Mohon tunggu...
Said Kelana Asnawi
Said Kelana Asnawi Mohon Tunggu... Dosen - Dosen pada Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie

Dosen-Penyair, menulis dalam bidang manajemen keuangan/investasi-puisi; Penikmat Kopi dan Pisang Goreng; Fans MU

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Budaya Pemenang

24 Agustus 2019   09:56 Diperbarui: 24 Agustus 2019   10:06 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak pihak  merujukkan bahwa Indonesia 'kalah' dari tetangganya, misal dalam olahraga, pendidikan, dan kesejahteraan. Kondisi ini mensinyalkan Indonesia secara bertahap dan teratur makin kehilangan daya saing menjadi terbaik dan pemenang. Bukan kita  mengalami kemunduran, tetapi negara lain maju dengan kecepatan yang lebih cepat. 

Akibatnya secara konsisten; hanya menunggu waktu, maka kita akan 'terlewati'. Mungkin,  budaya pemenang belumlah kuat pada diri kita secara bangsa.  Untuk itu budaya pemenang haruslah dipupuk dan ditumbuhkembangkan.

Pertama, haruslah dihargai semua prestasi. Biasakan memberi penghargaan pada hal baik; atau bahkan 'mengiming-imingi' hadiah untuk setiap perbuatan baik/hebat. 

Hadiah sederhana adalah penghargaan (ucapan terima kasih) dan hadiah terbaik adalah moneter (uang). Bukan untuk diartikan 'mata duitan' tetapi uang adalah penghargaan yang dapat terukur. 

Selain uang, dapat juga diberikan penghargaan  terukur lainnya. Budaya penghargaan ini sangat perlu, terutama untuk hal yang dapat 'mendiskriminankan' antara yang berprestasi dan tidak berprestasi. Jika orang yang berprestasi tidak dihargai, maka hal tersebut menjadi demotivasi sehingga mendorong untuk tidak berprestasi. 

Para ahli menyebutkan, fenomena gunung es (di lautan); yang dimaknai potensi yang belum terlihat dari gunung tersebut adalah 80%. Bagaimana mengeluarkan potensi ini; jika tidak adanya penghargaan?. Adalah hal bagus, jika seorang datang mengajukan dirinya meminta 'ini-itu' sebagai prasyarat untuk berprestasi. 

Penuhi saja syarat itu, ada kemungkinan dia berprestasi!. Bagaimana jika gagal? Pelajari, dan jika memang dia tidak mampu, 'potong saja lehernya'!. Itu solusi yang cukup fair. 

Selama ini, kita ada pada posisi terbalik, orang diminta berprestasi terlebih dahulu, lalu dijanjikan dihargai (dan kadang dilupakan). Lebih buruk lagi, jika terbiasa memberikan hukuman (punishment) tetapi lupa memberikan penghargaan (reward)!.

Kedua, prosedur untuk pemenang.  Pemenang dapat dihasilkan dengan 'quality control' yang tepat dan ketat.  Definisi kreteria pemenang, perencanaan, prosedur pelaksanaan, dan evaluasi; dapat membawa produk pada level tertentu dan 'ajeg'.  Kesalahan dalam hal ini, menyebabkan hasil yang 'cacat'. 

Ketiga, menjadi yang terbaik. Karya fenomenal biasanya dihasilkan oleh maestro. Untuk menjadi maestro, tidak semua hal dapat dilakukan. Jadi, potensi yang ada harus dioptimalkan pada spesialisasi. Membiasakan memiliki keahlian dan menghargai semua keahlian adalah cara menjadi pemenang. Untuk itu semua profesi harusnya mendapat tempat dan penghargaan. 

Kata profesionalisme yang sering disimbolkan sebagai 'berdasi-wangi' seharusnya diubah sebagai orang yang menghargai (ahli) pekerjaannya. Sikap menghargai ini akan menumbuhkan karya baik di masyarakat dan pada gilirannya nanti kita akan menikmati hasil terbaik. 

Menjadi yang terbaik adalah serahkan pada ahlinya!. Anda lihat saja, abang 'baso' mengiris bawang: tanpa melihat, cepat, tidak terluka dan basonya enak!.  Anda menikmati baso dari seorang tukang baso bukan dari seorang dokter!

Keempat memilih yang terbaik. Banyak hal yang harus dipilih, maka biasakan memilih yang terbaik atas dasar sikap profesionalisme. Yang dipilihpun seharusnya sebagai yang terbaik, mampu mengemban tanggung jawab itu. Karena itu harus selalu diberi 'celah' agar potensi terbaik itu dapat muncul. 

Untuk memunculkan yang terbaik (selain cara pertama diatas), dengan cara semua nepotisme dihilangkan, dalam artian diukur dari 'start' yang sama. Yang berlari lebih cepat, biasanya yang terbaik. Calon inilah yang dibantu akselerasinya

Kelima, ukuran kinerja sebaiknya kuantitatif, karena kinerja kuantitatif tidak 'ambigu' tidak menimbulkan 'debatable' dan lebih 'presisi'. Kata berprestasi ganti dengan juara 1, juara 2, juara harapan 1, dsb. Juara harapan 1 bukanlah juara, namun juga jelas menunjukkan prestasi yang diraih. 

Dari titik itu kita bisa lebih jelas melangkah. Dalam banyak hal, target-target  bisa dikuantifikasikan. Misal berapa rancangan UU yang dapat diselesaikan oleh anggota DPR?

dokpri
dokpri
Keenam, pemenang itu diperoleh tidak pernah instan. Mesti disiplin, berlatih dan 'makan hati'. Disiplin itu juga tanda rendah hati, dimana kita menundukkan diri pada aturan yang dibuat. Disiplin itu ciri orang beradap. Budaya disiplin kita masih sangat rendah. Lihat saja di jalan raya, atau tanya saja pada diri kita.

Ketujuh, mengutip Mourinho: nomor dua itu pecundang terbaik. Jadi selalu bercita terbaik, mengusahakannya. Hasil tidak perlu risau. Jika diusahakan dengan baik, maka hasil akan baik, walau mungkin belum yang terbaik.

Kedelapan: mari mulai dari diri sendiri.  Jika dilakukan, akan memberi hasil baik, setidaknya tidak memberi 'eksternalitas negatif' bagi lingkungan. Tidak mudah, namun bukan tidak mungkin.  Lakukan saja hal-hal baik!.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun