"Baik, nek," jawab Budi tanpa berani menatap muka neneknya yang sedang marah itu.
Beberapa saat kemudian, Budi kembali ke neneknya dengan Ari. Bahkan, Ari membawa serta seluruh anggota keluarganya. Itu semua permintaan Budi demi meyakinkan neneknya.
Secara spontan, ibunya Ari langsung sungkem kepada nenek Budi. Seraya berkata, "Terima kasih, atas kebaikan Nak Budi, cucu Nenek. Kalau tidak, kami sekeluarga pagi dan siang tadi tak dapat makan daging qurban yang setiap tahun begitu didambakan oleh anak-anak kami yang masih kecil-kecil ini."
"Benar, Nek Khodijah," kata ayah Ari. "Kami senang sekali atas pertolongan Nak Budi kepada Ari sehingga kami sekeluarga bisa makan daging qurban walaupun setahun sekali," lanjutnya.
Nenek Budi berdiam sejenak. Lalu, berlinang air mata. Kemudian, dia berkata kepada Budi, "Kalau memang benar begini, nenek ikhlas. Bahkan, nenek bangga punya cucu Budi yang sudah mau berubah menjadi anak baik."
"Jadi, nenek tidak marah?!" kata Budi terperanjat.
Neneknya hanya menganggukkan kepala. Tapi, setelah itu wajahnya berubah serius seraya berkata, "Tapi, awas! Nenek akan marah besar jika kamu bohong seperti kebiasaanmu di kota! Ingat, kamu dititipkan ayahmu di desa ini gara-gara kamu suka bohong. Sekali lagi, ingat itu!"
Budi tidak berani menghadapkan muka neneknya kalau mengungkit-ungkit kenakalannya. Dia memang sedang menjalani hukuman pengasingan di rumah nenek akibat tidak naik kelas dan sering membohongi ayah ibunya. Sudah tak berbilang dia berani mengganti nilai ulangan dengan pulpen merah semasa sekolah di kota. Kedua orang tua tahunya dia sering mendapat nilai 8. Padahal, aslinya 3.
"Sudahlah, Bud. Jangan murung terus," rayu neneknya melihat Budi jadi sedih atas ancamannya. "Sebagai hadiah atas kejujuran dan kebaikanmu berkorban demi keluarganya Ari yang lebih membutuhkan, maka uang yang dijanjikan Panitia Qurban itu kamu pakai saja untuk beli sate kambing. Itu makanan kesukaanmu, kan?" hibur neneknya yang sudah mulai melihat perubahan sikap sang cucu menuju kejujuran kalbu.
"Terima kasih sekali, nek!" kata Budi sambil spontan memeluk erat tubuh ibu dari ayahnya itu, "Saya berjanji akan menemani nenek di desa ini selamanya," lanjutnya.
"Benar cucuku?!" tanya neneknya terheran-heran. Budi hanya mengangguk-angguk di pundak neneknya. Kali ini, keduanya berpelukan amat erat teriring uraian air mata bahagia. Mereka berdua lupa kalau masih punya tamu, yaitu Ari lengkap dengan keluarganya, yang juga turut meneteskan air mata bahagia.