Mohon tunggu...
Saifullah Ibnu
Saifullah Ibnu Mohon Tunggu... Petani - Dir. Eksekutif Literasi Demokrasi (LIDI) Indonesia

Penikmat kopi hitam| hobi bertani| sedikit tertarik dgn isu kepemiluan|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tuhan Politik

11 Mei 2020   04:23 Diperbarui: 11 Mei 2020   22:28 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Tepat hari minggu sore, disebuah kedai kopi Bimo sedang menunggu kawan baru yang menjanjikan kerjasama bisnis pangan. Belum juga aroma kopi menyapa, tiba tiba ada panggilan dengan nama beken 10 tahun yang lampau. 

Seketika Bimo reflek menolek ke arah suara itu datang.Tak disangka, ternyata dua meja dari Bimo ada seorang yang berna Durha bersama tiga temannya sedang asik nyeruput. Bimo terkesan tak percaya apa yang dilihatnya. Sebab sudah dua kali pemilu tak pernah sekalipun bertemu dengannya.Pertemuan tanpa janjian tersebut, menyisakan banyak cerita. Mereka berdua tampak serirus berbagi cerita soal keluarga, masa waktu menjadi aktivis kampus dan kegiatan hari-hari mereka. Ini benar-benar takdir, kata Bimo.

Pada kawan lamanya, Durha cerita tentang situasi rumah tangganya yang sedang dilanda prahara. Itu juga mengapa dia sampai di kota metropolitan ini, karena terungkap kisah perselingkuhan yang telah lama dijalin dengan wanita muda berstatus mahasiswi. Istri bersama keluarganya murka atas penghianatan pada janji suci dan kesetiaan yang telah didedikasikan oleh istrinya sudah sembilan tahun lebih lamanya.

Bimo hanya menimpa cerita duka lara kawan lamanya dengan ucapan, eh rupanya cerita soal kelamin kau belum juga insaf, aku pikir kau berubah setelah berkeluarga. Itu dia kawan, kelemahan aku memang soal perempuan jawab Durha.

Panggilan masuk dari telepon menghentikan cerita perempuan.
Siapa, tanya Durha.
Kawan yang tadi aku ceritakan. Katanya dia kejebak macet. Ada masa aksi didepan istana yang belum mau membubarkan diri.

Memang kekuasaan itu harus didik dengan perlawanan rakyat, kata Durha.
Kekuasaan tidak perlu dilawan lagi kawan. Kekuasaan itu harus direbut, rumusnya begitu sekarang. Bimo sambil mengaduk kopinya yang masih panas.

Lanjut Bimo. Jika kekuasaan ada digenggam kamu. Dengan kekuasaa itu kamu bisa berbuat banyak termasuk soal perempuan. Mereka tertawa ketika ada tambahan kalimat soal perempuan.

Sejujurnya, aku masih seperti yang dulu yang tak tertarik pada kekuasaan politik yang menurutku terlalu banyak penghianatan dalam tubuhnya. Di dua kali pemilu terakhir ini aku sering diminta oleh partai di daerah untuk calon anggota DPRD. Aku selalu menolak dengan alasan ingin fokus mengembangkan bisnis yang aku runtis. Pengakuan Durha itu diakui oleh Bimo sebagai sikap yang konsisten sejak mahasiswa.

Dengan santai Bimo menampik pendapat Durha. Kawan tidak seluruhnya benar pikiran itu. Terlalu gelap kamu melihat dunia politik kita. Masih ada cahaya dalam selimut kekuasaan hari ini, baik di Istana maupun parlemen.

Aku melihat dibanyak tempat masih banyak politisi yang berjuang atas idealisme dan kepentingan rakyat, hanya saja kekuatan mereka jumlahnya kecil dan itu menyebar di beberapa partai politik.

Tapi saya liat tidak ada yang nampak moncong hidungnya, semua dulu tampak gagah dengan idealismenya sebelum masuk dalam tubuh kekekuasaan, timpa Durha. 

Iya, benar kalau soal itu kata Bimo. Kamu harus tahu posisi mereka dalam cengkraman oligarki yang tumbuh subur disemua partai di Indonesia.

Bimo menceritakan siapa saja owner semua partai di negeri ini. Posisi mereka yang dulu dibelakang layar kini telah merangsek masuk ke panggung depan dan mengendalikan langsung kegiatan politik partai day to day.

Bila ada sebagian dari politisi didalamnya yang mencoba berjuang untuk mengagregasi hembusan nafas penderitaan rakyat tapi bertentangan kepentingan pemilik partai, maka dia digencet seperti tak punya jiwa, ancaman pemecatan kerap dialami bahka ada intimidasi, teror oleh preman peliharaan. Mereka punya media untuk backup kepentingan politiknya, menyebarkan pidato pro rakyat.

Oleh karena itu, kekuasaan harus direbut untuk membumikan idealisme dan cita cita luhur para pendiri bangsa. Jika tidak idealisme dalam jantungmu hanya akan menjadi isme-isme utopis. Maksimal hanya akan mengisi jiwa jiwa yang yang kosong untuk memberontak.

Mereka yang hidup enak dengan kekuasaan tak akan pernah rela menyerahkan kepada orang lain. Karena dalam tubuh kekuasaan selalu ada zat adiktif, itulah mengapa kekuasaan seperti candu, hanya kematian yang bisa melenyapkan.

Pidato singkat Bimo masih berlanjut. Realitas politik kekinian katanya, bahwa tuhan politik zaman sekarang adalah kekuasaan memang tak perlu ditampik. Tak ada lagi perjuangan nilai, kemanusiaan, yang ada seperti kolonialisme sesama manusia. Siapa kuat dia yang banting dan siapa yang lemah dia disikat, itu semuanya demi dan atas nama kekuasaan. Atas alasan itu, kita harus merebut kekuasaan. Kalaupun kita terjebak, paling tidak kita terjebak dalam kenikmatan kekuasaan.

Senin, 11 Mei 2029

Coretan menjelang sahur. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun