Mohon tunggu...
Saiful Furkon
Saiful Furkon Mohon Tunggu... -

Aku Cinta Menulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jangan Sebut Ayah Banci !!!

22 Januari 2011   09:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:18 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Anak banci...anak banci...anak banci..."

Aku menyandang olokan itu semenjak SD. Entah kenapa kalau teman-temanku marah padaku, mereka memperolok kata itu. Hal itu yang membuat aku terkadang emosi, dan mereka semakin mengejeku hingga aku menangis. Dan mereka nampak begitu puas. Jelas-jelas aku tidak mau kalau ayahku disebut banci. Ayahku laki-laki normal, ia tidak pernah memakai baju rok dan lipstick. Terkadang aku suka melempar batu keteman-temanku. Aku benci mereka yang selalu saja menghina Ayah. Aku jelas marah. Kalau mereka marah padaku, tidak usah ayah yang jadi olokan mereka dengan mengada-ada. Jelas-jelas ayahku, ayah yang baik. Dia tidak pernah marah-marah padaku. Itu yang membuat aku tidak terima ayah diejek begitu.

Namaku Arini, umurku 16 tahun. Aku sekarang duduk dibangku kelas satu SMA. Setelah satu tahun pasca kelulusan smp dirumah, akhirnya aku bisa melanjutkan lagi. Berkat kerja keras Ayah. Aku tidak mau kalau sampai aku menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku ingin selalu belajar yang rajin dan jadi anak yang pintar. Bukankah Ayah sudah berjuang mati-matian, walau sampai detik ini aku tidak tahu ayah kerja apa. Yang jelas Ayah bekerja halal dan mencari uang dengan jerih payah keringatnya sendiri. Bukan bekerja apa yang dikatakan orang-orang. Yang bisanya hanya menuduh ayah macam-macam.

"Arini, nanti malam ayah pergi. Nanti kalau bibi mu datang, uang ini tolong kasih ke bibimu. Terus nanti kalau kamu lapar, kamu tinggal masak mie kalo tidak goreng telor" ujar ayah

Aku hanya tersenyum. ayah baik sekali padaku. Sampai-sampai hal kecilpun diperhatikan. Walau aku kini tidak memiliki orang tua yang lengkap, namun bagiku ayah adalah segalanya bagiku. Ayah sudah melengkapi seperti sosok ibu.

Aku masih duduk diruang tamu. Hujan diluar nampak turun dengan derasnya. Dalam hati aku cemas dengan kondisi ayah. Yah aku takut ayah kenapa-napa. Apalagi setahuku, akhir-akhir ini ayah sering sakit.

"Ayahamu belum pulang toh, Rin" suara bibi terdengar dibalik ruang dapur

Saat itu aku tengah duduk diruang tengah. Menyaksikan sinetron kesukaanku.

"Belum, Bi. Ayah tuh kemana sih Bi sebenarnya?" tanyaku

Bibi yang saat itu selesai menggoreng telur langsung menghampiriku. Kulihat ia duduk dikursi sebelahku. Aku hanya menatap heran. Wajahnya menampakan keseriusan.

"Bibi juga tidak tahu, Ni. Ayahmu dari dulu juga tidak pernah jelas kerjaanya"

"Maksud bibi?"

"Yah selama ini keluarga juga nggak tahu kerjaan ayah apa"

Aku cemas. "Tapi nggak seperti yang diomongin orang kan"

"Hush...ngawur kamu. Emang bapakmu apaan. Kerja kok jadi banci"

Aku tenang. Mengelus dada mendengar pemberitahuan bibi. Kulihat guratan kebingungan tampak memenuhi ruang wajahnya. Sulit untuk membayangkan Ayah bekerja sebagai apa, selama ini yang kutahu Ayah pulang membawa uang. Yah hanya itu. Setiap kali aku tanya ayah bekerja apa, jawabannya selalu saja sama "Halal". Yasudahlah,akupu tidak boleh memaksa.

****

Hari ini minggu ketiga disemester dua. Aku benar-benar malas sekali untuk berangkat kesekolah. Selain hujan, hari ini juga ada pelajaran matematika yang siap menguras otaku. Bahkan pr kemarin pun belum terselesaikan. Entah kenapa aku benci banget dengan rumus-rumus matematika.

Kulirik kearah luar jendela, tampak hujan masih turun. Gemerciknya terdnegar beralunan diatap. Aku masih menunggu hujan reda. Kulirik jam dinding, nampak masih menunjukan pukul setengah tujuh. Setidaknya masih ada waktu kurang lebih seperempat menit untuk berdoa supaya hujan cepat reda.

Setelah yang tersisa hanya gerimis, aku memaksakan diri untuk berangkat. Yah bagiku ada sedikit keterpaksaan. Karena entah mengapa, selain benci dengan pelajarannya. Aku juga sedikit tidak suka dengan gurunya. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang ada didalam otak lelaki berkacamata tebal dan berperut buncit itu. Ia selalu menganggap aku adalah kebodohan dikelas. Hampir setiap kali disuruh maju, aku yang selalu kena. Tapi...sudahlah aku cape,tak ada waktu membahas lelaki itu.

Tepat dijalan, aku melihat seseorang yang membuat aku membenci. Ridwan, yah aku benci sekali lelaki sebayaku itu. Ia yang pernah menyorakiku semasa sd. Dan membuat aku malu tatkala ditempat jajan. Sepeertinya hatiku penuh dihantui rasa benci dan dendam. Walau ayah selalu mengajariku untuk selalu tabah dalam mendapatkan cobaan. Tapi sulit rasanya aku untuk membohongi diri.

"Woi!" gertakan Ridwan

Aku tak peduli, aku terus berjalan mengiringi langkahku. Bagiku Ridwan adalah benalu. Lelaki bermulut comel itu selalu meledeku. Mungkin karena aku yang mudah meledak, jadi ia senang sekali mencari keributan.

"Gak usah cari masalah deh!"

"Siapa yang mau cari masalah sama lo, gue Cuma mau nanya aja"

"Nanya apa?" kulihat ada keseriusan diwajah Ridwan, kali saja benar ia serius ingin menanyakan sesuatu.

"Ayah lo masih jadi banci kaleng gak?" ia ketawa dan langsung berlari kecil

Aku membiarkannya dan tak mengejar. Pelan kuhentikan langkahku, kuambil sebuah botol kecil air mineral, yang isiinya masih setengah. Kemudian aku melanjutkan langkahku,kulihat Ridwan kini bersama teman-temannya. Berjalan menuju kegerbang sekolah.

Setelah aku menyamai langkahnya, akulangsung membuka tutup botol tanpa sepengetahuannya.tanpa rasa takut, kusiramkan air tepat dimukanya, dan bajunya. Hingga basah. Ada kepuasan tersendiri bagiku, untuk melakukan tindakan kasar bagi siapa saja yang menghina ayahku.

"Woi, asal kalian tahu yah. Teman kalian ini ada satu yang banci,nih!" kutunjuk muka Ridwan "Laki-laki kok mulutnya comel, suka bikin gossip"

"Alah emang nyatanya bener, bapak lo bencong"

Plak...sebuah tamparan mendarat dipipi Ridwan yang bersumber dari tanganku

Aku kemudian pergi meninggalkan ia yang kini menjadi bahan tertawa teman-temannya. Akh...itu yang kubenci. Selalu saja Ayah yang menjadi lelucon, tidak dirumah tidak dikelas.tapi kenapa setiap kali aku melapor pada ayah,Ayah tidakpernah marah.ia hanya tertawa dan bilang "Ada-adasaja,mana mungkinlah. Biar saja teman-temanmu beranggapan apa saja. Tapi kamu cukupdiam,dan janganhiraukan"

Aku hanya mengiyakan.

****

"Kenapa sih Rin, temen-temen kok setiap kali rebut sama kamu the selalu bilang kamu anak banci,apakamu nggaksakit hati" tanya Fatimah, disela-selajam istirahat

Aku hanya menaikan halis,kufikir pertanyaan Fatimah yang teraneh. Tidak biasanya iasampai membahas halini

"Biarin aja,nanti juga capek sendiri. Orang yang bisanya suka ngehina, belum tentu dia lebih baik daripada orag yang dihina"

"Tapikan aku dengernya risih juga,Ni.bagaimana kalau semua teman-teman yang lain padaikut-ikutan. Kan nanti juga kamu yang malu. Ih,masa kamu the mau dibilang anak banci"

Otaku berputar, benar juga apa yang dikatakan Fatimah.

Malam harinya, aku sengaja mengikuti setiap gerak-gerik Ayah. Aku merasa ingin sedikit tahu tentang Ayah. Aku mau buktikan, atas dasar apa banyak orang bilang Ayah banci. Dan kenapa dikampung tempat tinggalkupun banyak yang suka berbisik-bisik perihal tentang Ayah. Jelas Aku merasa tidak suka sekali.

"Ayah, ayah male mini kerja?" tanyaku, aku duduk disampingnya

"Lah setiap malam juga Ayah kerja, Nak"

"Ayah kerja apa sih,kok nggak ada liburnya? Apa Ayah nggak capek?" tanyaku heran

"Yah kalo cape nanti kita makan dari mana, lah kalo cape nanti kamu biaya sekolah darimana. Sudah jangan mikirin soal kerjaan Ayah"

"Oh ia ayah, sebenarnya ayah kerja dimana sih?"

Ayah diam, kutatapi wajahnya. Ada sesuatu yang ia sembunyikan.

"Ayah jujur sama aku, sebenarnya ayah kerja dimana?"

"Arini, ayah pergi dulu. Sudah malam,nanti telat lagi Ayah"

Aku bingung. Tidak ada jawaban dari Ayah. Kenapa sih Ayah harus menutupi pekerjaannya dariku. Jelas-jelas aku anaknya,dan aku harus tahu. Kalaupun Ayah kerja sebagai buruhpun aku tak akan pernah malu. Aku bangga punya Ayah yang baik seperti itu. Aku benar-benar bingung kalau dibuat bertanya-tanya dalam hati.

Malamini fikiranku benar-benar kalut. Ejekan tentang Ayah sulit kuterima. Aku ingin membuktkan bahwa tidaklah seperti yang banyak tetangga aku bilang, bahwa Ayah bekerja sebagai karyawan disebuah pabrik atau sebagai wiraswata dipasar malam. Akhhh...tebakan yang tak beralasan.

Nekat,aku menuju kamar Ayah. Aku benar-benar ingin tahu kerjaan Ayah sebenarnya apa. Kali saja ada data-data yang memberitahukan tentang kerjaan Ayah. Aku tersenyum sesampainya didalam kamar, kulihat kamar tidak terkunci seperti biasanya. Aku masuk, pelan-pelan aku melihat kondisi kamar Ayah. Kamar yang tidak pernah aku lihat dalamnya selama ini. Tampak sepi,tak ada apapun.

Tangan nakalku mengusik,aku langsung membuka lemari dan...

Astaghfirullah

Air mataku menetes. Sesuatu yang kulihat benar-benar tak pernah kubayangkan. Aku langsung berlari. Dan mencari keyakinan hati. Hati belummeyakini apa sebenarnya yang aku lihat . kuharap ini benar-benar berbeda dengan apa yang aku fikirkan.

Aku langsung menuju rumah Ridwan. Kali ini aku benar-benar ingin tahu atasa dasar apa dia ngomong yang nggak-nggak tentang Ayah.

Sesampainya didepan rumahnya, aku benar-benar menampakan emosidan kekesalan bercampur air mata yang meleleh. Kulihat Ridwan tengah asik bermain kartu.

"Aku pengenngomong sama kamu" aku menarik tangan Ridwan, kufikir ini saatnya pembuktian

"Apa sih Ni, gue lagi males rebut. Lagi asik main neh"

"Sekarang kamu jawab sejujur-jujurnya, atas dasar apa kamu bilang ayah aku banci"

Ridwan tertawa.

"Kamu jawab! Aku butuh kejujuran kamu. Apa selama ini kamu fikir nggak sakit hatiselalu kamu ejek begitu. Setiap malam aku kepikiran tau nggak. Menerka-nerka, bahkan Ayah sendiripun aku curigai"

Ridwan diam, kulihat ada keraguan.

"Awalnya aku cuma iseng ledekin kamu aja. Tapi sebenarnya apa yang aku omongin juga beralasan. Ibuku tahu kalauayah kami itu banci, yang suka mangkal dimalam hari"

"Kamu jangan asalnuduh"

"Iya itu ibuku yang bilang,aku juga pernah lihat ayahmu pake rok terus lipstick merah,dia berdiri dijalan simpang. Kalo nggak salah jam dua belasan, aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Waktu itu aku baru pulang dari rumah Fajar"

"Kamu jangan bohong!"

"Sumpah! Tapi kalo nggak percaya yah terserah"

Ada saatnya Ridwan bisa diajak kompromi. Namun sulit sekali bagiku untuk membuktikan ucapannya.

Malam semakinlarut. Jam sudah menunjukanpukul setengah dua belas malam. Aku memberanikan diri, untuk duduk diwarung yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat mangkal para waria penjaja sexs. Kufikir ini hal konyol yang aku lakuin. Aku berharap tak melihat ayah mala mini, bukti bahwa keberadaan cerita itu bohong. Dengan ditemani tangisan, aku melihat kehidupan suram mala mini.kufikir hanya para perempuan saja yang menjajakan dirinya, ternyata ada juga. Kadang otak kecilku berfikir tentang keanehan ini.

Aku menunggu, beberapa kali kulihat waria itu melintasi jalanan.

"Neng, udah malem bukannya pulang" suara salah seorang waria yang melintas

"Nggak, pengen duduk-duduk aja" jawabku polos

"Mau belajar jadi kayak kita-kita yah, salah tempat. Ini khusus para waria mangkal,bukan abg simpenan om-om"

"Mulut kalian tuh kaya nggak disekolahin, siapa juga yang mau jual diri. Ikh..." aku melengos kesal,aneh-aneh aja

Setelah dua orang yang menyebalkan itu pergi, aku melihat satu sosok yang sedikit kucurihai. Ia mengenakan baju merah, guratan wajahnya kukenal. Aku memberanikan diri untuk mendekat. Perlahan kulihat seksama, ia tidak menyadari kehadiranku. Dan seketika saling bertatapan...

"Ayah!" aku menangis sejadinya. Hatiku hancur tidak karuan, aku benar-benar kalau apa yang diceritakan orang sesungguhnya adalah fakta

"Arini"

Suasana tempat menjadi ricuh. Beberapa orang memperhatikanku. Aku langsung lari dan dikejar Ayah. Ayah? Rasanya sulit untukmenyebut kata itulagi.bagaimana bisa seorang ayah yang kuanggap laki-laki sejati ternyata...

"Arini, tunggu ayah!"

Aku menghentikan langkah, isak tangisku terdengar begitu keras.

"Aku fikir apayang dibilang semuaorang itu bohong, dan kenyataanya benar kan.ayah itu banci"

Ayah menangis, iba menghampiriku

"Maafin ayah nak,ayah terpaksa melakukan ini.ini semua demikamu"

"Ayah bilang ayah kerja halal, apaini yang dinamakan halal. Jadi selama ini makanan yang akumakan dari kerjaan sepeerti ini.aku nggak nyangka ayah seperti itu"

Semenjak kejadian itu, aku menutup diri didalam kamar. Bahkan aku memutuskan untuk tinggal bersama bibi sejenak melepas kepenatan hati. Dan sampai beberapa hari aku tidak mau bicara sama ayah.

Ayah...aku sayang ayah

Tapi bukan berarti dengan cara seperti ini ayah menyayangiku...

Kelak disaat kondisi hatiku sudah tenang. aku ingin berkata tentang apa yang aku rasakan,danapa yang aku inginkan.kuharap ayah mau mengerti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun