Mohon tunggu...
Saiful Falah
Saiful Falah Mohon Tunggu... -

Mencari berkah di pesantren

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menyoal Negara Islam

15 November 2014   16:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:45 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim” [QS. Al-Maaidah: 45].

Setelah predikat dhalim bagi yang inkar terhadap hukum Allah, ada predikat fasik.

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” [QS. Al-Maaidah: 47].

Al-Qur’an tidak pernah menetapakan bahwa umat Islam harus membangun sebuah Negara yang spesifik dengan sebuatan Daulah Islamiyah. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat hanya memberi peringatan bahwa hukum Allah harus diikuti. Segala usaha yang dilakukan untuk membuat hukum sendiri hanya akan berbuah kerusakan dan kehancuran bagi umat manusia.

Sebagai sebuah gambaran menarik tentang sebuah keadaan yang sempurna bagi umat manusia, diterangkan Al-Qur’an. Negri Saba merupakan perumpamaan sebuah masyarakat yang gemah ripah repeh rapih. Saba memiliki sumber daya alam berupa dua kebuh yang memenuhi segala keperluan hidup. Negri yang sejahtera berkat rezeki dari Allah. Negri yang aman dan damai berkat perlindungan Allah. Negri yang tertib dan tenang berkat rahmat Allah.

“Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun” (QS. Saba: 15)

Istilah Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur menjadi brandmark sebuah negri impian. Rasulullah saw sebagai nabi terakhir telah dicatat oleh sejarah sebagai salah satu pemimpin yang mampu menciptakan keadaan masyakarat yang ideal. Beliau datang ke Madinah sebagai seorang tamu yang diundang. Menjadi pemimpin karena kehendak masyarakat. Memulai misi kenegaraan dengan jalan perdamaian. Piagam Madinah menjadi bukti otentik sikap negarawan Rasul. Setelah terjalin persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar.

Rasulullah saw wafat meninggalkan wilayah kekuasaan yang cukup luas. Umat Islam bukan hanya di Madinah dan Mekkah, tapi sudah menjalar ke Yaman dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan yang luas tersebut tidak menjadikan beliau risau. Rasul saw hanya menyebut “Umatku, umatku, umatku”. Beliau tidak menunjuk seorang pemimpin untuk menggantikan kedudukannya. Permasalahan kepemimpinan di serahkan sepenuhnya kepada umat.

Kembali sejarah mencatat sebuah proses pemilihan pemimpin yang belum pernah terjadi. Abu Bakr ra dipilih menjadi pengganti Rasul oleh majlis yang terdiri dari sebagian kaum Anshar dan tiga orang utusan Muhajirin. Ahlul Bait yang sedang dirundung pilu atas wafatnya junjungan ra, meski merasa dilangkahi tetap mengikuti kehendak umat. Fatimah ra beserta suaminya Ali ra mengakui Abu Bakr ra sebagai pemimpin.

Selepas kepemimpinan Abu Bakr ra, Umar bin Khattab tegak berdiri sebagai Amirul mukminin. Tidak ada pemilihan secara bersama, sang khalifah Abu Bakr ra hanya berkonsultasi kepada beberapa orang sahabat inti untuk memilih pengganti. Setelah berdiskusi, menjelang azalnya Abu Bakr ra memilih Umar bin Khattab ra sebagai pemimpin umat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun