Suasana SDN Kampung Dalem pagi itu sangat meriah. Tiap wali kelas dibantu tiga siswa sibuk membawa enam bingkisan plus satu piala dari kantor menuju kelas masing-masing. Bingkisan berbungkus kertas kuning keemasan itu diletakkan di meja guru. Letaknya diurutkan dari yang paling tipis. Di sisi paling kanan, bertengger piala setinggi sekitar 25 cm.
Meski peristiwa yang sama telah berlangsung tiga tahun berturut-turut, tetap saja suasananya mendebarkan hati siswa. Mereka berharap-harap cemas namanya disebut meski cuma di urutan keenam. Penghargaan siswa teladan tahunan itu memang bergengsi di sekolah yang terletak di jantung kota Tulungagung itu. Bergengsi karena penilaiannya dimulai sejak masuk tahun ajaran baru. Yang dinilai pun tidak hanya prestasi bidang studi. Kedisiplinan, tingkah laku, sopan santun, dan pengamalan agama juga dijadikan tolok ukur. Maka, menjadi siswa teladan berarti memang benar-benar patut diteladani. Tidak hanya itu. Sang juara kelas akan diseleksi lagi menjadi siswa teladan sekolah. Pengumumannya di lapangan sekolah sekitar pukul 9.00.
"Selamat pagi, Ananda tercinta," sapa wali kelas V ramah.
"Selamat pagi, Bu," jawab ketiga puluh lima siswa serempak.
"Bagaimana, sudah tak sabar menunggu pengumuman?"
"Ya . . . !" jawaban seluruh siswa kelas V makin kompak dan tinggi nadanya.
Bu Umi hanya tersenyum melihat anak didiknya tegang. Lalu, dia membuka map berhias batik coklat. Satu per satu disebutkan nama sang teladan. Mulai juara III dan juara II. Yang dipanggil pun dengan gagah dan percaya diri tampil ke depan kelas. Mereka berjajar dari selatan ke utara. Diawali Harianto dan terakhir Ajeng.
"Kini, tibalah saatnya Ibu akan mengumumkan sang teladan kelas kita tahun ini. Siapa dia?! Kita tunggu setelah pesan-pesan berikut ini ...," kata Bu Umi.
"Yah, seperti di iklan televisi saja, Bu, Bu!" sungut Endro yang pemarah.
"Cepat diumumkanlah, Bu! Siapa tahu itu saya!" teriak Toni yang ambisius. Padahal, nilainya biasa-biasa saja. Tak ayal, sikap Toni disambut koor "Hu ...!" dari teman sekelasnya.
"Baiklah. Juara tahun ini, menurut Ibu, sangat mengejutkan." Para siswa saling pandang demi mendengarnya.
"Siapa juaranya? Ajeng lagi kan? Itu bukan kejutan, tapi langganan, Bu!" protes Dirman setengah tak sabar menanti pengumuman juara kelasnya.
"Bukan. Ajeng tadi kan sudah dapat juara II. Bagaimana Mbah Dirman ini, sudah pikun ya?" ledek Bu Umi sambil senyum simpul yang segera disambut tawa membahana di ruang kelas V. Dirman memang terkenal pelupa. Perkalian di atas angka 8 saja dia masih kedodoran.
Setelah tawa mereka reda, baru Bu Umi meneruskan, "Begini. Ibu tidak akan mengumumkan juara kelas saat ini karena Ibu ingin sekali sang teladan kelas kita itu nanti akan diumumkan sebagai siswa teladan sekolah nanti. Jadi, sabar ya?"
"Yah ...!" keluh seluruh warga kelas V. Tapi, bukan Bu Umi kalau tidak dapat mengubah suasana menjadi ger lagi. Guru favorit di SD Kampung Dalem itu langsung memberikan beberapa bingkisan untuk siswa yang tak terlupakan karena keunikannya. Didit, misalnya, dinobatkan sebagai "Mr. Gendut" karena tubuhnya super tambum. Ana Miss "Cengeng" karena sering menangis. Dirman "Profesor Pelupa" sebab sering lupa bawa peralatan sekolah, apalagi perkalian. Sinta "Miss Ceking" lantaran tubuhnya yang terkecil akibat tak mau sarapan. Masih banyak gelar unik lainnya.
Suasana jadi ger-geran di ruang kelas V. Tak terasa waktu pengumuman juara siswa teladan akan segera dimulai di lapangan sekolah. Mereka pun diminta Bu Umi ke tempat yang biasa dipakai upacara.
Dari tadi, hanya Bagus yang senyumnya tak selebar teman-temannya. Hatinya dag dig dug bukan kepalang. Langkah kakinya agak goyah karena ketegangan yang berkecamuk di pikirannya. Dia memang dia sudah lama mengincar gelar itu. Selama ini di rapornya selalu berada di peringkat ke-4 saja.
Jantungnya makin berdegub kencang ketika melihat piala setinggi satu meter digotong dua orang petugas TU ke meja di tengah arena upacara. Kedua tangannya mencengkeram kuat seolah dia sedang membawa piala itu. Napasnya makin tersengal ketika suasana hening menanti bibir kepala sekolah menyuarakan siswa teladan sekolah.
"Tahun ini, memang penuh kejutan untuk siswa teladan sekolah kita. Maka, dengan bangga, saya umumkan bahwa yang berhak menyandang gelar tersebut adalah ...," Pak Komarudin membetulkan letak kaca matanya, sementara para siswa harap-harap cemas. "Ananda Bagus Setiawan dari kelas V!" lanjutnya.
Bagus yang sejak tadi tegang bukan kepalang, kini mengepalkan kedua tangannya ke atas seiring dengan gemuruh tepuk tangan dan jeritan gembira kelas yang diampu Bu Umi. Dia maju seperti layaknya atlet peraih medali emas. Mulutnya terbuka lebar. Raut mukanya bersinar. Langkah kakinya bagai tentara yang maju tak gentar ke medan perang.
Benar kata Bu Umi. Memang ada kejutan dan Baguslah kejutan itu. Dia menerima dua piala sekaligus. Satu tropi sebagai juara kelas V. Yang satunya piala sebagai siswa teladan SDN Kampung Dalem. Bagus dengan senyum dan tangan melebar menerima piala dari kepala sekolah. Gegap gempita tepuk tangan dan sorak sorai seluruh warga sekolah menyambutnya. Jepretan wartawan mading sekolah pun turut memeriahkan suasana akhir tahun ajaran itu. Pulangnya, Bagus diarak oleh teman-temannya dengan naik becak. Lima belas becak mereka sewa menuju kediaman Bagus.
Malamnya, Bagus bermimpi bertemu dengan arwah eyang kakungnya bernama Kiai Luhur Wasis. Bagus dimarahi eyangnya karena dia berbuat curang dalam ulangan harian, ulangan semesteran, maupun ujian kenaikan kelas. Dia selalu mencontek pekerjaan Ajeng yang duduk di bangku depannya. "Pokoknya, esok pagi, kauharus mengembalikan semua penghargaan itu! Satu lagi, kaujuga harus akui kesalahanmu sekaligus minta maaf pada Bapak dan Ibu Guru!"
Bagus pun terjaga akibat mimpi itu. Dia bingung. Sampai kumandang subuh terdengar, dia masih kebingungan dan tidak dapat tidur lagi. Dia bergegas ke kamar mandi. Dia merasa segar kembali setelah mandi, berwudu, dan salat subuh.
Esoknya, Bagus membuat pengakuan, mengembalikan semua penghargaan, bahkan dia berkata, "Saya pun rela jika tidak naik kelas akibat kecurangan saya," katanya merendah sampai berkaca-kaca matanya. Kelas Bagus ramai, gempar, dan tak terkendali akibat makian teman-temannya. Sampai-sampai kepala sekolah masuk dan menenangkannya. Setelah berbincang dengan Bu Umi, Pak Komarudin berkata penuh wibawa, "Bagus memang salah dan pantas diberi hukuman! Maka semua penghargaan kami cabut!"
"Betul itu, Pak!" teriak teman-teman yang membenci kecurangan Bagus.
"Tapi, Bapak juga menghargai kejujurannya, maka saya putuskan Bagus tetap naik kelas meski dengan peringkat terbawah di kelas ini. Sekian."
Bagus lega menerima putusan itu. Dia pun menyalami dan mencium tangan Bu Umi dan Pak Komar meski matanya masih bersimbah air mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H