"Science without religion is lame and religion without science is blind -- Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah pincang dan agama tanpa ilmu adalah buta" (Albert Einstein, 1987-1955).
Berbagai upaya pemerintah ataupun instansi terkait untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan pengedaran gelap Narkoba (Narkotika dan obat-obat berbahaya) atau Napza (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif) di Indonesia kian menghadapi jalan buntu (deadlock). Rentetan kegiatan sosialisasi ataupun penyuluhan kepada semua lapisan masyarakat, pendidikan dan konseling tentang narkoba, keterlibatan masyarakat, vonis hukuman mati yang telah diberikan kepada 14 orang terpidana narkoba di tahun 2015 sebagai efek jera, maupun kegiatan rehabilitasi bagi pengguna narkoba.
namun semua itu belum menunjukkan efek yang positif atas keberhasilan pengentasan penyalahgunaan narkoba. Hal itu terlihat jelas dari semakin meningkatnya angka penyalahgunaan narkoba di tahun 2014 sebanyak 3.8% hingga 4.1% dan di tahun 2015 berjumlah 5.8% (Laporan Akhir Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba Tahun Anggaran 2014).
Data tersebut juga didukung oleh data Polri dan BNN tentang kasus dan tersangka narkoba yang kian meningkat dari tahun ke tahun, dimana terdapat 26.678 kasus narkoba di tahun 2010 dan meningkat menjadi 40.897 kasus di tahun 2016. Angka tertinggi yaitu pada tahun 2015 dimana terdapat sebanyak 28.588 kasus atau ada kenaikan kasus sebesar 23.58% dibanding tahun sebelumnya (Infodatin narkoba, 2017).Â
Bahkan di tahun 2016, menurut Irjen Boy rafli Amar, penyalahgunaan narkotika menjadi salah satu kejahatan yang sangat menonjol, dimana tren kasus tindak pidana narkoba, psikotropika, dan bahan berbaya lainnya  mencapai 41.025 kasus bila dibandingkan dengan tahun 2015 yang berjumlah 34.296 kasus. Artinya, ada peningkatan kasus di tahun 2016 sebanyak 6729 kasus atau terdapat kenaikan sebesar 19.62% (JawaPos.com, Desember, 2016).
Ketidaktuntasan permasalah narkoba di Indonesia yang tergambarkan dari data di atas tentunya disebabkan oleh berbagai faktor yang telah ditemusolusikan pengentasannya oleh pemerintah yang patut diapresiasi. Namun menurut hemat penulis, upaya pencegahan dan pemberantasan narkoba yang telah dilakukan itu ibarat upaya pencegahan dan pemberantasan nyamuk malaria dengan menggunakan pengasapan (vogging) untuk menyemprotkan insektisida pada daerah yang didiami oleh nyamuk ataupun dengan mencaritemukan obat untuk penyakit itu, sehingga pengentasannya tidak tuntas pada akar dari penyebab masalah/penyakit tersebut.
 Padahal, dengan penyemprotan insektisida itu sendiri dapat menyebabkan lahirnya nyamuk-nyamuk super yang lebih hebat dan anti atau kebal akan insektisida (Naturalnews, 2012). Artinya, upaya pencegahan masih berfokus pada penerapan solusi atas masalah (problem solving) dan bukan berorientasi pada akar masalah sehingga masih dibutuhkan upaya problematizing dalam menyelesaikan sebuah masalah.
Istilah 'problematizing' pertama kali digunakan oleh Freire di tahun 1973 untuk membedakannya dengan problem solving (penyelesaian masalah) yang lebih dipopulerkan oleh Graves di tahun 1996. Menurutnya, proses problematisasi pada dasarnya adalah refleksi seseorang terhadap suatu masalah yang berfokus pada inti masalah, bagaimana mempersepsikan masalah itu, memahami benar situasi masalah, mengidentifikasi tantangan dan peluang yang akan berpengaruh pada saat menentukan apa yang seharusnya ada dan apa yang seharusnya dilakukan untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Perbedaan problematizing dan problem solving terletak pada inti permasalahan.
 Dengan kata lain, problematizing lebih berfokus pada identifikasi akar masalah yang masih samar untuk ditemukan solusi yang tepat, sedangkan masalah pada problem solving telah jelas dan telah ada pula tawaran berbagai alternative solusi yang dapat dipilih untuk diaplikasikan sesuai dengan kondisi.
Jika kembali merujuk pada kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia, beragam pendapat dan teori telah dikemukakan oleh berbagai pakar tentang faktor-faktor yang memengaruhi penyalahgunaan narkoba. Menurut Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Budi Waseso, pengguna narkoba banyak disebabkan karena kurangnya pemahaman tentang narkotika serta kepedulian dari masyarakat serta hukum yang masih belum mengikat secara maksimal (Tempo.com, Januari, 2016).Â
Alasan ini terbantahkan dengan sendirinya berdasarkan hasil survey BNN bahwa 80% masyarakat tahu dan paham akan bahaya narkoba serta adanya peningkatan kasus narkoba setelah pengeksekusian terpidana narkoba. Bahkan dalam berita yang sama pada tempo.com, beliau menegaskan bahwa tidak ada bagian masyarakat yang tidak clear dari narkoba. Semua sudah terkena. Ada oknum TNI, oknum polri termasuk oknum dari BNN sendiri yang terlibat dan kesemua itu adalah bagian dari kaum terpelajar dan berprofesi.