"Ndak apa-apa Pak, saya nemani Bapak sampai makan malam nanti," kata Tunggul menjawab.
"Oh gitu...," jawab Bramantyo sambil menyalakan rokoknya.
"Oh iya Pak, wanita yang Bapak lihat tadi itu namanya Ken Endok"
"Nama yang cukup aneh untuk wanita desa di daerah ini," gumam Bramantyo sambil menatap Tunggul.
"Mungkin karena ayahnya seorang Dalang Pak, jadi namanya juga mungkin diambil dari kitab-kitab jawa."
"Pantes aja.., namanya seperti itu."
"Dua bulan yang lalu dia baru menikah dengan Gajah Para, seorang buruh kita yang bekerja di sektor 8."
"Sekilas tadi saya lihat dia cukup cantik, apa ndak ada yang melamarnya selain seorang buruh?"
"Pada saat Banjir Bandang waktu itu, rumahnya yang tepat dipinggiran sungai di seberang desa ini ikut hanyut. Gajah Paralah yang menolong memberikan tempat tinggal sementara untuk keluarganya. Kebetulan Gajah Para adalah anak tunggal yang sudah yatim piatu. Sementara rumah peninggalan ayahnya cukup besar untuk ditinggali sendiri."
"Hemm, kasihan juga yah...," ujar Bramantyo pelan.
"Mungkin kalo Bapak ingin tahu lebih jauh, biar saya jemput saja dia malam ini." kata Tunggul Ametung menjaga privasi Atasanya.