Mohon tunggu...
Saifullah Ibnu
Saifullah Ibnu Mohon Tunggu... Petani - Dir. Eksekutif Literasi Demokrasi (LIDI) Indonesia

Penikmat kopi hitam| hobi bertani| sedikit tertarik dgn isu kepemiluan|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tuhan Politik

11 Mei 2020   04:23 Diperbarui: 11 Mei 2020   22:28 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Iya, benar kalau soal itu kata Bimo. Kamu harus tahu posisi mereka dalam cengkraman oligarki yang tumbuh subur disemua partai di Indonesia.

Bimo menceritakan siapa saja owner semua partai di negeri ini. Posisi mereka yang dulu dibelakang layar kini telah merangsek masuk ke panggung depan dan mengendalikan langsung kegiatan politik partai day to day.

Bila ada sebagian dari politisi didalamnya yang mencoba berjuang untuk mengagregasi hembusan nafas penderitaan rakyat tapi bertentangan kepentingan pemilik partai, maka dia digencet seperti tak punya jiwa, ancaman pemecatan kerap dialami bahka ada intimidasi, teror oleh preman peliharaan. Mereka punya media untuk backup kepentingan politiknya, menyebarkan pidato pro rakyat.

Oleh karena itu, kekuasaan harus direbut untuk membumikan idealisme dan cita cita luhur para pendiri bangsa. Jika tidak idealisme dalam jantungmu hanya akan menjadi isme-isme utopis. Maksimal hanya akan mengisi jiwa jiwa yang yang kosong untuk memberontak.

Mereka yang hidup enak dengan kekuasaan tak akan pernah rela menyerahkan kepada orang lain. Karena dalam tubuh kekuasaan selalu ada zat adiktif, itulah mengapa kekuasaan seperti candu, hanya kematian yang bisa melenyapkan.

Pidato singkat Bimo masih berlanjut. Realitas politik kekinian katanya, bahwa tuhan politik zaman sekarang adalah kekuasaan memang tak perlu ditampik. Tak ada lagi perjuangan nilai, kemanusiaan, yang ada seperti kolonialisme sesama manusia. Siapa kuat dia yang banting dan siapa yang lemah dia disikat, itu semuanya demi dan atas nama kekuasaan. Atas alasan itu, kita harus merebut kekuasaan. Kalaupun kita terjebak, paling tidak kita terjebak dalam kenikmatan kekuasaan.

Senin, 11 Mei 2029

Coretan menjelang sahur. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun