Tiba-tiba, pria necis itu menarik pistol. Dan "Jub! Jub! Jub!" Tiga peluru melesat menerjang jidat, mata kanan, dan dada orang yang dimurkainya itu. Dia keluar dari ruang serba putih itu sambil mengacungkan secarik kertas lecek dan dengan muka merah padam bergumpal amarah, dia berteriak dan tertawa bangga, "Aku gila! Aku gila ...! Ha!, ha!, ha ...!"
Kertas itu baru saja diterimanya dari korban sebelum almarhum. Tak ada tanda aneh saat korban menyerahkannya. Bahkan, dokter spesialis kedokteran jiwa itu memberikannya dengan sopan, "Pak Seno, ini hasil pemeriksaan jiwa Anda."
"Terima kasih, Dok," kata Suseno tersungging. Segera dibukanya amplop dan dibaca. Tiba-tiba, rautnya memendam geram. Giginya gemeretakan. Bibirnya mengatup rapat. Surat Keterangan Dokter itu diremas keras di kepalan tangan kirinya. Sedang, tangan kanannya spontan menarik pistol dan menodongkan ke muka sang dokter. Anehnya, orang yang dimurkai itu malah tertawa. Maka, terjadilah pembunuhan itu. Sadis!
*****
"Ini berita baru. Ini baru berita! Seorang caleg tembak mati dokter ahli jiwa!" Teriakan loper koran itu bak kaset berputar saat menjajakan headline news hari itu. Tak sampai satu jam, semua terjual habis.
Masyarakat gempar. Apalagi, warga desa tempat tinggal pelaku.
"Tak mungkin Pak Seno melakukan ini!," kata Kang Narto ketus.
"Iya. Bohong berita ini!," timpal Kang Parman geram.
"Mustahil ini!," sergah Kang Jamal sambil meremas koran di pos kamling siang itu. Mereka adalah tetangga Pak Seno.
Apapun sikap warga desa, tak dapat mengubah fakta saat ini. Panutan mereka ditahan di Polresta Kediri. Sudah 7 hari tokoh desa itu mendekam di balik terali besi.
*****
Hampir semua stasiun televisi lokal maupun nasional, bahkan CNN dari Amerika Serikat, radio BBC London, dan radio ABC Australia meliputnya. Mereka jauh-jauh ke Kota Tahu itu demi liputan kasus politis yang langka itu.
"Selamat siang, Pak Seno," sapa reporter televisi di ruang pemeriksaan.
"Siang. Wah, terima kasih kalian telah bersusah payah menyebarluaskan kegilaan saya," jawab Pak Seno tersenyum bangga di bawah kilatan cahaya blitz tustel digital serta benderang lampu kamera televisi.
"Ada masalah apa sebelumnya dengan korban?"
"Ndak ada. Ketemu pun kali itu."
"Lalu, kenapa Bapak sampai tega membunuhnya?"
"Saya tega?! Justru dia yang tega! Masak saya dikatakan gila?! Ya, saya jelas tersinggung sekali! Maka, saya langsung menembakinya sampai tiga kali dan mampuslah dia!," katanya ketus dan bersungut-sungut.
"Jadi, Bapak sebenarnya waras?"
"La kalau sekarang, saya jelas gila to. Kan saya harus hormat kepada dokter yang keblinger itu. Saya harus taat hukum. Kalau saya sudah divonis tak sehat rohani, berarti saya gila. Gitu lo!" Pak Seno berkata berapi-api.
Sunyi sejenak. Lalu, muncul pertanyaan dari salah seorang pemburu berita. "Berarti Bapak cuma gila yuridis?"
"Apa bedanya? Mau gila beneran atau yuridis, yang jelas vonis dokter menyatakan saya gila. Titik!"
"Kalau dites dokter yang lain, Bapak mau?"
"Buat apa?"
"Barangkali nanti hasilnya berlawanan. Kan Bapak gembira?"
"Justru saya lebih sedih to, karena harus dipenjara. Lebih baik divonis gila. Paling-paling saya dirawat di RSJ."
"Jadi, Bapak lebih senang dicap gila?"
"Tentu."
"Kalau begitu, pencalonan Bapak sebagai caleg bisa gagal lo!"
"Sudah, sudah. Saya tak mau ditanyai orang cerewet seperti kalian," kata Pak Seno yang langsung bergegas ke tahanan. Para wartawan makin penasaran dan kecewa.
Di ruangan 4 meter X 4 meter itu, Pak Seno kembali tertawa ngakak. Tak ada yang tahu penyebab perubahan perilakunya yang sangat drastis. Rahasia itu memang hanya milik Pak Seno, Tuhan, dan ....
***
Kasus caleg gila benar-benar fenomenal. Bahkan, itu sudah sejak awal sudah sampai di telinga dr. Rudi Susetyo, Sp.K.J. Dia sangat berkepentingan atas kasus itu. Berangkatlah dia dari Jakarta ke Kota Kediri dengan rasa sedih dan gundah gulana.
Sesampai di Kediri, dia langsung ke TKP. Dia tak dapat lagi menahan tangisnya yang sejak tadi sudah mau lepas dari kerongkongannya. Meski begitu, dia mulai melacak keganjilan di situ. Berjam-jam dia selidiki dengan saksama dan berulang-ulang, tapi hasilnya nihil. Nalar dan analisisnya sebagai profesional di bidang psikiatri forensik belum mampu menguak rahasia kematian Budi-nya itu.
Lalu, dia menuju ke Polresta Kediri. Dia wawancarai penyidik, menyaksikan foto korban, foto pelaku, dan barang bukti lainnya. Namun, semua itu dari kaca mata keahliannya tak berarti sedikit pun. Semua datar saja. Makin keras otaknya berpikir, makin panjang kedataran informasi yang dia peroleh. Makin jeli matanya mengamati bukti yang tersaji, makin terbentang luas dataran penuh misteri.
Dia tak putus asa. Dia lanjutkan penyidikan ke teman dekat korban, tetangga, dan orang-orang yang terakhir ditemui korban. Lagi-lagi, yang dia dapat hanya nol besar. Tak ada satu pun yang layak untuk mengungkap kasus ini. Bahkan, ketika menelusuri tetangga dan keluarga Pak Seno, yang dia dapat malah pujian kebaikan hati dan nilai plus kepribadian tersangka. Penyelidikannya malah terkabur dan terkubur kebaikan Pak Seno kepada warga desanya.
"Benar-benar aneh! Padahal, mestinya ada yang salah," keluhnya setengah mati dalam hatinya. Dia makin frustrasi.
"Maafkan aku, dik. Aku masih gagal. Tapi, aku akan terus menguak kasusmu ini. Percayalah kebenaran pasti terungkap," kata Rudi sambil memegang nisan makam Budi. Dengan gontai, dia tinggalkan TPU itu. Dia harus balik ke Jakarta karena ujian tesis doktornya sudah di ambang pintu.
Selama perjalanan ke Jakarta, dia menyusun dan menghimpun kekuatan untuk mengungkap kasus besar itu. Dia bahkan rela jika harus mengemis kepada guru-guru besar pembimbingnya di Universitas Indonesia demi terbongkarnya kasus itu.
Sekali lagi, terbukti bahwa rahasia pembunuhan itu memang milik Pak Seno sendiri, Tuhan, dan ....
***
Siang itu, mentari menampakkan tajinya. Siapa pun pasti bermandi peluh bila ikut kampanye. Sebab, harus berteriak keras-keras untuk mendukung partai dan caleg jagoannya, bergoyang geboi bila tiba hiburan musik dangdut.
Suasana seperti itulah yang sedang berlangsung di lapangan Desa Ringin Anom. Di kerumunan ribuan orang itu, ada satu yang dielu-elukan. Sarjito namanya. Tubuh tegap. Kulit sawo matang kehitaman. Kumis tebal melintang di atas bibir yang juga tebal. Gelang akar warna hitam melingkar di pergelangan tangan kana. Akik berwarna merah jambu merah delima menghiasi jari manis kanan dan kiri.
Pidato Sarjito dibuka dengan yel-yel kebesaran partainya. Setelah itu, dia uraikan janji-janjinya bila menjadi anggota DPRD Kabupaten Kediri. Di akhir pidato, dia mencopot kacamata hitamnya. Dengan mata berkaca-kaca, dia berkata sendu, "Saudara-saudaraku, kita sangat prihatin dengan musibah yang menimpa Bapak Suseno Mangku Kusumo. Kenal Pak Seno?" Sarjito menyodorkan mik kepada massa di bawah panggung.
"Kenal ...!" jawab massa serempak.
"Kejadian itu dipicu ketersinggungan beliau karena dianggap gila oleh dokter sehingga ...."
Kata-kata Sarjito terputus oleh riuhnya suara kekecewaan warga kepada dokter ahli jiwa. "Hu ...!"
Setelah agak tenang, dia melanjutkan, "Sehingga, beliau tak dapat melanjutkan lagi proses pencalegan. Padahal, partai pasti menempatkan sebagai caleg nomor satu karena kharisma beliau. Maka, untuk menggantikan beliau, partai menunjuk saya. Anda setuju?"
"Setuju ...!" suara koor membahana lagi.
"Maka, sebagai rasa simpati kepada Pak Seno, marilah kita doakan semoga masalahnya segera tuntas dan keluarganya diberi kekuatan lahir dan batin dalam menghadapi cobaan ini."
"Amin...!" seru simpatisan partai.
Pulang dari lapangan, Sarjito dikawal 6 body guard pilihan. Di kamar pribadi, dia menebar senyum kemenangan. Dengan tatapan kebencian di depan cermin, dia berkata, "Huh, rasakan siksaan penjara, Seno! Beraninya kaulawan Sarjito!" Lalu, diisapnya dalam-dalam Gudang Garam seolah-olah dia sedang mengisap tubuh Seno bulat-bulat ke dalam tubuhnya yang kekar nan sangar.
***
Siang itu, Pak Seno tak bisa tidur nyenyak. Orang di sekitarnya aneh-aneh. Ada yang terbahak-bahak. Menangis tanpa sebab. Ada yang diam mematung. Pak Seno baru sehari di RSJ untuk uji kesehatan jiwa oleh ahli psikiatri forensik.
Hari kedua di sore hari, Pak Seno mulai diperiksa.
"Selamat sore, Pak Seno."
"Sore," jawabnya sekenanya.
Tanya jawab selanjutnya berlangsung kurang kondusif. Dokter jengkel akibat Pak Seno menjawab berbelit-belit. Sedang, Pak Seno amat muak terhadap dokter berbaju putih. Puncaknya adalah Pak Seno naik pitam, "Sudahlah, Dok! Buat apa nanyai saya terus. Putuskan saja saya gila. Kan beres!"
"Jadi, Pak Seno mau disebut orang gila?"
"Ya terserah orang bilang apa. Mau gila atau ndak!"
Dokter itu pun langsung beranjak pergi karena menganggap sia-sia memeriksa pasien yang kondisinya labil. Lebih baik dia serahkan kepada rekannya.
Suatu malam di hari ketiga, Pak Seno diperiksa lagi. Kali ini ada kawalan yang ketat dari dua polisi di dalam ruang pemeriksaan. Di luar, juga ada dua polisi.
"Selamat malam, Pak Seno," sapa dokter kedua.
"Malam," jawabnya tanpa memandang wajah dokter yang sudah duduk di hadapannya. Dia memiringkan kepalanya di atas meja. Ngantuk.
"Pak Seno pasti ingat saya."
"Ah, kamu mengada-ada! Baru satu dokter ahli jiwa yang kukenal. Itu pun langsung kutembak karena menganggapku gila," kata Pak Seno sambil menguap.
"Pak Seno kenal dengan dokter yang Bapak bunuh itu?"
"Tentu. Namanya dr. Budi Susetyo, Sp.K.J."
"Itu saya kan, Pak Seno?" kata dokter dengan suara mantap dan berat.
Pertanyaan penuh misteri itu membuat Pak Seno mau mengangkat kepala dan menatap wajah sang dokter. Betapa terkejutnya dia! Tubuhnya langsung menegak ke belakang yang menyebabkan kursi yang didudukinya hampir terjatuh kalau tak disangga dua polisi yang mengawal di belakangnya.
"Mustahil!" teriak Pak Seno.
"Bagaimana? Saya kan yang Bapak tembak mati itu?" Suara dokter lebih mantap dan lebih berat. Dia tatap tajam muka Pak Seno.
"Tidak mungkin!" teriak Pak Seno lebih keras. "Pergi kau, dokter bangsat!"
Dia langsung berdiri dan mau memukul dokter, tapi kedua polisi lebih cepat meringkus dan memaksanya duduk.
"Tenanglah, Pak Seno," bujuk sang dokter. "Saya bukan dokter yang Bapak bunuh. Nama saya dr. Rudi Susetyo, Sp.K.J."
"Bohong!" sergah Pak Seno. Mukanya sangat tegang sehingga urat lehernya tampak menyembul.
"Saya tidak bohong. Saya dokter, Pak Seno."
"Saya tak percaya! Kamu pasti antek-antek Sarjito! Iya kan!?"
Tiba-tiba saja, mulut Pak Seno menyebutkan sebuah nama yang dinanti-nanti dokter. Ternyata taktik penyelidikannya berhasil.
"Siapa Sarjito itu?" kata dokter dengan senyum penuh kemenangan.
"Saya tak mau mengatakannya kepada kalian semuanya," katanya sambil menatap dua polisi di belakangnya.
"Mengapa? Kami semua teman baik Bapak," kata dokter kalem, tapi penuh wibawa.
"Sebab, dialah biang keladi bencana ini," jawab Pak Seno mulai menurun nadanya dan tampak memelas wajahnya.
"Begini, Pak Seno. Saya dan Budi itu sebenarnya saudara kembar satu telur. Makanya, wajah kami sangat mirip." Dokter Rudi mengucapkannya sambil memegang bahu Pak Seno untuk membangun kepercayaan yang tulus.
Lalu, dia melanjutkan, "Nah, yang Bapak tembak itu Budi. Bukan saya. Adik saya itu sebenarnya bukan dokter. Dia depresi berat karena cita-citanya untuk menjadi dokter seperti saya kandas, sedang saya alhamdulillah lulus, Pak Seno. Makanya, dia selalu mengidentikkan dirinya dengan saya."
"Jadi, ...." Tubuh Pak Seno lemah lunglai karena kesalahannya menembak Budi yang tak berdosa.
*****
"Astaghfirullaah, astaghfirullaah, astaghfirullaah, ...." Hanya kata-kata itu yang terus meluncur dari mulut Pak Seno.
Kontras dengan Pak Seno. Di sel tahanan sebelahnya, terdengar umpatan, "Kamu kalah, Seno! Sekarang, kamu dibui seperti aku. Rasakan pembalasanku atas perampasan Rohimah, mantan pacarku yang sekarang jadi istrimu. Ha, ha, ha ....!"
Hujatan itu keluar dari mulut berkumis tebal dan melintang ke atas di kedua ujungnya. Dia senang dan melayang di awang-awang melihat musuh bebuyutannya sengsara. Dendamnya belasan tahun lalu sudah terbalas, telah terlampias. Dia pun puas tanpa batas....
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H