Sesampai di Kediri, dia langsung ke TKP. Dia tak dapat lagi menahan tangisnya yang sejak tadi sudah mau lepas dari kerongkongannya. Meski begitu, dia mulai melacak keganjilan di situ. Berjam-jam dia selidiki dengan saksama dan berulang-ulang, tapi hasilnya nihil. Nalar dan analisisnya sebagai profesional di bidang psikiatri forensik belum mampu menguak rahasia kematian Budi-nya itu.
Lalu, dia menuju ke Polresta Kediri. Dia wawancarai penyidik, menyaksikan foto korban, foto pelaku, dan barang bukti lainnya. Namun, semua itu dari kaca mata keahliannya tak berarti sedikit pun. Semua datar saja. Makin keras otaknya berpikir, makin panjang kedataran informasi yang dia peroleh. Makin jeli matanya mengamati bukti yang tersaji, makin terbentang luas dataran penuh misteri.
Dia tak putus asa. Dia lanjutkan penyidikan ke teman dekat korban, tetangga, dan orang-orang yang terakhir ditemui korban. Lagi-lagi, yang dia dapat hanya nol besar. Tak ada satu pun yang layak untuk mengungkap kasus ini. Bahkan, ketika menelusuri tetangga dan keluarga Pak Seno, yang dia dapat malah pujian kebaikan hati dan nilai plus kepribadian tersangka. Penyelidikannya malah terkabur dan terkubur kebaikan Pak Seno kepada warga desanya.
"Benar-benar aneh! Padahal, mestinya ada yang salah," keluhnya setengah mati dalam hatinya. Dia makin frustrasi.
"Maafkan aku, dik. Aku masih gagal. Tapi, aku akan terus menguak kasusmu ini. Percayalah kebenaran pasti terungkap," kata Rudi sambil memegang nisan makam Budi. Dengan gontai, dia tinggalkan TPU itu. Dia harus balik ke Jakarta karena ujian tesis doktornya sudah di ambang pintu.
Selama perjalanan ke Jakarta, dia menyusun dan menghimpun kekuatan untuk mengungkap kasus besar itu. Dia bahkan rela jika harus mengemis kepada guru-guru besar pembimbingnya di Universitas Indonesia demi terbongkarnya kasus itu.
Sekali lagi, terbukti bahwa rahasia pembunuhan itu memang milik Pak Seno sendiri, Tuhan, dan ....
***
Siang itu, mentari menampakkan tajinya. Siapa pun pasti bermandi peluh bila ikut kampanye. Sebab, harus berteriak keras-keras untuk mendukung partai dan caleg jagoannya, bergoyang geboi bila tiba hiburan musik dangdut.
Suasana seperti itulah yang sedang berlangsung di lapangan Desa Ringin Anom. Di kerumunan ribuan orang itu, ada satu yang dielu-elukan. Sarjito namanya. Tubuh tegap. Kulit sawo matang kehitaman. Kumis tebal melintang di atas bibir yang juga tebal. Gelang akar warna hitam melingkar di pergelangan tangan kana. Akik berwarna merah jambu merah delima menghiasi jari manis kanan dan kiri.
Pidato Sarjito dibuka dengan yel-yel kebesaran partainya. Setelah itu, dia uraikan janji-janjinya bila menjadi anggota DPRD Kabupaten Kediri. Di akhir pidato, dia mencopot kacamata hitamnya. Dengan mata berkaca-kaca, dia berkata sendu, "Saudara-saudaraku, kita sangat prihatin dengan musibah yang menimpa Bapak Suseno Mangku Kusumo. Kenal Pak Seno?" Sarjito menyodorkan mik kepada massa di bawah panggung.