"Siapa juaranya? Ajeng lagi kan? Itu bukan kejutan, tapi langganan, Bu!" protes Dirman setengah tak sabar menanti pengumuman juara kelasnya.
"Bukan. Ajeng tadi kan sudah dapat juara II. Bagaimana Mbah Dirman ini, sudah pikun ya?" ledek Bu Umi sambil senyum simpul yang segera disambut tawa membahana di ruang kelas V. Dirman memang terkenal pelupa. Perkalian di atas angka 8 saja dia masih kedodoran.
Setelah tawa mereka reda, baru Bu Umi meneruskan, "Begini. Ibu tidak akan mengumumkan juara kelas saat ini karena Ibu ingin sekali sang teladan kelas kita itu nanti akan diumumkan sebagai siswa teladan sekolah nanti. Jadi, sabar ya?"
"Yah ...!" keluh seluruh warga kelas V. Tapi, bukan Bu Umi kalau tidak dapat mengubah suasana menjadi ger lagi. Guru favorit di SD Kampung Dalem itu langsung memberikan beberapa bingkisan untuk siswa yang tak terlupakan karena keunikannya. Didit, misalnya, dinobatkan sebagai "Mr. Gendut" karena tubuhnya super tambum. Ana Miss "Cengeng" karena sering menangis. Dirman "Profesor Pelupa" sebab sering lupa bawa peralatan sekolah, apalagi perkalian. Sinta "Miss Ceking" lantaran tubuhnya yang terkecil akibat tak mau sarapan. Masih banyak gelar unik lainnya.
Suasana jadi ger-geran di ruang kelas V. Tak terasa waktu pengumuman juara siswa teladan akan segera dimulai di lapangan sekolah. Mereka pun diminta Bu Umi ke tempat yang biasa dipakai upacara.
Dari tadi, hanya Bagus yang senyumnya tak selebar teman-temannya. Hatinya dag dig dug bukan kepalang. Langkah kakinya agak goyah karena ketegangan yang berkecamuk di pikirannya. Dia memang dia sudah lama mengincar gelar itu. Selama ini di rapornya selalu berada di peringkat ke-4 saja.
Jantungnya makin berdegub kencang ketika melihat piala setinggi satu meter digotong dua orang petugas TU ke meja di tengah arena upacara. Kedua tangannya mencengkeram kuat seolah dia sedang membawa piala itu. Napasnya makin tersengal ketika suasana hening menanti bibir kepala sekolah menyuarakan siswa teladan sekolah.
"Tahun ini, memang penuh kejutan untuk siswa teladan sekolah kita. Maka, dengan bangga, saya umumkan bahwa yang berhak menyandang gelar tersebut adalah ...," Pak Komarudin membetulkan letak kaca matanya, sementara para siswa harap-harap cemas. "Ananda Bagus Setiawan dari kelas V!" lanjutnya.
Bagus yang sejak tadi tegang bukan kepalang, kini mengepalkan kedua tangannya ke atas seiring dengan gemuruh tepuk tangan dan jeritan gembira kelas yang diampu Bu Umi. Dia maju seperti layaknya atlet peraih medali emas. Mulutnya terbuka lebar. Raut mukanya bersinar. Langkah kakinya bagai tentara yang maju tak gentar ke medan perang.
Benar kata Bu Umi. Memang ada kejutan dan Baguslah kejutan itu. Dia menerima dua piala sekaligus. Satu tropi sebagai juara kelas V. Yang satunya piala sebagai siswa teladan SDN Kampung Dalem. Bagus dengan senyum dan tangan melebar menerima piala dari kepala sekolah. Gegap gempita tepuk tangan dan sorak sorai seluruh warga sekolah menyambutnya. Jepretan wartawan mading sekolah pun turut memeriahkan suasana akhir tahun ajaran itu. Pulangnya, Bagus diarak oleh teman-temannya dengan naik becak. Lima belas becak mereka sewa menuju kediaman Bagus.
Malamnya, Bagus bermimpi bertemu dengan arwah eyang kakungnya bernama Kiai Luhur Wasis. Bagus dimarahi eyangnya karena dia berbuat curang dalam ulangan harian, ulangan semesteran, maupun ujian kenaikan kelas. Dia selalu mencontek pekerjaan Ajeng yang duduk di bangku depannya. "Pokoknya, esok pagi, kauharus mengembalikan semua penghargaan itu! Satu lagi, kaujuga harus akui kesalahanmu sekaligus minta maaf pada Bapak dan Ibu Guru!"