Mohon tunggu...
Saifoel Hakim
Saifoel Hakim Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Orang biasa yang hidup biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ken Angrok - 7

25 Juli 2023   10:34 Diperbarui: 25 Juli 2023   22:21 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kelahiran Ken Angrok

Tangis jabang bayi laki-laki itu begitu kuatnya seperti memecahkan keheningan malam. Tak kurang dari 5 orang tenaga medis membantu Ken Endok melahirkan anaknya. "Bu..., ini bayi ibu, laki-laki, sehat, dan utuh tak kurang suatu apa," kata dokter yang memimpin para tenaga medis sambil menunjukkan bayi itu pada Ken Endok.

"Terimakasih Dokter...," jawab Ken Endok yang masih lemas tak bertenaga.

"Ibu masih harus istirahat, jangan banyak bergerak dulu. Ibu mengalami pendarahan yang cukup banyak.... Sementara bayi ini akan di rawat dulu di ruang bayi sambil menunggu pemulihan Ibu."

"Baik dokter...," Ken Endok melirik sebentar bayinya, dia seperti melihat cahaya meliputi anaknya.

Ketika Ken Endok sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, bayangan Gajah Para muncul dibenaknya. Bayangan itu seperti menatap dingin kepadanya. Rasa sesal itu kembali mengalir di hatinya. Matanya berkaca-kaca. Hari ini, kelahiran anaknya itu seperti tak membuatnya bahagia ataupun sedih. Terasa datar dan biasa saja. Justru bayangan sosok Gajah Paralah yang muncul kembali, membangkitkan lagi rasa penyesalannya yang dalam. Pikiran Ken Endok pun berputar kembali pada hari-hari selama masa kehamilan.

***

Lima hari setelah Gajah Para mengusirnya, Ken Endok dan Ibunya memberanikan diri kembali datang ke rumah Gajah Para. Mereka berencana untuk mencoba lagi bicara dengan Gajah Para. Rumah itu tampak sepi, pintu depan sedikit terbuka dan lampu-lampu masih menyala walau hari sudah sangat siang. Tak ada jawaban apa pun dari dalam rumah ketika mereka mengetuk pintu atau memanggil Gajah Para. Mereka pun memaksa masuk.

Diluar dugaan, mereka menemukan Gajah Para terbaring di kamar dengan tubuh yang terlihat lemas dan wajahnya pucat. "Maasss..., kenapa mas?!" teriak Ken Endok sambil mencoba memeluk Gajah Para. Seketika Ken Endok merasakan suhu tubuh Gajah Para yang panas tinggi. "Ayo kita ke dokter Mas...," teriak Ken Endok sambil mencoba membangunkan Gajah Para. "Aku akan minta bantuan tetangga...," kata ibunya terlihat panik dan beranjak keluar.

Dalam pelukan Ken Endok, tubuh yang lemas dan demam tinggi itu bicara pelahan, "Dik..., maafkan aku Dik, aku yang salah...,"

"Mas..., kita ke dokter dulu sekarang, ndak usah mikir yang lain-lain dulu."

"Nggak usah Dik, sepertinya sudah sampai umurku untuk menyusul Bapak dan Ibu..."

"Mas..., jangan bicara seperti itu, tunggu sebentar, Ibu masih minta tolong tetangga, kita ke dokter."

"Dik, aku minta maaf, aku tidak bisa jadi suami yang sempurna untukmu. Kalo aku pergi nanti, makamkan aku di tempat Bapak dan Ibu. Rumah ini dan segala yang aku miliki buatmu..., gunakan untuk merawat anakmu..."

"Maas...," Kend Endok menangis dan memeluk erat Gajah Para. "Aku yang salah Maaass...," lanjutnya.

"Satu lagi..., anakmu... beri nama anakmu Ken Angrok...," inilah kata terakhir yang didengar Ken Endok dari Gajah Para.

Ketika para tetangga datang, Gajah Para terlihat lemas dalam pelukan Ken Endok. Dia dinyatakan meninggal dunia saat dibawa ke Rumah Sakit. Dokter menyatakan bahwa Gajah Para mengalami dehidrasi akut dan tidak ada asupan makanan sama sekali dalam beberapa hari. Hati Ken Endok seperti disayat-sayat merasa bersalah, ucapan Gajah Para di akhir hidupnya membuat tangisnya nyaris tak bisa berhenti.

Selama tiga bulan setelah kejadian itu, Ken Endok lebih banyak diam dan lebih suka menyendiri. Hingga dia mencoba untuk bisa menerima takdir perjalanannya. Dia hanya ingin memenuhi keinginan Gajah Para, melahirkan anaknya dan memberi nama Ken Angrok. Setelah itu, dia hanya punya satu keinginan, yaitu menyusul Gajah Para untuk menebus segala kesalahan.

Hari-harinya menunggu kelahiran dihabiskan dengan menyibukan diri di Warung Nasi yang dia buka. Warung ini ternyata cukup laris dan mulai terkenal. Awalnya dia hanya sendirian mengelola warung, kini dia sudah memiliki 8 pembantu untuk dua lokasi Warung, satu di Pangkur di rumah orang tuanya dan satu lagi di Campara di rumah Gajah Para.

Pada masa-masa penantian kelahiran itu, Ken Endok juga dikejutkan dengan kemunculan kembali Tunggul Ametung dalam hidupnya. Pria ini muncul kembali setelah ayah Ken Endok meninggal saat kehamilannya memasuki usia 7 bulan. Ayah Ken Endok jatuh sakit sepulang dari menggelar wayang di luar kota lalu meninggal dunia 3 hari kemudian. Menjelang kelahiran bayinya, atau dua bulan setelah ayahnya meninggal, Ibu Ken Endok menyusul ke alam baka karena kesedihan yang mendalam ditinggal suaminya. Ken Endok benar-benar merasa sebatang kara, hanya Tunggul Ametung yang sepertinya peduli dan menaruh perhatian lebih padanya.

Tunggul Ametung sering mampir ke Warung Nasi miliknya di Pangkur, selalu membayar dengan uang yang sangat banyak untuk pesanan makan yang sangat sedikit. Tunggul Ametung selalu menanyakan kesehatan dirinya dan kehamilannya. Dia juga yang mempersiapkan Dokter dan Rumah Sakit untuk kelahiran. Namun, bagi Ken Endok, sikap Tunggul Ametung ini sangatlah aneh. Seluruh perhatian yang ditujukan pada Ken Endok seperti perhatian orang tua pada anaknya. Ken Endok tidak melihat sikap kurang ajar atau tidak sopan yang dilakukan Tunggul Ametung padanya. Tidak pernah sekalipun Tunggul Ametung mencoba merayu atau memberikan janji-janji agar Ken Endok mau diajak menikah. Tunggul Ametung seperti mengambil alih tanggung jawab Ndoro Bramantyo!

Bramantyo...? Jika mengingat nama ini, hanyalah kebencian yang dirasakan Ken Endok. Tak ada kabar sama sekali tentang orang ini sejak mereka berpisah dan memporak-porandakan seluruh cita-cita Ken Endok dan Gajah Para. Tunggul Ametung hanya sekali memberitahu Ken Endok bahwa Pak Bramantyo telah dipindah ke Jakarta oleh pemilik Daha Corp. yaitu Pak Kertajaya. Karena itulah, Pak Bramantyo tidak akan pernah datang lagi ke Tumapel.

Mengenang perjalanan sembilan bulan yang lalu itu membuat mata Ken Endok berkaca-kaca. Dia hanya menatap kosong langit-langit Rumah Sakit. Kesenangan yang ia peroleh dalam tiga hari, ternyata harus dibayar mahal dengan penderitaan batin yang panjang. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana setelah bayi ini lahir, hanya kerinduan dan rasa bersalah pada Gajah Para yang ia rasakan. Betapa kuat keinginannya untuk segera menyusul Gajah Para ke alam baka.

***

"Gimana perasaanmu sekarang Ken Endok?" tiba-tiba suara Tunggul Ametung membuyarkan lamunan Ken Endok. Dia melihat Tunggul Ametung berdiri di samping tempat tidurnya. Ken Endok juga heran ketika melihat Tunggul Ametung ternyata bersama istrinya. Mereka berdua tampak tersenyum ramah pada Ken Endok.

"Oh..., Pak...Ibu, iya..., saya merasa lemas tidak bisa apa-apa," kata Ken Endok lemah seperti berbisik.

"Iya, kamu harus istirahat dulu Ken Endok," kata istri Tunggul Ametung sambil memegang tangan Ken Endok. "Bayimu sehat dan aman, tadi aku sudah lihat ke kamar bayi dengan Bapak," lanjut istri Tunggul Ametung.

"Dokter tadi bilang...," kata Tunggul Ametung, "Kamu butuh waktu 3 hari untuk pemulihan. Ibu tadi sudah menyuruh orang untuk mempersiapkan rumahmu yang di Pangkur dengan berbagai keperluan bayi. Jadi kamu ndak usah mikir berat-berat, yang penting cepet pulih dan sehat buat merawat anakmu." lanjut Tunggul Ametung.

"Matur Suwun sanget Pak..., Bu..., sudah merepotkan Bu Tunggul dan Bapak." kata Ken Endok sambil dalam hati mmemcoba memahami perhatian Tunggul Ametung padanya selama ini ternyata juga diketahui istrinya. Ken Endok masi malas berpikir untuk mencari tahu lebih jauh lagi mengapa keluarga Tunggul Ametung memberikan perhatian sebesar ini padanya.

"Ken Endok, apa kamu sudah punya nama untuk anak laki-lakimu?" kata Bu Tunggul.

"Iya Bu, Mas Para yang kasih nama, namanya 'Ken Angrok'..." kata Ken Endok sebelum dirinya tiba-tiba jatuh tertidur.

BERSAMBUNG

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun