Mohon tunggu...
Saiful Falah
Saiful Falah Mohon Tunggu... -

Mencari berkah di pesantren

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menyoal Negara Islam

15 November 2014   16:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:45 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepuluh tahun masa kepemimpinan Umar penuh dengan kemenangan. Wilayah kekuasaan Islam sudah terbentang dari Madinah sampai ke Syam. Kekuasaan Imperium Persia dan Romawi dapat digerus. Amirul Mukminin meninggalkan enam orang sahabat untuk bermusyawarah mengenai suksesi kepemimpinan. Mereka adalah Utsman bin Affan ra., Ali bin Abi Thalib ra., Thalhah bin ‘Ubaidillah ra, Az-Zubair bin Awwam ra, Sa’ad bin Abi Waqqash ra. Dan Abdur Rahman bin ‘Auf ra. Sebagai tambahan karena usulan dari para sahabat, nama Abdullah bin Umar di masukkan. Meski demikian Khalifah kedua yang terkenal tegas tersebut menyatakan bahwa putranya berada dalam majlis hanya sebagai conselor. Abdullah bin Umar ra tidak memiliki hak suara dan tidak berhak untuk menjadi kandidat pemimpin umat.

Proses pemilihan terjadi sangat ketat, dua calon mencuat menggunggil lainnya; Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Setelah bermusyawarah dengan internal majlis syura, bahkan sampai mewawancarai masyarakat Abdur Rahman bin Auf sebagai ketua tim memilih Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga.

Keunikan terjadi pada pemilihan khalifah keempat. Ali bin Abi Thalib ra dipilih setelah terjadi kekacauan. Khalifah ketiga Utsman bin Affan terbunuh dalam sebuah peristiwa makar. Khalifah yang sudha tua tersebut belum sempat menentukan penggantinya. Kekacauan sempat mendatangkan ketidak pastian. Dalam suasana yang penuh dengan curiga tersebut perwakilan dari kufah mendatangi menantu Rasul untuk membaiat. Ali bin Abi Thalib yang dikenal sebagai seorang alim menolak. Tapi desakan yang dating bertubi-tubi dan pertimbangan akan stabilitas umat meluluhkan hati beliau. Ali bin Abi Thalib dibaiat menjadi khalifah keempat.

Masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib penuh dengan fitnah. Perang saudara terjadi dua kali. Pertama perang Jamal yang melibatkan Ummul Mukminin Aisyah binti Abu Bakr. Selesai mengatasi perselisihan dengan Aisyah, Khalifah keempat harus langsung head to head dengan pasukan Muawiyah bin Abu Sofyan. Perang Shiffin merupakan peperangan yang paling banyak menguras tenaga umat Islam. Dampak perang Shiffin sangat besar. Darinya umat terpecah belah baik secara politis maupun aqidah. Secara politis ada dua kutub yang sama kuat, kelompok Kuffah dan kelompok Damaskus. Secara aqidah muncul sekte baru bernama Khawarij yang disusul dengan kemunculan kaum Syiah.

Wafatnya Ali bin Abi Thalib menandai berakhirnya masa khufala al-rasyidin. Setelah itu umat Islam berada dibawah komando dynasty Ummayyah yang dibentuk oleh Muawiyah bin Abi Sofyan. Sistem kepemimpinan tidak lagi berada di bawah wewenang majlis syuro atau umat islam. Kepemimpinan diturunkan dari orang tua ke anak atau dari saudara yang lebih tua kepada saudara yang muda. Sostem tersebut masih berlanjut ketika kekuasaan umat berada di tangan dynasty Abbasiyah. Kedua dynasty yang menyebut sebagai daulah islamiyah tersebut memberlakukan sistim waris kekuasaan.

Melihat fakta sejarah umat dari masa Rasul sampai ke zaman dynasty, terdapat banyak versi pola kepemimpinan. Rasul saw tidak mewariskan tahta dan jabatan. Padahal beliau memiliki seorang menantu yang pantas untuk menjadi penerus. Beliau memasrahkan sepenuhnya urusan kepemimpinan kepada umat. Para khalifah yang empat telah melakukan ijtihad terkait urusan kepemimpinan. Abu Bakr ra memilih langsung pengganti setelah bermusyawarah dengan beberapa orang sahabat. Umar bin Khattab ra menyerahkan urusan suksesi kepada majlis syuro yang berisikan enam orang sahabat utama. Utsman bin Affan tidak sempat memutuskan penggantinya. Keterpilihan Ali bin Abu Thalib karena permintaan dari sebagian umat yang kemudian diikuti oleh mayoritas. Sedangkan Muawwiyah bin Abu Sofyan menjadi pelopor system kerajaan dalam Islam. Dia mewariskan tahta kepada anaknya Yazid bin Muawiyah selayaknya raja Romawi atau Persia menyerahkan tahta kepada keturunannya.

Tidak ada system baku dalam urusan kepemimpinan. Daulah Islamiyah bukan merupakan tuntutan Al-Qur’an. Rasul saw belum pernah mewajibakan umat untuk membentuk system pemerintahan semacam itu. Adapun keberadaan Daulah Islamiyah di tengah umat merupakan produk sejarah.

Satu hal yang patut di garis bawahi dari permasalahan ini adalah esensi dari keberadaan sebuah daulah. Untuk apa dibentuk sebuah daulah? Apabila daulah dibentuk untuk menciptakan umat yang sejahtera di bawah bendera agama, maka harus dicari jalan yang aman untuk mewujudkannya. Tidaklah elok apabila sebuah harapan mensejahterakan umat, mengangkat harkat dan martabat agama, meninggikan asma Allah apabila dilakukan dengan cara yang kurang beradab. Pertumpahan darah, apalagi darah kawan seiman tentu tidak bisa ditolelir meski dengan dalih untuk kemaslahatan.

Kembali menyoal esensi, Al-Qur’an telah memberi petunjuk. Bahwa umat islam adalah umat terbaik adalah betul. Bahwa balasan bagi umat terbaik adalah keridhaan Sang Pencipta. Dan saat Sang Pencipta ridha maka yang terjadi adalah limpahan berkah baik berupa rezeki lahir maupun batin sehingga akan tercipta sebuah cita-cita luruh yang bernama Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.

Bagaimana petunjuk Al-Qur’an tentang umat terbaik itu?

“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” (QS. Ali Imran: 110)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun