"Bud, tolong ambilkan jatah daging qurban nenek di masjid. Ini kuponnya. Segera berangkat ya?" perintah nenek Budi.
"Baik, nek," kata Budi sambil memungut kupon dari Panitia Qurban Masjid Al Badar. Tiap tahun, dia mendapat kupon karena termasuk janda miskin.
Tahun ini, hewan qurbannya lebih banyak. Dua ekor sapi dan 12 kambing. Tahun lalu, hanya 8 kambing. "Makanya, yang nonton dan antre kok berjubel gini," keluh Budi dalam hati sambil mengusap keringat dengan ujung-bawah kaosnya.
Setelah menunggu tiga jam, Budi dapat menukarkan kupon dengan daging satu kilogram. Untuk keluar, dia harus menyibak-nyibak kerumunan orang yang membludak. Hanya ada satu pintu. Maka, masuk dan keluar pun melalui pintu yang sama. Akibatnya, dia terhimpit tubuhnya oleh antrean yang berjubel. "Aduh, perutku sakit! Tolong, kasih jalan! Saya tidak bisa keluar!" teriaknya di tengah lautan manusia siang itu.
Perjuangan Budi akhirnya membuahkan hasil. Dia bisa bernapas lega. Berulang kali dia seka keringat di mukanya. Dengan tersenyum, dia jinjing tas kresek hitam berisi daging itu. Langkah kakinya dia percepat untuk segera menyerahkan daging qurban itu kepada nenek.
Baru puluhan meter dia melangkah, matanya tertuju pada Ari, adik kelasnya. Perawakan siswa kelas III itu sangat kurus dan pendek. Hati Budi jadi sangat iba kepadanya. "Bagaimana dia bisa?" ucap Budi lirih sambil membayangkan kesulitan yang akan dihadapi Ari jika mau menukarkan kuponnya.
Budi menghentikan langkahnya penuh ragu. Dia sebenarnya ingin segera menyampaikan daging qurban ini kepada neneknya. Tapi, demi melihat Ari yang sangat mengiris hatinya, dia juga ingin sekali membantu Ari. Sejenak dia berhenti demi menyaksikan perjuangan Ari menembus antrean yang masih panjang dan berjubel.
Sementara itu, Ari hanya bengong saja di barisan paling belakang. Dia tidak bisa berbuat banyak ketika didesak oleh orang atau anak yang lebih besar. Baru saja dia memajukan langkahnya, sudah tidak mampu menahan desakan anak-anak di sekelilingnya yang rata-rata lebih besar. Maka, mau tidak mau dia terpinggir dan balik ke belakang lagi. Begitu terjadi berulang kali.
Dia dekati Ari, lalu berkata, "Kasihan sekali kamu, Ri. Begini saja. Kamu tukar kuponmu dengan daging ini. Biar aku antre lagi dan kamu langsung pulang ya?" usul Budi kepada Ari.
"Wah, terima kasih sekali, Mas Budi!" sambut Ari dengan tawa lebar. Dia pun berjingkrak-jingkrak membawa pulang daging qurban. Budi juga puas bisa menolong tetangganya itu. Beberapa saat dia tersenyum membayangkan kegembiraan Ari, ibu, bapak, dan kedua adiknya yang sedang asyik membuat tusuk sate. Lalu, mereka mengirisi daging qurban hasil antreannya dan dibakarnya menjadi sate. Dengan bumbu buatan ibu Ari, mereka pun menyantap sate daging qurban itu. Budi baru tersadar dari lamunannya ketika terdengar suara ramai di barisan depan.
"Panitia tidak becus! Masak, bagi-bagi daging qurban saja tidak bisa!" teriak salah seorang pembawa kupon sambil mengacung-acungkan kuponnya.
"Panitia Qurban tidak profesional!" teriak yang lain dengan nada lebih geram.
Karena suasana semakin ricuh, Haji Abdul Baidowi selaku Ketua Panitia Qurban Masjid Al Badar memegang mikrofon dan berbicara dengan nada penuh penyesalan. "Bapak-bapak, ibu-ibu, dan adik-adik pengantre daging qurban yang belum kebagian. Kami selaku Panitia Qurban Masjid Al Badar menyatakan prihatin yang amat mendalam atas kejadian yang menimpa Anda semua tahun ini. Sekaligus kami minta maaf dengan tulus atas kejadian yang sangat mengecewakan ini."
"Hu...!" koor kekecewaan dari mereka yang belum kebagian.
"Nah, sebagai rasa tanggung jawab kami selaku Panitia Qurban, maka kami berjanji akan memberikan uang santunan sebagai ganti daging qurban seberat satu kilogram."
"Kapan uang itu akan diberikan?!" tanya seorang dengan nada masih penuh emosi.
"Insya Allah nanti sore," jawab Haji Baidowi kalem penuh wibawa.
Budi dan mereka yang senasib itu pun harus rela pulang dengan tangan hampa. Meski Panitia telah meminta maaf dan berjanji akan mengganti dengan uang nanti sore, mereka masih kecewa. Bagi Budi sendiri, yang lebih mencemaskan hatinya adalah amarah nenek. Mau pulang, takut didamprat oleh neneknya karena telah lancang memberikan daging qurban neneknya kepada Ari. Kalau menunggu saat dibagikan uang santunan, tentu membuat nenek makin cemas terhadap dirinya.
Budi benar-benar terjepit hatinya oleh dua pilihan yang sangat tidak mengenakkan itu, baik untuk dirinya maupun neneknya. Tapi, akhirnya Budi bertekad akan menjelaskan sejujurnya kepada nenek. Maka, dengan diiringi rasa penyesalan yang dalam, Budi menceritakan semuanya sampai berakibat nenek tidak kebagian daging qurban. "Begitulah, nek. Budi mohon nenek sudi memaaf ya?," pintanya memelas sambil berurai air mata dan tak berani menatap neneknya yang galak itu.
"Benar begitu kejadiannya?!" Nenek bertanya penuh nada tak percaya karena memang Budi sering membohonginya demi menyelamatkan diri dari amarahnya.
"Benar, nek. Saya tidak bohong," kata Budi bersungguh-sungguh.
"Nenek masih belum percaya kepadamu! Maka, panggil temanmu Ari ke sini sekarang juga!"
"Baik, nek," jawab Budi tanpa berani menatap muka neneknya yang sedang marah itu.
Beberapa saat kemudian, Budi kembali ke neneknya dengan Ari. Bahkan, Ari membawa serta seluruh anggota keluarganya. Itu semua permintaan Budi demi meyakinkan neneknya.
Secara spontan, ibunya Ari langsung sungkem kepada nenek Budi. Seraya berkata, "Terima kasih, atas kebaikan Nak Budi, cucu Nenek. Kalau tidak, kami sekeluarga pagi dan siang tadi tak dapat makan daging qurban yang setiap tahun begitu didambakan oleh anak-anak kami yang masih kecil-kecil ini."
"Benar, Nek Khodijah," kata ayah Ari. "Kami senang sekali atas pertolongan Nak Budi kepada Ari sehingga kami sekeluarga bisa makan daging qurban walaupun setahun sekali," lanjutnya.
Nenek Budi berdiam sejenak. Lalu, berlinang air mata. Kemudian, dia berkata kepada Budi, "Kalau memang benar begini, nenek ikhlas. Bahkan, nenek bangga punya cucu Budi yang sudah mau berubah menjadi anak baik."
"Jadi, nenek tidak marah?!" kata Budi terperanjat.
Neneknya hanya menganggukkan kepala. Tapi, setelah itu wajahnya berubah serius seraya berkata, "Tapi, awas! Nenek akan marah besar jika kamu bohong seperti kebiasaanmu di kota! Ingat, kamu dititipkan ayahmu di desa ini gara-gara kamu suka bohong. Sekali lagi, ingat itu!"
Budi tidak berani menghadapkan muka neneknya kalau mengungkit-ungkit kenakalannya. Dia memang sedang menjalani hukuman pengasingan di rumah nenek akibat tidak naik kelas dan sering membohongi ayah ibunya. Sudah tak berbilang dia berani mengganti nilai ulangan dengan pulpen merah semasa sekolah di kota. Kedua orang tua tahunya dia sering mendapat nilai 8. Padahal, aslinya 3.
"Sudahlah, Bud. Jangan murung terus," rayu neneknya melihat Budi jadi sedih atas ancamannya. "Sebagai hadiah atas kejujuran dan kebaikanmu berkorban demi keluarganya Ari yang lebih membutuhkan, maka uang yang dijanjikan Panitia Qurban itu kamu pakai saja untuk beli sate kambing. Itu makanan kesukaanmu, kan?" hibur neneknya yang sudah mulai melihat perubahan sikap sang cucu menuju kejujuran kalbu.
"Terima kasih sekali, nek!" kata Budi sambil spontan memeluk erat tubuh ibu dari ayahnya itu, "Saya berjanji akan menemani nenek di desa ini selamanya," lanjutnya.
"Benar cucuku?!" tanya neneknya terheran-heran. Budi hanya mengangguk-angguk di pundak neneknya. Kali ini, keduanya berpelukan amat erat teriring uraian air mata bahagia. Mereka berdua lupa kalau masih punya tamu, yaitu Ari lengkap dengan keluarganya, yang juga turut meneteskan air mata bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H