Mohon tunggu...
Saifoel Hakim
Saifoel Hakim Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Orang biasa yang hidup biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Kent Angrok - 01

13 Juli 2023   09:07 Diperbarui: 22 Juli 2023   22:21 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Si Cantik di Kebun Tebu

Seperti biasanya, Bramantyo sedang melakukan kunjungan rutin ke Desa Campara untuk memastikan bahwa perkebunan tebu di sana akan menghasilkan bahan mentah pabrik gula yang tetap berkualitas. Bramantyo adalah pejabat nomor dua tertinggi dari sebuah perusahaan besar produsen gula, Daha Corporation, di Kediri Jawa Timur. Perkebunan tebu di Desa Campara ini dikelola oleh perusahaan yang bernama Tumapel Inc., anak perusahaan Daha Corporation. Tumapel Inc. dipercayakan kepada Tunggul Ametung sebagai Direktur Utamanya.

Siang itu, Bramantyo dan Tunggul Ametung tampak sedang bicara di teras sebuah Rumah Singgah milik perusahaan yang tidak jauh dari perkebunan tebu. Tampak juga beberapa staf dari Tunggul Ametung sibuk melayani mereka berdua. Mereka berdua sedang membicarakan rencana panen yang diperkirakan akan dilakukan enam bulan ke depan. Ketika mereka sedang asik bicara dan diskusi, mata Bramantyo mendadak tertuju pada seorang perempuan desa yang lewat di jalan depan rumah itu. Perempuan itu sepertinya membawa makanan di dalam rantang berjalan menuju ketengah perkebunan tebu.

Melihat gelagat Bramantyo, Tunggul Ametung berbisik, "Dia temanten baru Pak. Suaminya adalah buruh tani kita yang bekerja di sektor 8."

"Hemm, cantik juga yah? ha ha ha..," jawab Bramantyo sambil tertawa untuk menutupi rasa canggungnya karena ketahuan Tunggul Ametung anak buahnya itu.

"Kalo Bapak mau kenal lebih jauh, mungkin bisa saya usahakan untuk menghadap..," kata Tunggul Ametung sambil tersenyum.

Bramantyo tidak menjawab, dia hanya manggut-manggut sambil memandangi tubuh perempuan yang semakin menjauh dan menghilang di tengah tanaman tebu yang rimbun. Tunggul Ametung tahu persis watak dari Bramantyo. Bertahun-tahun dia telah mendampingi Bramantyo saat kunjungan ke perkebunan. Karena itulah, diamnya Bramanto, bagi Tunggul Ametung adalah perintah untuk menghadirkan perempuan itu sesegera mungkin.

"Oke..., sampai di mana kita tadi membahas rencana penen?," kata Bramantyo melanjutkan diskusi seperti tak menghiraukan percakapan singkat tadi.

Rumah Singgah itu memang dibuat perusahaan untuk posko saat kunjungan dari para pegawai Daha Corporation yang ditugaskan untuk mengawasi perkebunan. Di Rumah Singgah itu ada satu paviliun mewah yang dibuat khusus untuk Bramantyo jika berkunjung. Paviliun itu dipisahkan dengan Rumah Induk yang menjadi posko dengan sebuah lapangan badminton. Jika Bramantyo berkunjung, mobil pajero hitam miliknya selalu terparkir di lapangan dan menutup persis depan Paviliun. Dengan begitu, privasi Bramatyo sebagai pembesar Daha Corp. terjaga.

Setelah memberikan instruksi-instruksi pada seluruh staf, kira-kira pukul 4 sore, Bramantyo mengajak Tunggul Ametung ke Paviliun. "Pak Tunggul...," kata Bramantyo, "Kita ke Paviliun dan tolong bisa sediakan es kelapa muda? Sepertinya enak menikmati Es Kelapa Muda menjelang sore begini."

"Siap Pak," sahut Tunggul Ametung.

Tunggul Ametung pun memberi aba-aba pada para pelayan rumah singgah itu untuk segera menyiapkan permintaan Bramantyo. Kemudian agak tergesa dia menyusul Bramantyo ke Paviliun. Belum sampai Tunggul mengetok pintu, dari dalam terdengar suara Bramantyo, "Masuk Pak Tunggul!"

Tunggul membuka pintu dan melihat Bramantyo sedang sibuk dengan HP-nya. "Duduk Pak Tunggul, sebentar yah.. saya selesaikan dulu ini," kata Bramantyo tanpa melihat Tunggul Ametung. "Siap Pak...," jawab Tunggul.

Beberapa saat kemudian, Bramantyo menaruh HPnya di meja tamu lalu melihat Tunggul Ametung dan berkata, "Pak Tunggul, dari data yang kita kumpulkan tadi, sepertinya panen kedepan mengalami penurunan agak signifikan."

"Nggih Pak, penyebab utamanya memang seperti yang saya bilang tadi di kebun, banjir bandang 4 bulan lalu merusak seperempat dari lahan kita."

"Apa nggak ada kebun lain yang bisa kita beli di luar lahan milik kita?"

Belum sampai Tunggul menjawab, terdengar pintu di ketuk dari luar. Tunggul berdiri dan membukakan pintu. Rupanya 2 orang pelayan membawa dua butir kelapa muda yang sudah siap untuk dinikmati dan sepiring tahu tempe goreng. Dengan membukuk 2 pelayan itu menaruh di meja tamu, lalu berkata "Monggo, silahkan ndoro..."

"Oh iya, suwun (makasih) ya..., enak pasti ini." kata Bramantyo ramah.

Setelah dua orang pelayan tadi pergi, Tunggul kembali ke pokok pembicaraan, "Nggih Pak, saya sudah coba menghubungi beberapa pemilik lahan di sekitar sini yang tidak terkena banjir. Tapi rupanya mereka menaikan harga cukup tinggi, hampir 5 kali lipat. Nggak masuk akal Pak."

Bramantyo adalah seorang pria dengan umur sekitar 55 tahun. Uban di sebagian rambutnya dan wajah tampannya yang blasteran Belanda-Indonesia itu memperkuat kesan seseorang yang berwibawa, ramah, tegas dan cerdas. Tubuhnya tegap dan masih terlihat sehat segar bugar. Berbeda dengan Tunggul Ametung, walaupun dia usianya terpaut 10 tahun lebih muda, dia terlihat persis seperti tuan tanah dengan tubuh gedut yang galak, temperamental, dan sewenang-wenang. Namun di depan Bramantyo, Tunggul terlihat seperti kucing jinak yang nurut saja pada tuannya. Bagi Tunggul Ametung, melayani Bramantyo dengan baik adalah kunci agar Tumapel Inc. tetap dalam genggamannya.

Pembicaraan mereka terus berlanjut hingga cahaya diluar tampak semakin temeram. Lampu-lampu tampak mulai menyala. "Wah nggak kerasa sebentar lagi sudah malam Pak Tunggul, silahkan Pak kalau mau pulang dulu." kata Bramantyo.

"Ndak apa-apa Pak, saya nemani Bapak sampai makan malam nanti," kata Tunggul menjawab.

"Oh gitu...," jawab Bramantyo sambil menyalakan rokoknya.

"Oh iya Pak, wanita yang Bapak lihat tadi itu namanya Ken Endok"

"Nama yang cukup aneh untuk wanita desa di daerah ini," gumam Bramantyo sambil menatap Tunggul.

"Mungkin karena ayahnya seorang Dalang Pak, jadi namanya juga mungkin diambil dari kitab-kitab jawa."

"Pantes aja.., namanya seperti itu."

"Dua bulan yang lalu dia baru menikah dengan Gajah Para, seorang buruh kita yang bekerja di sektor 8."

"Sekilas tadi saya lihat dia cukup cantik, apa ndak ada yang melamarnya selain seorang buruh?"

"Pada saat Banjir Bandang waktu itu, rumahnya yang tepat dipinggiran sungai di seberang desa ini ikut hanyut. Gajah Paralah yang menolong memberikan tempat tinggal sementara untuk keluarganya. Kebetulan Gajah Para adalah anak tunggal yang sudah yatim piatu. Sementara rumah peninggalan ayahnya cukup besar untuk ditinggali sendiri."

"Hemm, kasihan juga yah...," ujar Bramantyo pelan.

"Mungkin kalo Bapak ingin tahu lebih jauh, biar saya jemput saja dia malam ini." kata Tunggul Ametung menjaga privasi Atasanya.

"Hush! Ha ha ha," kata Bramantyo sambil tertawa ringan, "Ah besok pagi sajalah, saya malem ini mau istirahat dulu Pak."

Tedengar suara pintu di ketuk lagi, Tunggul berdiri lalu membukan pintu. Ternyata salah satu dari pelayan yang tadi mengantar es kelapa muda. "Makan malem sudah siap Ndoro, silahkan kalo mau dhahar sekarang bisa ke ruang makan," kata pelayan itu. Tunggul tidak menjawab tapi menatap ke Bramantyo.

"Ok, saya mandi dulu. Pak Tunggul kalo mau duluan silahkan, Nanti saya menyusul," kata Bramantyo.

"Siap Pak, saya tunggu Bapak di ruang makan," jawab Tunggul sambil berjalan keluar bersama pelayan tadi.

BERSAMBUNG

Baca Lengkap di Sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun