Dalam sistem kepemilikan, seseorang mempunyai hak untuk memiliki segala apapun di dunia dengan cara yang sah dan teratur. Dalam arti, meskipun dunia ini milik Allah, bukan berarti setiap orang bisa menganggap apa saja yang ada di dalamnya bisa dimiliki dengan mudah. Misalnya orang yang menginginkan harta untuk memenuhi kebutuhannya ataupun untuk kepentingan bersama, mencarinya dengan mengambil harta milik orang lain tanpa sepengetahuan pemilik, karena dia memiliki anggapan bahwa semuanya adalah milik Allah, maka hal ini tidak bisa dibenarkan. Meskipun harta di dunia milik Allah, tetapi ada peraturan-peraturan yang harus dilalui untuk memiliknya.
Ada dua jenis milik yang dibahas dalam Islam, yaitu Milik Tam (sempurna) dan Milik Naqis (Kurang). Milik Tam adalah pemilikan yang meliputi zat dan manfaat benda tersebut. Sedangkan milik Naqis adalah pemilikan yang meliputi manfaatnya saja, tanpa memiliki zatnya.[1]
Ada beberapa cara untuk memiliki harta secara tam (sempurna) dan naqis (Kurang), diantaranya akad jual beli, hutang piutang, sewa menyewa, gadai, mujaro’ah, pinjam meminjam dan lain sebagainya. Dari beberapa contoh diatas, masing-masing memiliki aturan dan cara tersendiri dalam melakukan transaksi, tetapi ada satu persamaan yang harus dilakukan didalamnya, yaitu akad. Secara umum akad merupakan segala sesuatu yang dilakukan oleh orang berdasarkan keinginannya sendiri. Secara khusus akad menurut pendapat mayoritas ulama fiqih adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab dan qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.[2]
Akad merupakan kunci utama dalam muamalah, karena dengan akad maka jual beli bisa sah dan harta yang dimaksudkan bisa dimiliki salah satu Aqidain (dua orang yang akad). Kalau akad tidak dilakukan, maka jual beli tidak sah.
Contoh dalam sebuah Hadits disebutkan sebagai berikut:
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- « مَنْ زَرَعَ فِى أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَىْءٌ وَلَهُ نَفَقَتُهُ » (رَوَاهُ اَبُوْ دَاوُدَ) [3]
Artinya: “Dari Rafi’ bin Khadij RA berkata; Rasulullah bersabda; barang siapa menanam tanaman dilahan seorang kaum tanpa seizinnya, maka ia tidak berhak mendapatkan hasil tanamanya sedikitpun dan walaupun ia telah mengelurkan modal (biaya) mengelolanya.” (HR Abu Daud).
Hadits diatas merupakan contoh dari muamalah yang tidak disertai akad yang sah, seseorang yang memiliki modal, menanam tanaman pada lahan milik orang lain tanpa ada ikatan persetujuan (akad) dari pemilik lahan, maka pemilik modal tidak berhak mendapatkan apa-apa, walaupun pemilik modal mengeluarkan biaya berapapun. Jika antara pemilik modal dan pemilik tanah sebelumnya melakukan transaksi kerja sama untuk mengelola lahan yang kosong, maka transaksi yang dilakukan sudah sah.
Disisi lain Hadits diatas juga memberikan pengertian bahwa sebenarnya seseorang bisa melakukan penanaman pada lahan milik orang lain dengan melalui jalan yang sah, seperti Mujara’ah. Mujara’ah menurut Ulama Hanabilah adalah Penyerahan tanah kepada orang yang akan bercocok tanam atau mengelolanya, sedangkan tanaman (hasilnya) tersebut dibagi di antara keduanya. Sedangkan menurut Ulama Syafi’iyah, mujara’ah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkannya dan benihnya berasal dari pemilik tanah.[4]
Menurut Imam Hanafi, akad muzara’ah harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :[5]
1. ‘Aqidain, yakni harus berakal.