologi tepat guna revolusi hijau, maka produksi pertanian di Kabupaten Gunung Kidul sejak pelita I hingga pelita III mengalami peningkatan terus menerus.Â
Namun, perkembangan pertanian di Gunung Kidul mengalami ketimpangan terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat di pedesaan Gunung Kidul yang berujung kepada pemisahan pemilik lahan dan buruh tani.
Wawancara yang dilakukan menyasar kepada Bapak Ponidianto sebagai petugas penyuluh pertanian lapangan kecamatan patuk. Berdasarkan perkembangan pertanian yang meningkat dari tahun 1969-1983 dengan diiringi pertambahan penduduk di sana-sini muncul gejala negatif yang ditimbulkan oleh pemusatan pemilikan dan penguasaan tanah serta tergesenya petani penyakap menjadi buruh upahan.
Adapun yang menjadi sebab-sebab gejala pemusatan penguasaan dan pemilikan tanah ini disebabkan oleh mudahnya dominasi kelompok elit memperoleh sarana produksi dari penyediaan bibit unggul, pupuk buatan, obat-obatan pemberatas hama dan semacamnya.Â
Karena sifat pelayanan terbatas yang didukung oleh model pembangunan dengan bertaruh yang kuat, maka terjadinya kesenjangan antara pemilik tanah dan petani penyakap.Â
Di satu sisi, pemilik tanah menginginkan dikerjakan sesuai teknis dan petunjuk pertanian modern sedangkan petani penyakap yang memiliki sarana produksi terbatas, kurang modal, serta kurang pengetahuan dan ketrampilan, sehingga mereka merelakan melepas tanah sakapnya kepada pemilik tanah.
Dengan demikian, sistem tersebut telah memperlemah bekerjanya sistem penyakapan di daerah Gunung Kidul dan mengakibatkan alat harmoni sosial masyarakat petani terancam kelangsungannya serta menciutkan petani kecil.
Suara kecil datang dari Bapak Mugiran sebagai buruh tani di Duku Dugo Kelurahan Nglanggaran Kecamatan Patuk. Petani kecil dalam keadaan bagaimanapun akan selalu mempertahankan hak milik tanahnya, karena itu suatu kebijaksanaan pemberian subsidi kepada petani kecil didasarkan atas jaminan tanah, maka tidak ada mendapat sambutan dari petani kecil.Â