Bukan karena tahun politik atau karena musim Pileg/Pilpres maupun pergantian pimpinan dalam struktur organisasi Pemerintahan baik pusat maupun daerah. Akan tetapi soal daya tarik dan magnet untuk menduduki jabatan-jabatan publik dalam Pemerintahan di Indonesia yang kian hari semakin banyak peminatnya, bahkan boleh dikata tidak berimbang antara formasi jabatan dengan peminatnya dan pendaftarnya.
Aura daya pikat jabatan publik tidak hanya menyilaukan bagi kalangan politisi an sich yang memang dalam kesehariannya bergelut dengan politik dan sudah mendarah daging dalam setiap hempasan nafasnya.Â
Kini hal tersebut telah bergeser, dan tidak hanya bagi politisi, bahkan bagi kalangan profesionalpun seperti Dokter, Pengacara, Guru, Pegawai Negeri maupun Swasta, bahkan Artis dan Pengusahapun larut dalam buaian Jabatan Publik, sehingga tidak jarang mereka-merekapun ikut dalam pertarungan dan kontestasi dalam memperebutkan Jabatan-jabatan Publik baik yang bersifat elected maupun appointed di Indonesia.
Sebagian dari mereka bahkan merelakan untuk meninggalkan pekerjaan/profesi utamanya baik sebagai profesional maupun pekerjaan lainnya hanya untuk mengejar jabatan-jabatan publik yang dianggap strategis dan prestisius yang dapat merubah status dan strata sosial di masyarakat dari yang sebelumnya sebagai masyarakat biasa menjadi pejabat publik yang memiliki kewenangan besar menurut peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
Bukan rahasia umum bagi seseorang yang telah bergelimang dan mapan dari segi financialpun masih berkeinginan untuk menduduki jabatan-jabatan penting dalam Pemerintahan, tentu motif dan tujuannya berbeda-beda sesuai kata hati sanubarinya masing-masing, ada yang memang berkeinginan untuk mengabdikan dirinya demi kemajuan bangsa dan Negara, namun tidak jarang pula yang hanya ingin mencari kekuasaan dan ketenaran untuk kepentingan diri sendiri dan golongannya, sehingga tidak jarang bagi yang demikian pada akhirnya terjerumus pada jurang Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).
Pada kenyataan dilapangan tidak sedikit pula yang rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit, hanya demi memikat popularitas publik, bahkan dengan cara apapun termasuk kalau perlu dengan cara money politic hanya untuk memuluskan keinginannya untuk menduduki jabatan publik yang ditujunya.Â
Selain kadang jumlah yang harus dikeluarkan untuk pemenangan secara kasat mata lebih besar dari jumlah gaji ataupun honorarium yang akan didapat setelah yang bersangkutan resmi menjabat.Â
Akan tetapi sebagian dari mereka rela mengorbankan segalanya hanya untuk menduduki jabatan publik. Tentu hal yang demikian tidak semua dilakukan oleh sang pengejar jabatan publik, akan tetapi hampir dari sebagian besar calon pejabat publik apalagi yang dipilih langsung oleh rakyat mengatakan ongkos politik di Indonesia tidaklah murah.
Selain itu pula tidak jarang calon kontestan guna menggapai keinginnannya untuk menduduki jabatan publik menggunakan cara apapun dengan menghalalkan segala macam cara, saling sikut-sikutan, saling menjatuhkan, kampanye hitam, sara, hoax dan lain sebagainya yang tidak lain dan tidak bukan hanya untuk mencapai tujuan yang diinginkannya yakni menduduki jabatan yang diinginkannya.Â
Kondisi yang demikian semakin diperparah dengan tidak adanya kesadaran dari masing-masing kontestan bahwa atas perbuatannya merupakan bagian dari pendidikan politik yang tidak baik yang akan berimbas kepada masa depan bangsa dan Negara, artinya bagaimana mungkin pemimpin yang menghalalkan segala akan dapat memimpin dengan baik ketika menduduki jabatan penting dalam bernegara.
Pertanyaannya adalah salahkah memperebutkan jabatan ? Untuk menjawab hal tersebut gampang-gampang susah, mengingat pada kenyataannya dalam diskusi-diskusi dan referensi tentang Jabatan dan Kekuasaan seringkali terdapat 2 (dua) pandangan besar yang melatarbelakanginya, pandangan yang Pertama menyatakan bahwa Jabatan dan Kekuasaan tidak perlu untuk diperebutkan, oleh karena jabatan merupakan amanah yang menuntut adanya pertanggungjawaban.Â
Sehingga karena posisinya sebagai amanah, maka jelas disitu bukan untuk dikejar. Jabatan menurut pemahaman ini datangnya dari sang pencipta sehingga tidak untuk diperebutkan. Memperebutkan jabatan sama halnya dengan meminta jabatan yang akan menghinakan pengejarnya.
Pandangan yang Kedua, Jabatan-jabatan Publik harus dan wajib dikejar, hal itu mengingat dalam aliran ini beralasan jangan sampai jabatan-jabatan yang ada justeru akan dipegang dan jatuh ke tangan-tangan orang yang tidak kompeten, tidak memiliki keinginan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik dan bahkan akan malah menimbulkan kekacauan yang lebih besar.Â
Jabatan menurut aliran ini harus dimanfaatkan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, sehingga dengan demikian menurut penganut paham ini jabatan harus diperjuangkan bahkan harus dikejar oleh oang-orang baik agar supaya jabatan yang ada tidak jatuh kepada orang-orang yang tidak memiliki itikad baik.
Diskursus tentang keduanya sebenarnya tidak terlalu penting dan harus kembali pada tujuan dan cara serta nurani masing-masing calon pemimpin yang bersangkutan, apakah tujuan untuk menggapai jabatan tersebut semata-mata untuk pegabdian atau hanya untuk mencari popularitas atau bahkan keuntungan dai segi finansial semata.Â
Selain itu juga bagaimanakah cara-cara yang digunakan untuk menggapai jabatan-jabatan yang diharapkan ? apakah dengan menghalalkan dengan segala macam cara ataukah sesuai dengan etika dan aturan-aturan yang telah ditentukan dengan sebagaimana mestinya.
Namun yang harus menjadi perhatian bersama bahwa, semakin pemimpin/calon pemimpin menggunakan berbagai macam cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan, maka percayalah yang demikian akan semakin membuat masyarakat antipasti terhadap kelakukan dan cara-cara yang dipertontonkan oleh politisi atau calon pemimpin bangsa yang demikian, sehingga pada akhirnya masyarakat mulai muak dengan keadaan yang kian hari semakin parah yang jauh dari karakter dan etika politik bangsa, sehingga pada akhirnya dengan kesadaran dan nalar akal sehat publik masyarakat tidak akan memilih calon pemimpin yang demikian.
Karena sebagaimana idealnya seorang pemimpin, adalah mereka yang mampu memberikan jalan keluar atas persoalan-persoalan bangsa dengan ide-ide briliannya di era persaingan bangsa yang semakin hari semakin ketat dan berat, bukan malah mempertontonkan hal-hal yang justeru membuat masyarakat makin kehilangan akal sehatnya untuk menggunakan hak suaranya dalam memilih calon-calon pemimpin bangsa yang tidak semestinya mempertontonkan keberingasannya dalam mengejar jabatan dengan menghalalkan segala macam cara asal tujuannya tercapai yakni menduduki jabatan yang diinginkannya.
Terakhir harapan penulis dan tentu menjadi harapan kita bersama semoga calon-calon pemimpin yang akan menduduki jabatan-jabatan publik dalam pemerintahan yang akan datang benar-benar mempu merepresentasikan keinginan publik, tidak menghalalkan berbagai macam cara, serta mampu memberikan jalan keluar atas problem-problem bangsa dengan ide-ide dan gagasan-gagasan cemerlangnya, yang pada akhirnya tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 benar-benar dapat diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H